Warga sipil 'diteror' karena komentar soal judi online – 'Saya diancam didatangi di rumah, mereka tahu keluarga saya'

Sumber gambar, ADITYA AJI/AFP via Getty Images
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Sejumlah orang pengguna laman platform X mengaku diintimidasi 'nomor tak dikenal' setelah mengunggah status yang merespons berita mengenai dugaan keterlibatan salah satu pejabat di DPR—sekaligus elite partai politik—dengan bisnis judi online. Oleh pelaku, mereka diminta menghapus unggahan tersebut.
BBC News Indonesia mewawancarai tiga korban intimidasi.
Ketiganya menyebut insiden yang dialami sebagai "bentuk teror" dan "serangan yang terencana" lantaran "muncul dalam waktu yang hampir bersamaan."
Sementara organisasi sipil dan praktisi teknologi mengatakan "tekanan di ruang digital ini ditempuh guna melemahkan psikologis korban" supaya "tidak lagi mengeluarkan kritik."
Akademisi menilai praktik intimidasi kepada masyarakat sipil menunjukkan "demokrasi berjalan mundur jauh ke belakang."
Sebelum serangan via aplikasi percakapan WhatsApp, publik lebih dulu disuguhkan serangkaian intimidasi yang menargetkan penulis opini di laman detik.com hingga mahasiswa penggugat Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Intimidasi dalam konteks pemberitaan judi online mencuat dengan pola serupa, setelah BBC News Indonesia melihat bukti tangkapan layar (screenshot) antara ketiga korban dan pelaku.
Keterangan dari korban lain, yang BBC News Indonesia peroleh di linimasa X, turut menunjukkan hal yang sama.
Korban, misalnya, diminta menghapus konten yang menanggapi—lewat reply atau quote—berita tentang dugaan keterhubungan pejabat DPR itu dengan praktik judi online.
Lalu, pelaku menghubungi nomor pribadi korban yang terpasang di WhatsApp.
Ketika permintaan tersebut tidak diiyakan, pelaku meningkatkan tekanan dengan menyeret anggota keluarga atau mengancam bakal menyebarkan hoaks soal korban serta memviralkannya ke media sosial.
'Saya kira yang diminta dihapus thread soal korupsi'

Sumber gambar, ADITYA AJI/AFP via Getty Images
Intimidasi kepada warga sipil berlangsung pada 25 dan 26 Mei 2025. Ada pula yang mengalaminya jauh-jauh hari, 10 serta 16 Mei 2025.
Rieswin Rachwell, pemilik akun @niwseir, pertama kali menerima intimidasi pada Senin (25/5) malam sekitar pukul sembilan.
Nomor tak dikenal tersebut masuk ke ponselnya dan meminta Rieswin menghapus unggahan tertentu di X, dengan menyertakan tautan yang dimaksud.
Keesokan harinya, Selasa (26/5) pagi, tepatnya pukul 11.00 WIB, nomor tak dikenal lagi-lagi meminta Rieswin menghapus unggahannya di X—disertai link-nya.
Kedua nomor tak dikenal itu mengirimkan link berisikan unggahan yang sama, berjumlah dua buah.
"Saya kaget dengan pesan tersebut, karena saya kira yang diminta untuk dihapus adalah thread—utas—terkait korupsi atau semacamnya," ungkap Rieswin kepada BBC News Indonesia, Selasa (27/05).
"Tapi, ternyata, yang diminta hapus adalah kedua unggahan receh tersebut. Benar-benar recehan dan shitpost."

Sumber gambar, Dokumentasi Pribadi Rieswin
Tidak jauh berbeda dengan Rieswin, Fahmi Fadhila, pemilik akun @fahmi_fadhila_, mendapatkan teror pada 26 Mei 2025, sekitar jam 20.00 WIB. Fahmi baru membaca pesan itu 20 menit setelahnya.
Pelaku teror, Fahmi bercerita, "mengirimkan salah satu foto dirinya yang pernah di- di X" serta "memintanya untuk menghapus unggahan tertentu."
Fahmi menemukan kejadian serupa dihadapi "pengguna akun lain" yang "membahas keterkaitan orang tersebut dengan kasus judi online."
Pesan dari peneror tak Fahmi balas lantaran ia "bingung" dan "takut salah langkah."
"Lalu saya membuat unggahan dan meng-quote-nya ke unggahan milik korban lainnya dengan meng-capture isi pesan [teror] tersebut," terangnya.

