Covid-19: 'Happy Hypoxia' dan hal-hal yang perlu diketahui tentang cici-ciri, ancaman dan langkah antisipasi

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
- Penulis, Muhammad Irham
- Peranan, Wartawan BBC Indonesia
Pemerintah Indonesia mengakui 'gejala lain' dari pasien Covid-19 yang disebut sebagai happy hypoxia. Gejala yang disebut seorang dokter sebagai peringatan merah bagi pasien Covid-19, termasuk yang mengalami gejala ringan.
Namun, sejumlah peneliti mengatakan happy hypoxia bisa jadi disebabkan virus yang telah merusak jaringan otak, sehingga sensor terhadap sistem tubuh terganggu.
Tri Maharani adalah penyintas Covid-19, yang bertugas sebagai kepala unit gawat darurat di Rumah Sakit Daha Husada, Kediri, Jawa Timur.
Ia terinfeksi virus corona awal Juni lalu. Hari-hari pertama terinfeksi, ia tak mengalami gejala. Tapi setelah pemeriksaan, kadar oksigen dalam darahnya (saturasi) berada di bawah ambang batas normal.
"Kondisinya oke-oke saja, tapi pas dicek saturasi, saturasinya rendah, kemudian di-foto ulang, ternyata pneumonia saya jadi lebih berat lagi," kata kata dokter Tri Maharani kepada BBC News Indonesia, Selasa (08/09).
Dokter khusus penanganan medis darurat ini meyakini, sempat mengalami kondisi happy hypoxia.
"Memang di hari-hari awal itu saya tidak mengalami keluhan sama sekali. Saya baru mengalami keluhan itu lima hari. Setelah dirawat," katanya.

Sumber gambar, ANTARAFOTO/FB Anggoro
Istilah happy hypoxia baru-baru ini menjadi perbincangan publik. Sebuah gejala hening yang membuat orang yang terinfeksi Covid-19, tanpa sadar tubuhnya mengalami kekurangan oksigen, sehingga dapat menimbulkan hilang kesadaran, koma hingga kematian secara tiba-tiba.
Riset mengenai kondisi pasien Covid-19 dengan happy hypoxia sudah diteliti sejak beberapa bulan lalu.
Di Jawa Tengah, pejabat setempat menyebut rata-rata pasien Covid-19 di sana mengalami gejala Happy Hypoxia.
Namun, juru bicara Satgas Covid-19 Jawa Tengah mengatakan, Happy Hypoxia bukan hanya di Jawa Tengah, tapi dapat terjadi terhadap seluruh pasien Covid-19 di seluruh dunia.
Apa itu Happy Hypoxia?
Happy hypoxia adalah kondisi di mana pasien Covid-19 tak menyadari kalau tubuhnya kekurangan oksigen. Umumnya, tubuh manusia secara otomatis bernapas cepat (dyspnea) saat kadar oksigen dalam darahnya kurang (hypoxia).
"Tapi karena kerusakan yang ditimbulkan oleh virus ini terhadap alur pemberian sinyal sesak ke otak terblokir, maka otak tidak memberikan respon kepada tubuh untuk melakukan pengambilan oksigen untuk mengatasi itu," kata dokter spesialis paru, Erlina Burhan kepada BBC News Indonesia, Rabu (09/09).
Kadar oksigen normal dalam darah manusia di atas 95%. Saat kadar oksigen berada di bawah 90%, seseorang akan bernapas cepat, dan pada titik 75% bisa kehilangan kesadaran atau pingsan.
"Suatu ketika, tubuh tidak kuat lagi, dan pasien biasanya mengalami penurunan kesadaran, atau kemudian kalau tidak teratasi akan meninggal," lanjut Erlina.

Sumber gambar, ANTARAFOTO/Umarul Faruq
Sejak kapan temuan happy hypoxia?
Gejala happy hypoxia diperkirakan sudah ditemukan sejak novel coronavirus menjadi wabah di Wuhan, China. Dalam satu artikel di Springer-Verlag GmbH yang dipublikasi awal Maret 2020, dikatakan banyak pasien covid-19 yang berusia lanjut di Wuhan mengalami gagal napas, tapi tanpa disertai tanda-tanda adanya gangguan pernapasan.
Saat itu, istilah yang digunakan adalah silent hypoxemia, yang kemudian berkembang menjadi happy hypoxia.
Di sebut happy, karena pasien tidak mengalami napas tersenggal-senggal, sehingga tetap terus beraktivitas, tanpa mengetahui oksigen dalam darahnya kurang.
"Jadi artinya, pasien bergejala, batuk, atau demam, lemas, tidak enak badan, tapi dia tidak terlihat sesak, masih tetap melakukan aktivitas hari-harinya, masih makan, masih menelpon, masih tersenyum, masih bisa mandi, bisa berjalan, tapi sesungguhnya kondisinya berbahaya karena kadar oksigen itu akan terus (turun)," kata Erlina.

Sumber gambar, ANTARAFOTO/RAISAN AL FARISI
Apakah orang tanpa gejala bisa mengalami happy hypoxia?
Berdasarkan sejumlah penelitian mengenai happy hypoxia, seperti penelitian dari Martin J. Tobin dkk mengenai kenapa silent hypoxemia covid-19 membingungkan dokter?, biasanya dilakukan terhadap pasien-pasien yang memiliki gejala.
Penelitian ini menguji 16 pasien covid-19 yang memiliki kadar oksigen dalam darah di bawah normal. Kesimpulannya penelitian ini membantu untuk mencegah hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penggunaan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis bagi pasien Covid-19.
Menurut Erlina, orang tanpa gejala (OTG) tak akan mengalami kondisi happy hypoxia. Dia bilang, kondisi ini baru timbul ketika orang yang terinfeksi covid-19 memiliki gejala pada umumnya, seperti batuk.