'Terjadi pertarungan antara si kecil dan si besar' – Penolakan aktivis dan petani terhadap Bank Tanah yang dinilai 'merugikan masyarakat'

Petani dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sumsel menggelar unjuk rasa pada Hari Petani di Palembang

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Petani dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sumsel menggelar unjuk rasa pada Hari Petani di Palembang

Sejumlah aktivis dan masyarakat mengeluhkan Peraturan Pemerintah terkait Bank Tanah. Sebab, menurut mereka, kebijakan tersebut merampas hak milik tanah petani dan masyarakat adat.

Tuduhan ini dibantah Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmaja.

Dia mengeklaim peraturan itu dibuat demi "menyejahterakan rakyat".

Namun menurut Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya, tanah milik masyarakat adat dan petani sampai saat ini "masih sulit menerima sertifikasi".

Sementara, Bank Tanah disebutnya dapat mengalih-fungsikan tanah terlantar ataupun tanah dengan hak guna usaha yang kadaluwarsa.

Maka, kepemilikan tanah masyarakat akan menjadi semakin rumit, ujar Benni.

“ Ketika tanah itu sudah diklaim sebagai aset bank tanah berarti masyarakat ini sudah tidak punya hak lagi untuk mengklaim bahwa itu tanah mereka milik mereka,“ ujar Benni kepada BBC News Indonesia, Minggu (19/2).

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Adapun Ujang Uskadiana, petani transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, khawatir tanah yang sudah ia perjuangkan untuk diakui selama 10 tahun lebih, akan kelak menjadi aset Bank Tanah.

“Dengan Bank Tanah, wah makin sulit, makin akan terhempaskan. Pemerintah sekarang, para penguasa, hanya nol koma sekian, tidak 1% memikirkan rakyat untuk sejahtera kalau menurut saya,“ tegas Ujang.

Pada Rabu (15/2), sebanyak 10 organisasi petani dan lingkungan hidup melayangkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP 64/2021) dianggap melanggar hukum dan mengancam penghidupan petani di Indonesia.

Secara hukum, PP Badan Bank Tanah dinilai bermasalah karena merupakan turunan dari draf Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tak hanya itu, PP Badan Bank Tanah juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 30 Tahun Tahun 2014 tentang istrasi Pemerintah, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, Badan Bank Tanah diberi kewenangan khusus untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria di masa lalu yang memberikan manfaat di masa yang kan datang.

Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmaja mengatakan bahwa pihaknya bersedia mengikuti proses hukum terkait gugatan yang dilayangkan 10 organisasi tersebut.

“Mengenai gugatan terhadap PP Badan Bank Tanah, kami menghormati hak setiap orang untuk menggunakan jalur hukum. Oleh karena itu, kami akan ikuti proses judicial review yang akan berlangsung di MA,“ kata Parman lewat pesan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Saat ditanya tentang tudingan bahwa aturan Bank Tanah tidak berpihak pada petani, ia mengatakan hal tersebut tidak benar. Sebab, peraturan itu dibuat dengan tujuan menyejahterakan rakyat.

Para petani khawatir tanah mereka akan hilang

Lahan pertanian depan rumah Ujang Uskadiyana di Konawe, Sulawesi Tenggara

Sumber gambar, Ujang Uskadiyana

Keterangan gambar, Lahan pertanian depan rumah Ujang Uskadiyana di Konawe, Sulawesi Tenggara

Ujang Uskadiana, petani transmigrasi asal Yogyakarta mengaku dirinya dan para petani lainnya masih berjuang untuk mendapatkan lahan yang dijanjikan pemerintah selama lebih dari 10 tahun.

Ia mengatakan para warga transmigrasi yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali baru mendapatkan seperempat dari total lahan pertama 7.500 hektare dan lahan kedua pun belum mereka terima

“Ada yang kurang, ada yang belum kebagian. Kalau lahan dua malah belum terimpikan, di tempat saya, Konawe Selatan ada berapa unit transmigrasi ada berapa ratus kepala keluarga,” ujarnya kepada BBC News Indonesia pada Kamis (19/2).

Ia dan para petani lainnya masih terlibat sengketa tanah dengan sebuah perusahaan sawit yang menetapkan lahan tersebut sebagai milik mereka.

Sementara, Ujang dan para petani belum mendapatkan sertifikasi lahan dari pihak pemerintah.