Sumber gambar, Dokumen Pribadi Fahmi
Pengakuan korban lainnya: 'Mereka tahu nama istri saya'
Ketika mengajukan wawancara dengan Farizal, wartawan BBC News Indonesia diminta memperlihatkan tanda bukti bahwa yang bersangkutan memang bekerja di BBC News Indonesia. Ia mengambil langkah itu "untuk preventif."
Alasan Farizal sangat valid. Pemilik akun @omdjin ini mengalami intimidasi dan kekerasan verbal oleh nomor tak dikenal pada 16 Mei 2025.
Peneror mengirimkan pesan pada pukul 13.00 WIB, dan langsung meminta Farizal menghapus—lagi-lagi—unggahan yang spesifik.
Farizal menanggapi peneror dengan santai dan tak jarang berujung banyolan. Awalnya Farizal mengira orang tak dikenal ini adalah buzzer—pendengung—biasa. Ia lalu meralat asumsinya setelah si peneror menyebut nama istrinya.
"Mereka tahu nama istri saya, alamat rumah saya, yang di KTP, dan saya berpikir mereka pasti punya akses ke data-data kependudukan masyarakat," ujarnya kepada BBC News Indonesia, Selasa (27/5).

Sumber gambar, ADITYA AJI/AFP via Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Saling berbalas pesan antara Farizal dan peneror berlangsung cukup panjang, termasuk upaya pelaku menelepon langsung Farizal sebanyak lebih dari tiga kali—yang hanya ia diamkan.
Dan keluarlah ancaman serta kekerasan verbal itu.
Nanti ada tim kita yang dateng ke istrimu.
Bacot kau.
Aku doxxing kau.
Kusebarin data kau di Twitter (X) biar saat kau cari kerja lagi ditolak.
Bacot.
Tak berhenti di pesan percakapan, pelaku teror sempat membalas unggahan Farizal di X memakai akun bot.
Farizal sadar situasi tersebut dan segera meng-quote balasan pelaku—sehingga bisa diketahui pengikut (followers) Farizal. Pelaku langsung menghapus reply-nya.
Walaupun teror berlangsung singkat, Farizal mengatakan sudah mengambil sikap dengan melaporkan insiden ini ke lembaga advokasi yang fokus pada perlindungan digital seperti SAFEnet.
Lalu, ia berpesan kepada istrinya supaya tidak sembarangan membukakan pintu rumah kepada orang asing.
"Pokoknya kalau ada yang enggak dikenal ke rumah, abaikan," ujarnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Dalam kesempatan terpisah, BBC News Indonesia juga mencoba meminta jawaban kepada pemerintah, diwakili Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, Selasa (27/5). Ia tidak membalas pesan BBC News Indonesia.
Satu hari sebelumnya, Senin (26/5), Hasan mengutarakan "pemerintah tidak antikritik," menanggapi isu opini mengenai pemilihan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dari kalangan militer yang di-take down dari detik.com.
Penurunan opini tersebut karena faktor keselamatan penulis yang diduga mengalami kekerasan serta intimidasi.
"Tulisan-tulisan opini selama ini pemerintah tidak punya masalah, tidak punya komplain dengan tulisan-tulisan opini. Bahkan kalau perlu, tulisannya dinaikkan lagi," tandasnya.
Hasan mendorong setiap kasus intimidasi diusut hingga tuntas secara hukum.
Ia meminjam contoh mahasiswa ITB yang penahanannya ditangguhkan usai ditangkap polisi karena meme Prabowo-Jokowi.
Keputusan ini, sebut Hasan, adalah bukti pemerintah tidak alergi kritik lantaran penyelesaian masalah lebih mengedepankan "pembinaan" bukan "hukuman."
Upaya merepresi warga
Per Selasa (27/5) terdapat sembilan aduan soal teror WhatsApp untuk penghapusan unggahan di X, jelas Direktur SAFEnet, organisasi perlindungan hak digital, Nenden Sekar Arum, kepada BBC News Indonesia.
Serangan-serangan ini, imbuh Nenden, menggambarkan ada upaya merepresi opini-opini mengenai judi online serta korelasinya dengan salah satu pejabat di DPR.
Hal yang penting disorot, Nenden menerangkan, ialah bagaimana pelaku teror mampu mengetahui secara akurat nomor ponsel—yang terhubung ke WhatsApp—pemilik akun di X yang disasar.
"Ada usaha menggali data pribadi dari orang-orang yang ditarget, dan di sinilah tidak ada perlindungan yang meminimalisir orang-orang dalam mengeksploitasi data pribadi pengguna [di X]," tuturnya.
Intimidasi terkait judi online kian menambah suram pemenuhan atas hak digital yang aman.
Laporan SAFEnet pada awal 2025 menyatakan "pelanggaran hak digital meningkat seiring gelombang resistensi sipil."
Indikatornya dilihat melalui kasus pembatasan akses internet, pembungkaman kebebasan sipil, dan, yang cukup mengkhawatirkan, serangan digital.