Apa kesamaan Indonesia dan Liberia dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan?

Sumber gambar, Getty Images
Indonesia dan Liberia adalah dua negara yang beberapa tahun belakangan memberlakukan undang-undang pencegahan kekerasan terhadap perempuan, namun penerapan legislasi ini memiliki tantangannya sendiri.
“Adik perempuan saya mengalami pendarahan hingga meninggal dunia setelah kami berdua menjalani sunat perempuan,” ujar Miatta Gray.
Pada usia 11 tahun, perempuan asal Liberia itu diboyong ke sebuah daerah terpencil bersama adiknya untuk menjalani praktik khitan perempuan - sesuatu yang umum di negara Afrika Barat itu.
“Ketika saya tersadar, tidak ada yang memberitahu di mana adik saya berada. Baru beberapa hari kemudian salah satu sepupu saya bilang bahwa dia sudah tiada,” tutur Miatta.
Miatta harus menjalani dua tindakan operasi untuk merekonstruksi luka-luka serius yang dialaminya akibat disunat.
Setahun kemudian, Miatta diperkosa salah satu anggota keluarga terdekatnya.
“Sangatlah brutal, saya benar-benar sakit dan tidak ada yang memperhatikan,” imbuhnya.
PBB memperkirakan kurang dari 40% dari total jumlah perempuan korban kekerasan yang mencari pertolongan. Situasi ini diperburuk oleh ketidaksetaraan gender dan pemakluman atas kekerasan terhadap perempuan di banyak negara.
Miatta merasa tidak ada satu pun orang yang mempercayai dirinya dan dia malah disalahkan atas apa yang terjadi.
Dia tidak punya orang yang bisa dipercaya, setelah adik perempuannya meninggal dunia dan sejak kecil dia sudah terpisah dari ibu kandungnya.
“Saya ini adalah penyintas perdagangan anak. Saya diambil dari ibu saya sewaktu masih berusia satu tahun,” ujarnya.
Setelah tumbuh dewasa, Miatta berada di dalam sebuah hubungan di mana dirinya diperlakukan secara kasar dan ini berdampak berat terhadap kesehatan mentalnya.
“Saya sudah berkali-kali mencoba bunuh diri karena trauma ini,” ucap Miatta, dengan menambahkan bahwa pada saat itu dia merasa sendirian di dunia.

Sumber gambar, Getty Images
Barulah setelah Miatta berusia 14 tahun dia dipersatukan kembali dengan sang ibu.
Ibu Miatta tidak tahu menahu putrinya menjadi korban perdagangan anak dan senantiasa berusaha mencarinya.
Sejak bertemu lagi, sang ibu berjuang membebaskan Miatta yang terjebak dalam pernikahan anak.
“Saya bisa lepas dari pernikahan karena ibu saya bilang 'tidak' ,” ucap Miatta.
Baca juga:
Ibu Miatta ibarat benteng perlawanannya. Setelah dia meninggal, Miatta memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada putrinya.
Mengetahui apa yang bisa terjadi kepada putrinya tanpa ada perlindungan, semangat Miatta tetap berkobar.

Sumber gambar, Getty Images
PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai tindakan kekerasan berbasis gender apa pun yang berujung pada - atau berpotensi untuk menyebabkan - perempuan menderita secara fisik, seksual, ataupun mental.
Menurut PBB, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual dan sebagian besar ini dilakukan oleh pasangan mereka sendiri.
Lebih dari 640 juta perempuan berusia 15 tahun ke atas sempat menjadi korban kekerasan dari pasangan mereka.
Selama empat tahun terakhir, pemerkosaan atau kekerasan terhadap perempuan telah dinyatakan sebagai darurat nasional oleh pemerintahan Liberia, Puerto Rico, Nigeria, Afrika Selatan, dan Sierra Leone.
“Penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah pertarungan yang mengharuskan Anda untuk berjuang sepenuhnya,” ucap Miatta.

