Kisah anak-anak Gaza yang terluka akibat serangan Israel dan jadi yatim piatu

Sumber gambar, Mahmoud Aki
- Penulis, Dalia Haidar
- Peranan, Jurnalis BBC News Arabic
Para pekerja medis yang bekerja di Jalur Gaza menggunakan istilah khusus untuk merujuk kategori korban perang secara spesifik.
“Ada akronim yang berbeda di Jalur Gaza, yaitu WCNSF (Wounded Child, No Surviving Family), yang berarti anak yang terluka dan tak memiliki anggota keluarga yang selamat," kata Tanya Haj-Hassan, dokter yang selama satu dekade terakhir bekerja dengan Doctors Without Borders di Gaza.
"Akronim ini sering digunakan," ujarnya kepada BBC News.
Istilah di kalangan pekerja medis ini menggambarkan kengerian yang dialami banyak anak di Gaza. Hidup mereka berubah dalam sekejap: orang tua, saudara kandung, dan kakek-nenek mereka terbunuh. Bagi mereka segalanya tidak akan lagi sama.
Perang dimulai setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu menewaskan 1.200 orang, kemudian dibalas oleh Israel melalui operasi militernya. Saat ini lebih dari 15.500 orang di Gaza tewas, termasuk sekitar 6.000 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.
Ahmed Shabat adalah salah satu anak di Gaza yang masuk kategori anak yang terluka dan tak memiliki anggota keluarga yang selamat. Pekerja medis mengetahui nasib Ahmed saat dia tiba dalam keadaan terluka dan menangis di Rumah Sakit Indonesia di kawasan utara Gaza.
Ahmed, yang berusia tiga tahun, selamat dari serangan udara Israel di rumahnya di Beit Hanoun, pada pertengahan November lalu. Namun ayah, ibu dan kakak laki-lakinya tewas akibat serangan tersebut.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Setelah serangan berlalu, Ahmed hanya mengalami luka ringan. Belakangan pekerja medis mengetahui bahwa adik laki-lakinya, Omar, yang berusia dua tahun, juga selamat dari serangan Israel itu. Ahmed dan Omar dipertemukan kembali setelah seorang anggota keluarga besar mereka yang sudah dewasa mengidentifikasi keduanya.
“Setelah pengeboman, kami mengetahui ada seorang anak di Rumah Sakit Indonesia yang tidak ditemani satupun anggota keluarganya, jadi kami segera pergi ke sana,” kata paman Ahmed, Ibrahim Abu Amsha.
Ahmed saat itu tengah bersama orang asing. Ibrahim berkata, akibat serangan udara Israel, Ahmed terlempar ke udara dan ditemukan terluka sekitar 20 meter dari rumahnya.
Ahmed dan Omar kini menjadi yatim piatu sekaligus tunawisma. Keduanya tidak memiliki tempat berlindung dari serangan Israel yang berlangsung terus-menerus. Mempertimbangkan situasi itu, Ibrahim memutuskan untuk menjaga dan merawat dua anak itu bersama keluarganya.
Ibrahim dan keluarganya sempat membawa Ahmed dan Omar ke permukiman Sheikh Radwan di barat daya Gaza. Namun mereka kemudian mengungsi dari kawasan itu setelah Ahmed terkena pecahan kaca akibat sebuah ledakan.
Mereka kemudian pergi ke kamp Nuseirat untuk tinggal di sekolah yang berafiliasi dengan PBB. Namun bahkan di lokasi barunya, mereka kembali menghadapi serangan Israel. Ini memicu konsekuensi yang sangat buruk bagi Ahmed.
“Saya berlari keluar dari pintu sekolah dan melihat Ahmed di depan saya tergeletak di tanah, kedua kakinya hilang. Dia merangkak ke arah saya, membuka tangannya, mencari bantuan,” kata Ibrahim.
Seorang anggota keluarga, yang bersama Ahmed pada saat ledakan terjadi, tewas.
