UU TPKS: Pasal pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, antara hak reproduksi perempuan HIV positif dan penyandang disabilitas atau 'potensi kriminalisasi tenaga kesehatan'

Dwi dan Anton, pasangan HIV positif

Sumber gambar, Yuli Saputra

Keterangan gambar, Dwi Surya dan suaminya, Anton Eka. Dwi mengaku mengalami pemaksaan sterilisasi pascapersalinan lantaran statusnya sebagai orang dengan HIV positif.

Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada pertengahan April 2022 lalu menjadi kabar gembira bagi banyak perempuan, termasuk mereka yang HIV positif dan disabilitas. Selama ini, kedua kelompok ini kerap menjadi korban pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, yang kini diatur dalam UU TPKS. Ini kisah mereka.

Empat belas tahun sudah berlalu, tapi rasa menyesal tidak bisa ditepis oleh Dwi Surya. Pada 2008, Dwi melakukan proses sterilisasi kehamilan pascapersalinan putranya.

Keputusan sterilisasi ini, aku Dwi, dilakukan saat dirinya dalam kondisi tertekan, baik secara psikis, fisik, dan ekonomi.

Sebagai perempuan dengan HIV positif, ia mengaku tidak memiliki daya tawar untuk menolak "saran" sterilisasi dari dokter yang menangani persalinannya kala itu.

"Punya anak adalah impian saya. Saat tahu hamil, senang sekali bisa punya keturunan, karena orang dengan HIV positif punya keturunan, rasanya bangga," kisah Dwi.

Baca juga:

Sejak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV pada 2004, Dwi aktif di komunitas orang dengan HIV. Di situ dia bertemu dengan Anton Eka, lelaki yang juga HIV positif dan kelak menjadi suaminya.

Dwi dan Anton menikah pada 2007. Delapan bulan kemudian, Dwi hamil meski tanpa perencanaan.

Bagi pasangan HIV positif, kehamilan sebaiknya dilakukan dengan perencanaan matang karena membutuhkan disiplin yang ketat. Beberapa obat yang dikonsumsi, misalnya, harus berhenti dikonsumsi sebelum hamil.

Saat mengetahui dirinya hamil, Dwi mengaku gembira namun juga khawatir. Dwi sadar, ia berpotensi menularkan virus HIV kepada bayi yang dikandungnya baik saat kehamilan, persalinan, maupun proses menyusui.

Apalagi, dia juga masih mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV) jenis Efavirenz yang waktu itu diyakini bisa berdampak buruk pada janin.

Dwi dan Anton, pasangan HIV positif

Sumber gambar, Yuli Saputra

Keterangan gambar, Anton dan Dwi, kini berbagi pengalaman soal sterilisasi paksa kepada komunitas ODHIV dan keluarga.

"Kalau ada perencanaan, mungkin akan diberhentikan obat Efavirenz itu dua bulan sebelum kehamilan. Tapi dokter menyarankan 'gugurin [kandungan], jalan satu-satunya, tidak ada pilihan'."

Terang saja, saran dokter yang menurut Dwi "cenderung menakut-nakuti" itu membuatnya semakin resah dan khawatir.

Namun dukungan dari komunitas ODHIV memantapkan hati mereka. Dwi pun mempertahankan kehamilannya yang berjalan relatif tanpa kendala.

Sebulan menjelang persalinan, Dwi dan Anton kembali dihadapkan pada pilihan yang berat. Dwi diminta melakukan sterilisasi kehamilan dengan alasan "kamu HIV positif" dan "kamu sudah menularkan pada anak".

"Di situ saya sedikit tersinggung sebenarnya," ujar Dwi. "Siapa yang mau anak menjadi korban");