Kekerasan di lingkup pesantren - 'fenomena gunung es', 'tangan saya dipukul pakai rantai besi'

pondok pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Dugaan penganiayaan santri yang berujung kematian di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, membuka tabir praktik kekerasan yang sistemik di pesantren. Pengawasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren, dipertanyakan. 

Kasus santri tewas di pesantren juga terjadi pada awal Agustus lalu, ketika seorang santri di sebuah pesantren di Banten, meninggal diduga karena dianiaya sesama santri. 

Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkup pesantren, disebut seperti “fenomena gunung es” oleh tokoh muda Nahdlatul Ulama dan koordinator mata kuliah Religion School of Entrepreneurship and Humanities di Universitas Ciputra Surabaya, Aan Anshori.

“[Kasus kekerasan di Pesantren Gontor] ini kan [mengemuka] karena orang tuanya ngomong dan enggak terima. Apa ada jaminan bahwa ini adalah satu-satunya kasus">Seorang santri berinisial BD yang berusia 15 tahun meninggal dunia pada Minggu (07/08), diduga karena dianiaya sesama santri. 

Baca juga:

“Berdasarkan keterangan guru dan pengasuh yang mengantar, korban meninggal diduga karena berkelahi sesama santri,” ujar Kapolsek Cisoka AKP Nur Rokhman, seperti dikutip dari kantor berita Antara. 

Aan Anshori dari Jaringan Islam Antidiskriminasi sekaligus koordinator Jaringan Santri Jombang (Jasijo) mengatakan mencuatnya sejumlah aksi kekerasan di lingkup pesantren menjadi “awan gelap bagi pesantren”. 

“Sudah saatnya teman-teman di pesantren itu mulai melakukan refleksi besar-besaran, kalau perlu melakukan besar-besaran berkaitan dengan sistem yang ada di sana, termasuk sistem tentang senioritas dan junioritas.

"Itu yang menurutku menjadi cikal bakal, tunas dari praktik kekerasan yang ada di sana,” terang Aan. 

pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Sejumlah santri bersiap untuk ibadah salat Jumat.

Selain senioritas, banyak pesantren masih menerapkan model pendidikan yang mentolerir penggunaan kekerasan. 

“Secara normatif, semua institusi pendidikan termasuk pesantren itu tidak mentolerir adanya kekerasan. Tapi ketika kekerasan terjadi atas nama penegakkan aturan, di sinilah kemudian banyak pesantren memilih untuk permisif.”

Permisif itu artinya mentolerir penggunaan kekerasan untuk kepentingan edukasi, kata Aan. 

Ia mencontohkan, ketika ada salah satu santri yang mencuri uang teman sesama santrinya, banyak pesantren lebih memilih untuk menyelesaikan ini secara privat ketimbang menyerahkannya pada kepolisian, lalu dibina sendiri. 

“Pembinaan ini yang kemudian menjadi potensi pintu masuk kekerasan”. 

‘Tangan saya dipukul pakai rantai besi’

Model pendidikan yang mentolerir kekerasaan, menjadi santapan Cecep - bukan nama sebenarnya - selama tiga tahun menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Garut, Jawa Barat, dalam kurun waktu 2006-2009. 

Dia menuturkan, setiap malam sehabis ibadah salat Isya’,  digelar apa yang disebut sebagai “malam penghukuman” oleh para santri. 

“Setelah kita salat Isya’, sebelum kita kembali ke asrama, ada penghukuman dulu bagi santri-santri yang nakal, yang intinya sih melanggar peraturan yang ada di asrama,” ujar pria berusia 27 tahun itu.

Jenis hukuman yang diterima para santri, kata Cecep, bervariasi tergantung dari peraturan yang dilanggar dan santri senior yang bertugas sebagai seksi keamanan di hari itu. 

“Bisa aja dari ustaznya sendiri.”

pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi: Sejumlah santri belajar mengaji di atap bangunan pesantren

Ia mencontohkan, santri yang kedapatan tidur ketika ceramah sebelum salat Jumat, biasanya dihukum ringan seperti diharuskan ceramah di asrama putri. 

“Kalau yang paling berat sih hukuman waktu merokok. Jadi santri disuruh membakar rokoknya dan rokoknya itu ditancapkan ke tangan si santri,” ungkapnya. 

Dia sendiri mengaku pernah mendapat hukuman tangannya dipukul menggunakan rantai besi. 

Hukuman itu dia dapat karena absen dari tugas piket ihkan ruang makan. 

Dalam “malam penghakiman”, seksi keamanan menyuruh siapapun yang absen dari piket untuk maju ke depan, namun Cecep yang takut dengan hukuman yang akan diterimanya hanya bergeming. 

“Tapi setelah di-pressure terus akhirnya saya maju ke depan. Berarti kan waktu itu saya ketahuan bohong nih di awalnya, waktu itu saya dihukumnya di… kalau cambuk terlalu keras ya, pokoknya dipukul pakai rantai besi waktu itu tangannya,” ungkap Cecep.

pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi: Para santri membaca Al Quran dengan penerangan seadanya

Ia kemudian menggambarkan bahwa rantai besi itu seukuran rantai yang biasa disematkan di dompet dan celana. 