Ibrahim, yang masih mengungsi bersama keluarganya serta anak-anak saudara perempuannya, mengatakan dia bermimpi bisa mengirim Ahmed untuk berobat ke luar Gaza.
“Dia bermimpi bisa melakukan banyak hal,” kata Ibrahim. Dia bertutur dalam kesedihan.
“Saat kami pergi bersama untuk menonton pertandingan sepak bola, Ahmed berkata ingin menjadi pemain sepak bola terkenal,” ujar Ibrahim.
Menangis, memanggil ibu
Sama seperti Ahmed, Muna Alwan juga merupakan anak yang menjadi yatim piatu. Dia diberi status sebagai anak yang terluka dan tak memiliki anggota keluarga yang selamat ketika tiba di Rumah Sakit Indonesia.
Muna yang berusia dua tahun itu terus-menerus menangis. Dia berteriak memanggil ibunya, "Mama!". Namun ibunya sudah meninggal.
Muna berhasil dikeluarkan dari reruntuhan setelah serangan udara Israel menghantam rumah tetangganya di wilayah Jabal al-Rais, di Gaza utara. Orang tua Muna, kakak dan kakeknya tewas. Mata Muna terluka parah. Rahangnya patah.

Sumber gambar, Mohammed Al-Kahlout
Dari Rumah Sakit Indonesia, Muna kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain. Di situlah dia dikenali dan ditemukan oleh bibinya, Hanaa.
“Kami mengetahui melalui internet bahwa Muna berada di Rumah Sakit Nasser. Kami datang dan kami mengenalinya,” ujar Hanaa.
Hanna berkata, keponakannya itu sangat menderita.
“Dia hanya ingin berteriak, selalu takut, apalagi jika ada yang mendekatinya,” kata Hanaa.
Muna mempunyai kakak perempuan yang masih hidup. Kakaknya itu berada di pusat kota Gaza.
“Mereka terjebak dan tidak ada cara untuk membawa mereka ke selatan,” kata Hanaa.
“Saya terus-menerus bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kami lakukan? Bagaimana kami bisa menggantikan peran ibunya?” ujar Hanaa.
Baca juga:
- Bayi-bayi prematur di Gaza bertemu kembali dengan orang tuanya setelah lama terpisah - 'Saya tak percaya mereka masih hidup'
- 'Anak-anak Gaza sudah terbiasa dengan kematian dan pengeboman'
- 'Kami semua merasa itu adalah tempat paling aman bagi anak-anak’ - Kesaksian orang tua yang kehilangan dua putra imbas ledakan RS Al-Ahli
'Saya kehilangan kaki dan keluarga saya'
Di ranjang logam di sudut sebuah ruangan di Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis, Gaza selatan, Dunya Abu Mehsen yang berusia 11 tahun melihat sisa-sisa kaki kanannya yang dibalut perban putih.
Anak perempuan dengan rambut keriting panjang itu duduk di tepi tempat tidur, mengenakan baju panjang berwarna merah. Hampir sepanjang waktu dia diam. Dia terlihat sangat sedih.
Dunya selamat dari serangan udara Israel bersama saudara laki-lakinya, Yusuf, dan adik perempuannya. Serangan udara itu terjadi ketika mereka semua sedang tidur di rumah mereka di permukiman al-Amal di Khan Yunis.
Akibat serangan udara itu, orang tua Dunya, saudara laki-laki dan saudara perempuannya terbunuh. Dunya juga kehilangan kaki kanannya.
“Saat saya melihat ayah saya, saya takut karena dia berlumuran darah dan tertutup batu. Orang-orang berdiri di sekitar kami. Saudara perempuan saya berteriak,” ujar Dunya mengenang peristiwa itu.
"Saya melihat diri saya sendiri dan saya sadar saya tidak punya kaki. Saya merasakan sakit dan satu-satunya pikiran saya adalah 'Bagaimana saya bisa kehilangan kaki saya");