
Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit
- Penulis, Ayomi Amindoni & Rebecca Henschke
- Peranan, BBC News Indonesia
Papua adalah rumah bagi hutan hujan terluas yang tersisa di Asia. Sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan diduga"secara sengaja" menggunakan api untuk membuka lahanPapua demi memperluas lahan sawit.
Hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua secara turun temurun. Namun kini menjadi garda terdepan perluasan bisnis perusahaan sawit.
Suku Mandobo dan Malind yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung.
"Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu, kami jaga hutan ini dengan baik," tutur Elisabeth Ndiwaen, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka," ujarnya.

Sumber gambar, Greenpeace
Sementara, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel, agar tidak dijadikan kebun kelapa sawit.
Berjalan menyusuri hutan adatnya, Petrus menuturkan sagu yang tumbuh liar di hutan, makanan pokok masyarakat adat Papua kini lambat laun tergusur oleh kebun kelapa sawit.
"Jadi saya ambil ikan, daging, burung, sagu, gratis. Saya datang pasti dengan istri anak senyum, senang-senang kita makan. Tidak ada yang keberatan karena ini di atas tanah adat saya sendiri," kata Petrus sambil menunjukkan kebun sagu di hutan adatnya.
Hutan Papua tempat Petrus tinggal merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi. Lebih dari 60% keragaman hayati Indonesia, ada di Papua.

Sumber gambar, Albertus Vembrianto
Tak jauh dari hutan adat itu, hamparan hutan telah berganti menjadi petak-petak perkebunan kelapa sawit.
Sejauh mata memandang, pohon kelapa sawit berjajar teratur di area konsesi anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua.
Konglomerasi perusahaan sawit Korindo menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya.
Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.

Sumber gambar, Greenpeace
Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace yang diterbitkan pada Kamis (12/11) bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya selama periode 2011-2016.
Investigasi menemukan bukti kebakaran di salah satu konsesi Korindo selama beberapa tahun dengan pola 'pembakaran yang disengaja' secara konsisten.
'Saya berdosa, saya sudah tipu 10 marga'
Sebelum berjuang mempertahankan hutan adat seluas hampir 5.000 hektare milik marganya, enam tahun lalu Petrus melakukan hal yang mengubah nasib marganya selamanya.
Dia turut memuluskan langkah Korindo melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel dengan menjadi "koordinator" bagi 10 marga yang hutan adatnya kini menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE).
Petrus bertugas "mempengaruhi" marga-marga lain agar mau melepas hutan adat mereka.

Sumber gambar, Ayomi Amindoni
"Itu saya mewakili 10 marga, percayakan kami supaya mempengaruhi marga-marga yang lain supaya bisa ada pelepasan, ada pengakuan, supaya dia bisa ada hak guna usaha," ujar Petrus.
Iming-iming perusahaan kala itu, diakui Petrus, membuatnya tergiur.
"'Bapak nanti kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator nanti biaya pendidikan [anak] ditanggung perusahaan, nanti ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih, nanti [ada] genset'," ujar Petrus menirukan kalimat pemikat yang dijanjikan perusahaan kala itu.

Sumber gambar, Greenpeace
"Jadi anak anak sampai biaya sekolah lanjutan itu nanti ditanggung perusahaan. Cuma itu bicara semua, tetapi tidak ada dalam tertulis," terang pria berusia 41 tahun tersebut.
Akhirnya, pada 2015 marga pemilik ulayat melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi Rp100.000 untuk tiap hektare hutan adat yang kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma POP-E seluas lebih dari 19.000 hektare.
Petrus sendiri menerima Rp488.500.000 untuk untuk pelepasan hak atas tanah hutan adat milik marga Kinggo seluas 4.885 hektare.