“Sakit sih sakit, cuma enggak sebegitu sakit kalau tangannya ditancepin rokok, menurut saya ya,” akunya. 

Alih-alih mencegah kekerasan, kata Aan Anshori dari Jaringan Santri Jombang,  sistem pendidikan semacam itu justru menjustifikasi praktik kekerasan, baik yang dilakukan oleh sesama santri, maupun oleh otoritas pesantren. 

Ia sendiri di masa lalu sempat menjadi santri selama tujuh tahun di tiga pesantren, yakni Pesantren Tambakberas di Jombang, Pesantren Darul Hikmah di Mojokerto dan Pesantren Darul Falah di Kediri. 

“Ini sudah saatnya teman-teman pesantren mulai melakukan reformasi besar-besaran mengenai sistem pendidikan yang ada di sana,” katanya. 

Jika model pembelajaran tak diubah, kata Aan, “mau tidak mau praktik kekerasan terhadap santri akan terus [terjadi]”. 

'Sudah waktunya ada aturan konkrit'

Lebih jauh, Aan mengatakan bahwa banyak pesantren di Indonesia yang belum menekankan pentingnya perlindungan anak dan perempuan dalam tata tertibnya.

Maka dari itu, menurutnya, sudah waktunya Kementerian Agama membuat aturan yang konkrit untuk menjadikan pesantren ramah anak dan perempuan

“Pemerintah harus berani memastikan bahwa semua institusi pendidikan, termasuk pesantren yang jumlahnya lebih dari 30.000 di Indonesia, harus mempunyai standar operasional prosedur menyangkut pesantren yang ramah anak, termasuk setiap pesantren harus membekali siswa dan siswinya terkait dengan early warning system terkait kekerasan,” ungkap Aan. 

Sementara itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas berkata bahwa dirinya telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama terkait pesantren, yang mencakup perlindungan terhadap para santri dan mengajarkan contoh yang baik. 

pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Kementerian Agama didesak untuk membuat aturan konkrit pencegahan kekerasan di pesantren

Akan tetapi, ketentuan itu tak mengatur secara spesifik tentang kekerasan. Ia menambahkan, kendati pihaknya bisa melakukan pengawasan, namun ia tak bisa melakukan intervensi terhadap apa yang terjadi di pesantren. 

“Pengawasan bisa, tapi disebut kalau kita melakukan intervensi atau campur tangan yang dalam, dalam pesantren itu enggak bisa. Karena itu lembaga yang sangat independen dan tidak struktural di bawah kementerian, itu enggak.”

Adapun menyusul kasus kekerasan, baik fisik dan seksual yang terjadi di lingkup pesantren, hingga saat ini Kementerian Agama masih memproses penyusunan regulasi pencegahan tindak kekerasan pada pendidikan agama dan keagamaan. 

Regulasi tersebut sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. 

Tak semua pesantren buruk

Merespons kekerasan di pesantren yang marak, memicu kekhawatiran dari orang tua yang berencana menyekolahkan anaknya di pesantren. seperti diungkapkan Dikdik Taufik Hidayat. 

Namun begitu, ia akan tetap menyekolahkan anaknya di pesantren.

“Kalau saya bilang enggak khawatir, bohong ya, pasti iya. Tapi saya pikir segala sesuatu yang berjalan di muka bumi sudah diatur oleh Allah. Jadi, saya tidak akan karena berita ini atau berita apapun yang nantinya ada, saya tidak jadi menyekolahkan anak saya itu enggak, tetap. 

Sementara Aryati, yang dua putrinya menempuh pendidikan di pesantren Darul Qur’an Mulia di Bogor, mengaku tak khawatir sebab pesantren tempat putrinya bersekolah, telah menerapkan standar operasi prosedur dan pengawasan terhadap para santrinya.

Pesantren

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Para santri putri dari sebuah pondok pesantren berkumpul untuk tes cepat virus corona COVID-19, di Sibreh, provinsi Aceh pada 11 Juni 2020.

“Di sana itu kan ada asrama-asrama, di asrama itu ada satu guru atau ustazah yang jadi pengawas di kamar tersebut, atau malah ada kakak pengawas yang mengawasi kamar tersebut.”

“Ada semacam pengawasan dari guru dan intinya komitmen dari semua orang untuk tidak ada bullying. Terus, kalau di tempat anak saya yang di Bogor itu lengkap dengan CCTV dan segala rupa, jadi terawasilah anak itu agar terhindar dari hal-hal seperti itu,” jelasnya. 

Di sisi lain, kata Aryati, tak ada senioritas di pesantren tempat kedua anaknya bersekolah tersebut. 

“Mereka sesama kayak kakak dan adik kelas atau sesama kelas itu saling menyayangi. Mereka kan anak-anak yang berbeda dari keluarga yang berbeda, berkumpul bersama mereka malah jadi keluarga baru lagi karena mereka jauh dari keluarga aslinya. Mereka malah jadi seperti saudara."