Suriname: Jika tak diselamatkan, bahasa Jawa 'bisa hilang dalam beberapa dekade'

Sumber gambar, BBC News Indonesia
- Penulis, Mohamad Susilo
- Peranan, BBC News Indonesia, di Paramaribo, Suriname
Memasuki Desa Tamanredjo di Distrik Commewijne, Suriname, rasanya seperti bukan berada di ujung utara Benua Amerika Selatan. Yang lebih terasa adalah suasana desa di Pulau Jawa, Indonesia.
Anak-anak bermain di pinggir jalan desa yang tak terlalu ramai. Yang lebih tua duduk-duduk di beranda rumah.
Hawanya hangat dan sedikit lembap, khas negara tropis. Sesekali angin menggerakkan ranting pohon-pohon yang ditanam di depan atau di belakang rumah.
Lamat-lamat terdengar warga menyapu halaman depan.
Dan ketika satu rumah memutar lagu-lagu pop Jawa dari koleksi almarhum Didi Kempot, komplit sudah Tamanredjo di Suriname ini benar-benar menyediakan nuansa Jawa.
Sore itu, wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo, berkunjung ke rumah keluarga Mbah Sanikem, setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan mobil dari ibu kota Paramaribo.
Perempuan berusia 82 tahun ini ditemani sang menantu, Rudi. Dua anak perempuan Sanikem, Roesijem dan Roesmini, ikut juga menyambut.
"Tamanredjo iki... (Ini Tamanredjo)," kata Sanikem yang mengenakan jarik berwarna cokelat tua dan kebaya merah muda.
"Wis dienggo wae ora apa-apa... (dipakai saja, tak masalah kok)," kata Rudi saat wartawan BBC News Indonesia melepas sepatu sebelum memasuki beranda.
Baca juga:

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Setelah berkenalan, obrolan dalam bahasa Jawa ngoko berlanjut dengan membahas banyak hal. Dari mulai bahasa, makanan, situasi di Indonesia, hingga kisah bagaimana awal mula ayah Mbah Sanikem datang ke Suriname.
Di meja kecil di dekat pintu, ada sepiring apem, kudapan yang dibuat sendiri oleh Sanikem.
Kekhawatiran generasi tua Jawa di Suriname
Sanikem adalah generasi kedua dari pekerja kontrak yang dibawa pemerintah kolonial Belanda dari Jawa untuk bekerja di perkebunan tebu di Suriname pada 1890 hingga 1939.
Selama periode 1890 hingga 1939, tidak kurang 33.000 orang Jawa didatangkan ke Suriname.
Ada yang pulang ke Indonesia atau pindah ke Belanda, namun sebagian besar menetap di negara yang berjarak sekitar 18.000 kilometer dari Pulau Jawa ini.
"Aku wiwit cilik manggon neng Suriname, nanging ora bisa ngomong basa Londo (saya sejak kecil menetap di Suriname, namun tak bisa berbahasa Belanda)," kata Sanikem.

Sumber gambar, KITLV
Sehari-hari ia menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Ngoko adalah tingkatan bahasa yang terendah dalam bahasa Jawa, yang dipakai untuk berbicara dengan orang sudah akrab, dengan orang yang lebih rendah kedudukannya, atau dengan orang yang lebih muda.
Tak jauh dari rumah Mbak Sanikem, saya menemui Semoedi, generasi kedua pendatang asal Jawa, yang fasih berbahasa Jawa kromo. Ia lahir pada 1940, namun tampak gagah. Ingatannya juga masih tajam.
Pembicaraan menjelang petang ini mengupas beragam tema. Antara lain tentang keinginan melihat Pulau Jawa, yang ia sadari semakin tipis kemungkinannya untuk terwujud, seiring dengan usianya yang menginjak senja.
Baca juga:
Ia juga mengatakan khawatir dengan nasib bahasa Jawa ke depan. Ia melihat makin sedikit anak-anak muda yang aktif berbahasa Jawa.
"Sulit [meminta kalangan muda menggunakan bahasa Jawa]. Contohnya, menantu saya. Dia paham jika saya berbicara bahasa Jawa. Namun sulit baginya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Demikian juga dengan cucu-cucu saya. Saya sudah mengajari mereka [berbicara bahasa Jawa] namun tidak mudah mendorong mereka menggunakan bahasa ini," kata Semoedi.
Pengguna bahasa Jawa makin rendah