Sumber gambar, Haryo Wirawan
Petrus menambahkan Korindo juga memberikan apa yang disebut sebagai "uang permisi" senilai Rp1 miliar, yang dibagi kepada sembilan marga, setelah satu marga akhirnya menolak kesepakatan itu.
Petrus kemudian membagi uang yang ia terima kepada seluruh keluarganya dari marga Kinggo. Dari total uang itu, dia hanya mengantongi Rp10 juta, yang dia gunakan untuk membiayai pendidikan delapan anaknya.
"Uangnya su tidak ada, kosong."

Sumber gambar, Greenpeace
Dalam responsnya terhadap pertanyaan BBC, Korindo menjelaskan bahwa pihaknya telah membayar sejumlah ganti rugi, masing-masing sebesar Rp100.000 per hektare untuk ganti rugi pohon dan lahan.
"Jumlah dari kedua ganti rugi adalah Rp200.000," kata manajer humas Korindo, Yulian Mohammad Riza, dalam keterangan tertulis.
Ia menegaskan kesepakatan lahan tersebut sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia.
Manajer humas Korindo ini menambahkan bahwa, "Harus dipahami dengan jelas bahwa kepemilikan legal atas tanah terletak pada pemerintah Indonesia, bukan masyarakat adat yang memegang "hak ulayat" atas tanah tersebut".

Sumber gambar, Greenpeace
"Pemerintah, bukan penduduk asli, memberikan izin untuk jangka waktu 35 tahun dan kepemilikan legal atas tanah tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat," kata dia.
Namun, Petrus yang menganggap hutan adat itu sebagai "hak dan wilayah kehidupan", merasa dicurangi perusahaan.
Kepada BBC, Petrus mengaku merasa bersalah dan menanggung beban karena telah menyerahkan hutan adatnya dan hutan adat marga-marga lain yang mengubah nasib hutan itu selama-lamanya.
"Kalau menurut iman, saya berdosa, kan saya sudah tipu sepuluh marga. Terutama kepentingan perusahaan bikin kita sampai [melakukan] manipulasi saja sebenarnya," cetusnya.
"Saya sudah rasa bersalah di situ, ini sudah tipu."

Sumber gambar, Ayomi Amindoni
Demi memperbaiki "dosa" yang telah ia buat, Petrus kini memutuskan mempertahankan hutan adatnya.
"Kami pertahankan ini wilayah kehidupan, perusahaan [lakukan] berbagai cara pun tidak bisa. Bukan caranya setelah izin [keluar] back up dengan polisi-tentara supaya menakuti masyarakat. Sebenarnya ini manipulasi saja, jadi kami tidak terima," kata Petrus.
'Berpotensi melanggar HAM'
Keberadaan aparat kepolisian, telah menjadi bagian dari operasi anak usaha Korindo di Boven Digoel.
Kapolres Boven Digoel, AKBP Syamsurizal, menjelaskan hal itu tak lepas karena perkebunan kelapa sawit dikategorikan sebagai "obyek vital".
"Pihak perusahaan minta untuk kita lakukan pengamanan. Kita kirimkan personel untuk lakukan pengamanan," jelas Syamsurizal, seraya menjelaskan bahwa itu adalah "hal yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya".
Sementara, Korindo beralasan perkebunan sawitnya berada dekat dengan perbatasan Papua dan Papua Nugini sehingga keberadaan aparat polisi diperlukan untuk menjaga keamanan.

Sumber gambar, Greenpeace
"Polisi telah mendirikan beberapa pos pengawasan di dalam pertanian. Ini hanyalah operasi polisi rutin dan harus kita ikuti," jelas Riza.
Namun, keterlibatan aparat dalam operasional perkebunan sawit dianggap berpotensi melanggar HAM oleh organisasi gereja yang mengadvokasi hak masyarakat adat, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAMe).
Direktur SKP-KAMe, Pastor Anselmus Amo, menjelaskan meskipun keterlibatan aparat disebut sebagai "pengamanan areal investasi", namun yang lebih penting adalah "memastikan aparat keamanan betul-betul menjalankan tugasnya".
"Tidak diperalat perusahaan untuk, misalnya, menghalang-halangi masyarakat yang menuntut hak-hak mereka,' ujar Pastor Amo.
"Keberadaan tenaga pengamanan di area perusahaan yang terlalu banyak itu juga bisa berpotensi untuk adanya pelanggaran HAM. Ini bisa kita lihat dari beberapa kejadian terakhir," ujarnya kemudian.

