RUU Pertanahan segera disahkan meski dituding kembalikan regulasi era kolonial: 'Perjuangan rakyat kecil makin berat'

Sumber gambar, JEFTA IMAGES/BARCROFT MEDIA/GETTY IMAGES
- Penulis, Abraham Utama
- Peranan, BBC Indonesia
DPR berencana mengesahkan RUU Pertanahan pada 24 September mendatang. Sejumlah guru besar ilmu agraria menilai draf beleid ini memuat banyak pasal janggal, termasuk yang menghidupkan lagi pasal era kolonial Belanda.
Meski dianggap disusun secara tergesa-gesa dan tak melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, pemerintah yakin RUU Pertanahan merupakan kunci stabilitas iklim investasi dan harga tanah.
Di sisi lain, masyarakat adat khawatir RUU Pertanahan akan makin melemahkan kedudukan mereka dalam kepemilikan lahan.
Setidaknya sejak tahun 2016, masyarakat adat Sigapiton di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, menolak proyek jalan raya yang digadang-gadang menopang lokasi pariwisata Nomadic Caldera Toba Escape.
Lokasi turisme ini bagian dari kawasan strategis pariwisata nasional dan dikelola Badan Otoritas Danau Toba (BODT).
Polemik muncul, salah satunya, karena warga adat Sigapiton menilai jalan sepanjang 1,9 kilometer yang akan dibangun ke lokasi wisata itu melewati lahan adat mereka.
Puncaknya, 12 September lalu, warga Sigapiton berunjuk rasa dan menghalangi beberapa alat berat proyek jalan.
Bentrokan dengan kepolisian saat itu pecah. Sejumlah perempuan adat Sigapiton bahkan menanggalkan pakaian agar aparat pemerintah menghentikan proyek jalan tersebut.

Sumber gambar, Handout/Kompascom
Tetua adat Sigapiton, Jabangun Sirait, menyebut proyek pariwisata Danau Toba itu mengabaikan hak ulayat mereka. Ia khawatir, ladang hingga mata air mereka bakal hilang seiring proyek turisme itu.
"Dari tanah yang diklaim BODT itu kami ambil alang-alang untuk atap, kayu untuk perabot rumah," ujar Jabangun, Kamis (19/09).
"Mata air kami juga dari situ, untuk minum dan pengairan sawah. Itulah mengapa kami bertahan, tidak kasih. Kembalikan dulu tanah kami, baru kita dialog," tuturnya.
'Merusak mata air, ladang dan makam'
Menurut Jabangun, pemerintah mengubah status tanah adat mereka secara sepihak. Tanah itu kini dikuasai BODT.
Namun belakangan Bupati Toba Samosir, Darwin Siagian, mengklaim persoalan tanah itu sudah kelar dalam musyawarah 15 September lalu.
Darwin mempersilakan warga adat Sigapiton membawa persoalan status tanah adat itu ke pengadilan.
"Jangan ada pihak yang mencoba memperkeruh susana karena BPODT bersama warga sudah menyepakati beberapa hal," kata Darwin dalam situs resmi Pemkab Toba Samosir.

Sumber gambar, ISTANA PRESIDEN/AGUS SUPARTO
Jabangun menolak klaim tersebut. Ia berkeras, pemerintah harus mengembalikan tanah itu kepada warga adat.
Setelahnya, kata dia, masyarakat Sigapiton akan menunjukkan lokasi proyek yang merusak ladang, mata air, hingga makam leluhur merkea.
"Nanti kami tunjukkan di mana bangunan mereka bisa berdiri. Kalau diminta di atas rumah kami, bagaimana mungkin kami menyerahkannya");