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Semoedi sendiri belajar bahasa Jawa sejak kecil dengan berguru kepada para orang tua di desanya. Ia mengatakan kunci untuk melestarikan bahasa Jawa adalah mendorong anak-anak muda untuk belajar dan aktif menggunakan bahasa ini.
"Nak mboten, bahasa Jawi meniko nggih ical (jika tidak, maka bahasa Jawa ini akan hilang)."
Perbincangan di Desa Tamanredjo dengan menggunakan bahasa Jawa kromo seperti ini sekarang sepertinya terbatas di kalangan orang-orang tua saja.
Generasi yang lebih muda lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, bahasa pengantar di Suriname.
Rudi, menantu Mbah Sanikem, mengatakan, "Di sini ada banyak kelompok etnik sehingga ketika kami berbicara dengan mereka, kata-kata yang kami pakai campur-campur. Ya, pakai bahasa Belanda, ya bahasa Sranan Tongo...."
Beberapa anak muda yang ditemui BBC News Indonesia di Pasar Saoenah, Paramaribo, mengatakan lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo, dibandingkan bahasa Jawa.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Ernesto dan Kylie, dengan alasan berbeda, mengatakan hanya bisa berbahasa Jawa secara pasif.
"Saya tahu sedikit bahasa Jawa ... saya tinggal bersama nenek. Ia banyak berbicara bahasa Jawa namun saya berbicara dengannya dengan bahasa Belanda. Saya tak banyak belajar bahasa Jawa darinya," kata Ernesto.
Ketika Ernesto memulai sekolah, ia lebih sering menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo saat berbicara dengan teman-temannya.
Ia mengatakan dengan jujur bahwa ia tidak merasa perlu bisa aktif berbahasa Jawa.
Baginya, cakap berbahasa Belanda dan Sranan Tongo sudah cukup. "Orang-orang yang berinteraksi dengan saya tidak berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka menggunakan Belanda atau Sranan Tongo," kata Ernesto.
"[Tetapi] kalau ada orang-orang tua berbicara bahasa Jawa, saya paham. Jika mereka berbicara dalam bahasa Jawa, saya biasanya akan menjawab dalam bahasa Belanda," katanya.
Kylie mengatakan keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Ia mengatakan orang tuanya, sebelum menikah, juga tak sering memakai bahasa Jawa di keluarga masing-masing.
Akibatnya, paparan bahasa Jawa menjadi minimal. "Saya hanya bisa sedikit bahasa Jawa," kata Kylie.
Saat ditanya apakah dirinya khawatir suatu saat nanti bahasa Jawa akan hilang jika jumlah penuturnya makin sedikit, Kylie menjawab, "Iya, tentu saja. Saya menyesal [sebenarnya] karena tak bisa fasih berbahasa Jawa."
Kylie menambahkan bahwa ia punya keinginan untuk belajar bahasa Jawa. Ia sering mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa dan akan lebih mengasyikkan jika ia paham lirik lagu-lagu tersebut, kata Kylie.
Upaya melestarikan bahasa Jawa di Suriname: Dari kursus hingga siaran radio

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Lain halnya dengan Jean Paul Armani. Ia merasa beruntung karena keluarganya aktif berbicara bahasa Jawa. Dari sini ia banyak belajar, yang membuatnya cukup fasih menggunakan bahasa Jawa.
"Tidak paham 100%. Tetapi sebagian besar saya paham," kata Jean Paul. Seperti halnya keluarga Mbak Sanikem, Jean Paul hanya bisa berbahasa Jawa ngoko.
Jean Paul juga terbantu dengan siaran Radio Garuda, salah satu stasiun radio berbahasa Jawa di Suriname.
Radio Garuda didirikan pada 1996 untuk memperingati 105 tahun kedatangan orang-orang Jawa di Suriname.
Radio ini mengudara di frekuensi 105,7 yang sengaja dipilih untuk menggambarkan bahwa Radio Garuda didirikan 105 tahun dan tujuh bulan setelah kedatangan pertama pekerja kontrak dari Jawa pada 9 Agustus 1890.
Hingga 1996, tidak ada stasiun radio yang secara khusus melayani kebutuhan orang-orang Jawa. Saat itu, stasiun radio hanya menyediakan dua jam siaran dalam bahasa Jawa.
"Dua jam siaran dalam bahasa Jawa tentu kurang. Dadine kurang mantep (sehingga kurang mantap). Dengan adanya Garuda, masyarakat Jawa di sini bisa mendengarkan dan menonton acara dalam bahasa Jawa selama 24 jam setiap hari," kata Cindy Radji, direktur Radio dan Televisi Garuda kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.
Sukses dengan radio, keluarga Cindy mendirikan stasiun televisi Garuda pada 2001.
Cindy mengatakan prihatin dan khawatir dengan kenyataan bahwa makin sedikit anak-anak muda yang menggunakan bahasa Jawa. Ia mengatakan sekarang makin sulit mencari penyiar yang bisa bahasa Belanda dan sekaligus cakap bisa berbahasa Jawa.
Situasi ini disadari oleh Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) di Paramaribo. Merawat bahasa Jawa di Suriname menjadi salah satu misi kebudayaan KBRI di Paramaribo.
KBRI mengadakan kursus bahasa Jawa sejak 2005, dengan tujuan membantu melestarikan bahasa Jawa.
Kursus dilaksanakan di tiga tempat, KBRI Paramaribo, Commewijne, dan di Lelydorp, dengan harapan bisa lebih mengjangkau warga di sentra-sentra masyarakat Jawa.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Duta Besar RI untuk Suriname, Julang Pujianto, mengatakan selain kursus bahasa Jawa, upaya lain yang tak kalah penting dalam upaya mempertahankan bahasa adalah dengan mendorong keluarga-keluarga Jawa aktif memakai bahasa ini di rumah.
'Harus dimulai dari rumah'
Yang terjadi adalah, karena sejumlah alasan, banyak keluarga Jawa di Suriname tidak lagi aktif menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi utama sehari-hari.
"Tidak ada cara lain, bahasa Jawa harus menjadi bahasa utama dalam keluarga," kata Dubes Julang dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo, di kantornya di Paramaribo.
"Ini yang kami komunikasikan terus-menerus: pakailah bahasa Jawa di tingkat keluarga. Jangan khawatir praktik ini akan mengganggu kemampuan anak berbahasa Belanda karena ketika anak memulai pendikan, dia akan terekspos dengan bahasa Belanda," kata Julang.
"Misi kami adalah menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian keluarga atau masyarakat Jawa di sini. Jangan khawatir penggunaan bahasa Jawa akan mengurangi kemampuan menggunakan bahasa Belanda."
"Jika keluarga-keluarga Jawa tidak aktif menggunakan bahwa Jawa dalam kemunikasi sehari-hari, cepat atau lambat, bahasa ini akan selesai (hilang). Itu sebabnya kami menggiatkan kursus bahasa Jawa, dengan lokasi yang dekat dengan komunitas Jawa," kata Julang.