Sumber gambar, Getty Images
Sebagai penyintas berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, Miatta kini menjalankan sebuah LSM di Liberia yang bertujuan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.
Dia bertekad untuk membantu siapa pun yang menderita seperti dirinya dulu.
Laporan PBB menyebutkan setidaknya 162 negara memiliki peraturan perundang-undangan melawan kekerasan domestik dan 147 negara memiliki hukum anti-kekerasan seksual di tempat kerja.
Kendati demikian, ini bukan berarti hukum tersebut diterapkan dan masalah tertanggulangi.
Apa tantangan di Indonesia setelah UU TPKS disahkan?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Indonesia adalah negara yang baru-baru ini memperkenalkan legislasi baru terkait pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Menurut statistik pemerintah Indonesia, sedikitnya tiga perempuan mengalami kekerasan seksual setiap dua jam.
Pada April 2022, DPR mengesahkan UU Tindakan Pidana Kekerasan Seksual yang mengembangkan definisi pemerkosaan untuk juga mencakup pemerkosaan di dalam pernikahan dan memperkenalkan pendekatan yang lebih terfokus kepada korban dalam penanganan kasus.
“Pemerkosaan dalam pernikahan seringkali tidak dilaporkan dan bahkan setelah dilaporkan pun, polisi memandangnya sebagai urusan pribadi keluarga,” tutur Theresia Iswarini, komisioner Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan adalah lembaga yang didirikan untuk membantu korban mengakses pelayanan dan melaporkan tindak kejahatan.
Baca juga:
Menurut Theresia, mayoritas kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dimana para istri dan banyak anak perempuan menjadi korban.
“Sulit bagi korban untuk melapor akibat budaya patriarki dan penekanan terhadap keadilan restoratif. Akan tetapi, UU mewajibkan semua KDRT harus dilaporkan,” tuturnya.
“UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memiliki satu klausul yang melindungi para korban dan menawarkan ganti rugi kepada mereka.”
“Korban kini memiliki hak untuk dilupakan dan dapat meminta kepada pengadilan untuk menghapus foto-foto atau video-video daring mereka yang bersifat seksual.”

Sumber gambar, RAHMAD/ANTARA FOTO
Walaupun Theresia mengatakan legislasi yang baru ini mendukung perempuan, dia mencatat UU lain yang mengkriminalisasi hubungan seks di luar nikah dan menghukum tindakan yang tidak pantas - yang mana dalam konteks Indonesia termasuk berciuman - dapat digunakan untuk menyerang para korban.
Theresia menambahkan hanya 30% dari kasus-kasus yang dilaporkan kepada pihak kepolisian yang berujung kepada vonis pengadilan - yang menunjukkan bahwa masih ada hambatan untuk mencapai keadilan.
Baca juga:
Penelitian Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa sulitnya mengakses layanan terintegrasi di level kecamatan dan kota merupakan halangan untuk memperoleh keadilan.
Isu lainnya adalah fasilitas pemerintahan juga terpusat di pulau utama di Indonesia, yakni Pulau Jawa, dan tidak merata ke seluruh Indonesia yang minim rumah-rumah aman (safe houses) dan layanan bantuan.

Sumber gambar, Antara Foto
Korban juga masih harus membayar tes DNA dari kantong sendiri.
Penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa penegak hukum dan penyedia layanan seringkali menyalahkan korban dan tidak mendengarkan cerita mereka.
“Guna mendukung korban-korban, pemerintah daerah harus menawarkan layanan terintegrasi dan melakukan pembetulan atas kebijakan-kebijakan yang diskriminatif,” ujar Theresia.
Theresia meyakini dibutuhkannya pendekatan yang lebih holistik dalam mengatasi permasalahan ini.
“Langkah-langkah preventif termasuk penegakan hukum, penurunan angka kemiskinan, mengekang korupsi, pencegahan konflik, dan respon darurat yang sensitif terhadap gender,” tutur Theresia.
Apa tantangan yang dihadapi Liberia?
Setelah konflik yang berlangsung selama 14 tahun, negara Afrika ini telah mengesahkan sejumlah undang-undang dan pencegahan-pencegahan guna mengekang kekerasan terhadap perempuan.
UU Tindak Pidana Pemerkosaan 2005 mewajibkan hukuman 10 tahun penjara atau penjara seumur hidup berdasarkan besarnya pelanggaran hukum.
Pada 2008, sebuah pengadilan khusus didirikan secara khusus untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender.
Pada 2019, UU Tindak Pidana Kekerasan Domestik yang melindungi korban dan penyintas pun disahkan.
“Selama beberapa tahun, ada penyelidikan dan penuntutan yang cepat. Semuanya sudah berubah selama enam tahun terakhir,” jelas Miatta, yang terus berupaya untuk memperbaiki hidup perempuan di negaranya .