Sumber gambar, Greenpeace
Meregang nyawa setelah diduga dianiaya polisi
Pada Mei lalu, seorang warga Boven Digoel, Marius Betera, meregang nyawa setelah mengalami kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di kantor PT TSE di Boven Digoel.
Beberapa jam sebelum kematiannya, mantan sekuriti di perusahaan itu berniat mengajukan protes bersama istrinya ke kantor PT TSE karena rumpun pohon pisang yang dia tanam di area perusahaan ditebang tanpa pemberitahuan.
Istri Marius, Mikela Dawirop Ukyandit, menuturkan kejadian yang ia alami kala itu.

Sumber gambar, Haryo Wirawan
"Di kebun, lihat [pohon] pisang [di]potong-potong toh," tutur Mikela, seraya menambahkan hal yang lumrah bagi pekerja menanam rumpun pohon pisang di sela pohon-pohon sawit.
"Pace langsung lihat [pohonnya digusur], 'Wah, ini siapa yang gusur">

Sumber gambar, Greenpeace
'Sisa-sisa kayu dibakar, tertutup dunia ini'
Namun, warga yang tinggal di dekat area konsesi PT Dongin Prabhawa berkata lain.
Sefnat Mahuze, warga Kampung Tagaepe, mengaku melihat dengan kepala sendiri pembakaran lahan yang dilakukan pekerja perusahaan.
"Saya melihat mereka kumpul batang-batang kayu, ranting-ranting kayu. Itu alat-alat berat yang kumpul, mereka tumpuk. Tumpuk di jalur," jelas Sefnat, menuturkan peristiwa yang dilihatnya pada 2012 silam ketika dia berkunjung ke perusahaan untuk mengurus permohonan dari warga.
"Panjang, mungkin sekitar 100 - 200 [meter] baru mereka siram pakai solar, baru mereka bakar," ujarnya kemudian.
Dia menambahkan, kebakaran ini "sudah berjalan bertahun-tahun" sejak perusahaan membongkar hutan.
"Sampai 2016 baru selesai."

Sumber gambar, Greenpeace
Esau Kamuyen, warga Kampung Nakias yang berjarak sekitar 20 km dari area konsesi PT Dongin Prabhawa, mengatakan asap dari pembakaran lahan menutupi kampungnya.
"Wei, tertutup [asap] ini, kalau pembongkaran itu. Sisa-sisa kayu yang tidak dipakai itu kan dibakar, tertutup ini dunia ini," serunya.
"Apalagi kalau sudah sore begini, itu lain lagi, sudah gelap," tegasnya.

Sumber gambar, Haryo Wirawan
Kepala Kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik, mengatakan investigasi yang dilakukan bersama Forensic Architecture ini penting untuk menegaskan Korindo menggunakan api dalam pembersihan lahan.
Padahal dalam regulasi di Indonesia hal itu "tidak dibenarkan".
"Tidak diperbolehkan atau melanggar hukum apabila ada perusahaan menggunakan api, karena api adalah cara termurah bagi perusahaan bagi perusahaan untuk [melakukan] land clearing."
Praktik pembakaran untuk pembukaan adalah ilegal di Indonesia, menurut UU Perkebunan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Namun, perusahaan kelapa sawit yang diduga melakukannya kerap lolos dari sanksi.

Sumber gambar, Greenpeace
Pemerintah Indonesia tidak memberi tanggapan atas permintaan wawancara kami.
Adapun FSC mengatakan Korindo telah setuju untuk menghentikan semua pembukaan hutan lebih lanjut, untuk saat ini.