“Kalau perkebunan sawit datang membawa alat besar berat dikawal Brimob, kami menjerit menangis air mata tidak ada yang menolong. Jadi pemerintah di mana, keamanan di mana. Keadilan itu tidak ada,” ungkap Ujang.

Ia khawatir dengan adanya Bank Tanah, lahan yang sudah lama ia nantikan akan hilang dalam sekejap. Sebab, ia meyakini perusahaan sawit dapat dengan mudah mengambil lahan tersebut setelah menjadi aset negara.

“Bank Tanah itu justru persediaan untuk korporasi bukan persediaan orang kecil justru. Itu akan merugikan kami petani.

“Kenapa orang didatangkan, tanahnya sudah ada tapi orangnya datang dan tanahnya diserobot,” keluhnya.

Plank yang diletakkan warga transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara yang menyatakan mereka belum menerima lahan yang dijanjikan Pemerintah Daerah Konawe Selatan

Sumber gambar, Ujang Uskadiyana

Keterangan gambar, Papan yang diletakkan warga transmigrasi di Konawe, Sulawesi Tenggara yang menyatakan mereka belum menerima lahan yang dijanjikan Pemerintah Daerah Konawe Selatan

Baca juga:

Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nur Uddin, mengatakan bahwa seharusnya Bank Tanah memprioritaskan kesejahteraan buruh petani yang tidak punya tanah.

Sebab, sambungnya, tanah sebagai obyek reforma agraria berupa tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

“Kalau dia dimandatkan untuk reforma agraria maka tanah-tanah negara yang bekas tanah perkebunan, pertambangan yang habis konsesi, tanah swasta yang terlantar, itu harus diprioritaskan untuk masyarakat kami,” tungkasnya.

Menurut pria yang akrab disapa Udin, kebijakan Bank Tanah yang hendak diterapkan pemerintah memberikan negara kewenangan untuk memiliki tanah. Padahal, seharusnya tanah menjadi milik rakyat.

“Padahal harusnya tidak sebesar itu, tapi ini karena didorong investasi. Maka perkembangan investasi itu menunjukkan indikator pertumbuhan ekonomi bagi pemerintah Jokowi.

Apa itu Bank Tanah dan mengapa dianggap tidak konstitusional?

Foto udara permukiman warga dan lahan kosong di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (4/2).

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Foto udara permukiman warga dan lahan kosong di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (4/2).

Menurut Undang-Undang nomor 64 tahun 2021, Bank Tanah adalah tanah hasil penetapan pemerintah yang terdiri atas tanah bebas hak, tanah telantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, dan tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.

Pengelolaan bank tanah akan diatur oleh Badan Bank Tanah, yakni sebuah badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah.

Berdasarkan rilis pada situs resmi Kementerian Keuangan, tertera bahwa pemerintah mengharapkan Bank Tanah dapat memenuhi keperluan negara atas tanah.

Artinya, tanah tersebut dapat digunakan untuk pembangunan proyek strategis nasional berupa jalan tol, waduk, bendungan atau untuk pembangunan infrastruktur lainnya.

Iwan Nurdin, Direktur Lokataru Foundation, kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ikut menggugat PP Bank Tanah, mengatakan aturan tersebut tidak sah secara hukum.

Sebab, Bank Tanah dibuat berdasarkan UU Cipta Kerja, yang dianggap batal setelah melalui uji formil Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, sebenarnya tidak boleh ada peraturan-peraturan turunan yang bersifat strategis yang merujuk kepada UU Cipta Kerja.

“Ternyata pemerintah melanjutkan dengan membuat Perpres Kelembagaan Bank Tanah kemudian Perpres Permodalan Bank Tanah, mengacu pada PP tentang Bank Tanah yang PP tersebut mengacu kepada UU Cipta Kerja,”

Menurut Iwan, permasalahan sengketa tanah yang dirasakan masyarakat -di antaranya kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik tanah, ketimpangan kepemilikan tanah serta konflik-konflik agrarian akan menjadi semakin riuh dengan kehadiran Bank Tanah.

“Bank tanah itu dimandatkan seolah-olah hendak menjalankan reforma agraria. Reforma agraria itu bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria dan menyelesaikan ketimpangan kepemilikan tanah yang terjadi.

