Bersiul, menggoda, dan menatap adalah kekerasan seksual: Peraturan Kemenag 'akan hadapi hambatan serius' dari pesantren

Catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015 sampai 2020 menunjukkan, universitas menempati urutan pertama terjadinya kekerasan seksual dan diskriminasi sebesar 27%.  Sedangkan pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam berada di urutan kedua dengan 19%.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Foto ilustrasi. Catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015 sampai 2020 menunjukkan, universitas menempati urutan pertama terjadinya kekerasan seksual dan diskriminasi sebesar 27%. Sedangkan pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam berada di urutan kedua dengan 19%.

Penerapan peraturan Menteri Agama tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan di Kementerian Agama disebut akan menghadapi "hambatan serius" dari pesantren karena masih kuatnya kultur patriarki, kata Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i.

Karenanya dia menyarankan kementerian agar menggandeng para kyai ketika menyosialisasikan aturan tersebut.

Seorang pengasuh pondok pesantren Al-Jihad Surabaya, Much. Imam Chambali, mengakui sekolahnya belum memiliki aturan khusus soal pencegahan kekerasan seksual karena mengeklaim tidak ada kasus.

Dia pun setuju untuk mengadopsi beleid itu "kalau memang sangat dibutuhkan dan sifatnya sangat darurat".

Sementara itu para siswa di pesantren mengatakan adanya regulasi ini membuat mereka lebih terlindungi.

Baca juga:

Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 soal Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di Kementerian Agama.  

Regulasi ini terdiri dari tujuh bab yakni: ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan, pemantauan dan evaluasi; sanksi; dan ketentuan penutup yang mencakup 20 pasal.  

Adapun 16 kategori kekerasan seksual yang diatur dalam PMA nomor 73 tahun 2022:

  • Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
  •  Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban. 
  • Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual. 
  • Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman. 
  • Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi. 
  • Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja. 
  • Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban. 
  • Melakukan percobaan perkosaan.
  • Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin. 
  • Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual. 
  • Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi. 
  • Membiarkan terjadinya kekerasan seksual. 
  • Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual. 
  • Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban. 
  • Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio, dan/atau visual korban yang bernuansa seksual.
  • Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Sejumlah santri mengikuti doa bersama di Gedung Serbaguna terpadu Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (3/10/2022).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Sejumlah santri mengikuti doa bersama di Gedung Serbaguna terpadu Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (3/10/2022).

Soal sanksi, juru bicara Kemenag Anna Hasbie menjelaskan bahwa pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana dan istrasi. "Kementerian Agama akan segera menyusun sejumlah aturan teknis, baik dalam bentuk keputusan menteri agama, pedoman atau SOP, agar peraturan ini bisa segera dapat diterapkan secara aktif," imbuh Anna Hasbie seperti dilansir laman Kemenag.go.id. "Harapannya ke depan tidak terjadi lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan."

Hambatan serius di pesantren karena kuatnya kultur patriarki

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe'i mengatakan aturan ini sesungguhnya sangat dinantikan "karena kasus kekerasan seksual di pendidikan keagamaan tinggi".  

Catatan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2015 sampai 2020 menunjukkan, universitas menempati urutan pertama terjadinya kekerasan seksual dan diskriminasi sebesar 27%. 

Sedangkan pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam berada di urutan kedua dengan 19%.

Baca juga:

Bentuk kekerasan seksual di lingkungan pesantren, menurut catatan itu, memiliki ciri khas yakni pemaksaan perkawinan dengan memanipulasi santri bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan ilmu, akan terkena azab, tidak akan lulus dan hafalan akan hilang.  

Namun demikian, kata dia, tidak mudah membuat satuan pendidikan keagamaan seperti pesantren mengimplementasikan regulasi ini lantaran masih kuatnya kultur patriarki.  

"Untuk pesantren ada hambatan serius terutama daya tekan Kemenag juga selama ini kurang kuat ke pesantren. Karena pesantren seakan-akan punya aturan sendiri. Jadi itu hambatannya," ujar Imam Nahe'i kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/10).

 "Tapi setidaknya aturan ini sebagai lampu kuning bahwa di satuan pendidikan yang bernuansa agama itu ada peraturannya." 

Pengamatannya, pesantren yang bakal resistan terhadap beleid baru ini adalah ponpes yang "memiliki ajaran tarekat dan banyak wirid" karena para santrinya memiliki kepatuhan tanpa batas kepada kyainya.  

"Berbeda dengan pesantren-pesantren umum, kepatuhannya bersyarat. Kalau tarekat tanpa batas dan itu sering digunakan guru-guru tarekatnya untuk melakukan kawin batin, kawin siri yang berdampak pada kerugian terhadap perempuan."

Aksi demonstrasi menentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aksi demonstrasi menentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

Itu mengapa, dia menyarankan Kementerian Agama menggandeng para kyai pengasuh pondok pesantren ketika menyosialisasikan aturan tersebut untuk kemudian menggali nilai-nilai agama yang terkait dengan kekerasan seksual.

 "Jadi pendekatannya, pendekatan agama."

Selain ke kyai, para pengajar di pesantren juga perlu diberi pemahaman soal bentul-bentuk kekerasan seksual karena umumnya mereka tidak mengenal dengan cermat tindakan apa saja yang termasuk pelecehan lantaran sudah dianggap wajar.

"Kalau bersiul, memandang, atau berguyon seksis, itu di pesantren belum dianggap kekerasan seksual."

Apa tanggapan pengasuh pondok pesantren?

 Pengasuh Pondok Pesantren Al-Jihad Surabaya, Kh. Much. Imam Chambali mengeklaim sejauh ini tdak ada kasus pelecehan maupun kekerasan seksual di sekolah yang dia pimpin.  

"Karena mungkin santrinya mahasiswa, sehingga dia sudah bisa lebih berpikir dibanding dengan yang tingkatan SMP. Jadi selama ini di pesantren kami tidak ada kasus," kata Imam Chambali kepada wartawan Mustopa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. 

Di pondok pesantren ini pula, tidak ada aturan untuk bagaimana menangani pelecehan ataupun kekerasan seksual. Akan tetapi, adanya peraturan Kementerian Agama ini, dia tidak keberatan untuk menerapkannya "jika memang sangat dibutuhkan dan sifatnya sangat darurat" serta "tujuannya untuk betul-betul melindungi para santri".

Hidayatus Sholihah, seorang santri ponpes Al-Jihadi Surabaya, bercerita belum pernah mengalami perlakuan seperti yang ada dalam 16 bentuk kekerasan seksual versi kementerian. Tetapi ia punya cara sendiri kalau mengalami kejadian seperti itu.

"Sekiranya kalau nggak perlu ditanggapi ya tidak usah ditanggapi. Jadi seperlunya saja. Kalau itu lelucon yang mengarah ke rayuan, apalagi mendekati ke seksual itu tidak usah ditanggapi, karena kalau ditanggapi nanti akan lebih terus-terusan," imbuhnya.

Menyikapi lahirnya aturan kementerian, dia mengaku senang karena merasa lebih aman.

"Karena dengan itu setiap aturan kan ada konsekuensinya, jadi bisa membuat kita merasa lebih terlindungi sebagai kaum perempuan."

Santri lainnya Firda Fitriyah, juga sependapat. Kata dia, regulasi ini akan menjaga perempuan.

"Kalau sudah ada aturan seperti itu kan pasti banyak pihak yang takut untuk melakukan, karena sebelumnya belum ada aturan seperti itu, jadi itu semuanya kayak diremehkan sebelum ada aturan."