“Bukan melalui prosedur pengadaan tanah yang dilakukan oleh Bank Tanah,” ujar Iwan kepada BBC News Indonesia pada Minggu (19/2).

Ia mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah dan dunia usaha – khususnya sektor tambang, sawit, dan perhutanan- begitu mudah mendapatkan tanah.

Sementara, sambungnya, petani, kelompok adat dan masyarakat pada umumnya masih kesulitan mendapatkan hak milik tanah.

“Sementara rakyat yang dijanjikan reforma agraria ataupun perhutanan sosial atau dijanjikan hutan adat itu begitu susah mendapatkan akses kepada tanah,” kata Iwan.

Senada, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria, Benni Wijaya, mengatakan argumentasi pemerintah mengapa perlu ada Bank Tanah sebetulnya tidak tepat.

Sebab, lebih mudah bagi pemerintah dan usaha untuk memperoleh tanah sedangkan proses distribusi tanah hak masyarakat itu belum berjalan baik sampai saat ini.

“Banyak tanah-tanah masyarakat adat, petani yang memang sangat susah mendapatkan pengakuan. Kalau Bank Tanah ini ada, otomatis tanah yang belum diberikan sertifikat hak milik itu kan akan diklaim langsung oleh Bank Tanah itu sendiri,” ungkap Benni.

Secara prinsip, katanya, Bank Tanah berfokus pada pengadaan tanah, sementara reforma agraria lebih terpaku pada perombakkan penguasaan tanah. Sehingga, keduanya memiliki prinsip berbeda.

“Ini akan terjadi pertarungan antara si kecil dan si besar tadi itulah. Seperti kami tahu, terjadi konflik kepentingan antara tanah yang seharusnya menjadi target redistribusi tanah untuk reforma agraria sekarang diolah lagi menjadi Bank Tanah,” tungkas Benni.

Terkait gugatan yang dilayangkan KPA dan 9 organisasi lainnya kepada MA, Benni mengatakan bahwa ada tiga PP dan satu Perpres yang mereka gugat.

Pertama adalah PP nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang mereka gugat pada Senin lalu (13/2). Kemudian, pada Jumat (17/2) mereka mendaftarkan gugatan PP nomor 124 tahun 2021 tentang Modal Bank Tanah.

“Nanti ada dua gugatan lagi, yaitu PP nomor 113 soal Struktur Bank Tanah, dan PP nomor 61 tentang Penambahan Modal Bank Tanah. Jadi ada 4 gugatannya,” sebut Benni.

Baca juga:

Pemerintah menyebut Bank Tanah tujuannya menyejahterakan rakyat

Terkait gugatan yang dilayangkan 10 kelompok agraria dan LSM, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmaja, mengatakan bahwa pihaknya bersedia mengikuti proses hukum.

“Mengenai gugatan terhadap PP Badan Bank Tanah, kami menghormati hak setiap orang untuk menggunakan jalur hukum. Oleh karena itu, kami akan ikuti proses judicial review yang akan berlangsung di MA,“ kata Parman lewat pesan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Saat ditanya tentang tudingan bahwa aturan Bank Tanah tidak berpihak pada petani, ia mengatakan hal tersebut tidak benar. Sebab, peraturan itu dibuat dengan tujuan menyejahterakanrakyat.

“Badan Bank Tanah didirikan dengan tujuanan yang mulia, berpihak kepada rakyat, memberikan lapangan pekerjaan yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat,“ ujar Parman.

Kepala Bagian Humas Badan Bank Tanah, Ayu Tri Rahayu, membantah anggapan bahwa Badan Bank Tanah merampas hak tanah masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa Bank Tanah diciptakan dengan tujuan membantu ekonomi negara.

"Badan bank tanah memperoleh tanah dari pemerintah, bukan dari masyarakat. Proses perolehannya sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Badan bank tanah dibentuk berdasarkan UU dengan tujuan mengelola tanah supaya dapat mewujudkan ekonomi berkeadilan dan menciptakan lapangan kerja," ungkap Ayu kepada BBC News Indonesia.

Pada tahun lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, mengatakan, Bank Tanah dapat mengakomodasi kebutuhan buruh tani dalam memanfaatkan tanah tersebut.

Selain itu, katanya, Bank Tanah dapat menjadi cara dalam merealisasikan harapan Presiden Jokowi dalam menghadapi krisis pangan.