Sumber gambar, Netty
Kisah Netty: Tadinya kurang lancar, sekarang menjadi guru bahasa Jawa
Setidaknya ada lima guru bahasa Jawa yang aktif mengajar. Salah satunya Netty Astrokarijo.
Meski lahir di keluarga Jawa, Netty mengatakan penggunaan bahasa Jawa sangat minimal. Sehari-hari keluarganya memakai bahasa Belanda.
Keinginan belajar bahasa Jawa muncul karena Netty sering mengunjungi keluarga di kawasan Marienburg. Di sini orang-orang berkomunikasi dalam bahasa Jawa.
Ia menikah dengan laki-laki Jawa yang juga tidak fasih berbahasa Jawa.
Netty memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa Jawa yang diselenggarakan KBRI Paramaribo. Setelah intens mengikuti kursus ditambah dengan latihan yang konsisten, Netty akhirnya lancar berbahasa Jawa.
Bahkan, pengajar di KBRI Paramaribo memintanya menjadi salah satu guru bahasa Jawa.

Sumber gambar, Netty Astrokarijo
Netty mengatakan mendorong anak-anak muda untuk menggunakan bahasa Jawa adalah salah satu cara efektif agar bahasa ini tetap hidup.
"Ada yang malu menggunakan bahasa Jawa. Sudah kami jelaskan, kalau tidak dirawat dan dipertahankan, [bahasa Jawa] akan hilang. Ini kami sampaikan ke ke anak-anak muda,'' kata Netty.
''Sekarang pelan-pelan, banyak yang belajar bahasa Jawa. Ada dari kalangan muda, juga dari kalangan yang lebih tua. Yang paling tua, umurnya 70 tahun. Dia pengurus masjid. Sebagai pengurus, ia merasa perlu untuk bisa berbicara dalam bahasa Jawa, karena banyak jemaah menggunakan bahasa Jawa,'' kata Netty.
Makin banyaknya warga yang ikut kursus membuat Netty sekarang tidak terlalu khawatir dengan nasib bahasa Jawa di masa mendatang.
''Khawatir, tetapi tidak terlalu khawatir. Senang karena sekarang banyak yang belajar bahasa Jawa. Monkog (bangga),'' katanya.
''Intinya jangan pernah malu menggunakan bahasa Jawa. Amergo iku kebudayane awake dewe. Nak awake dewe orang nggunaake, kabudayan iki bakal ilang (Karena Bahasa adalah bagian dari kebudayaan kita sendiri. Jika kita tidak menggunakannya, maka kebudayaan ini akan hilang),'' kata Netty.
Sony Kartowidjojo, yang juga guru bahasa Jawa, mengatakan bahasa Jawa di Suriname harus diselamatkan.
"Ini peninggalan nenek moyang, harus dilestarikan, kalau tidak akan hilang. Banyak anak anak muda sekarang yang tidak bisa bahasa Jawa. [Mereka harus diajari bahasa Jawa]. Kalau tidak diajari, bahasa ini akan hilang. Ini kewajiban [kita untuk menyelamatkannya]," kata Sony,
Ia mengatakan salah satu caranya adalah dengan mendorong keluarga-keluarga Jawa untuk menggunakan bahasa Jawa di rumah.
"Jangan malu ... para orang tua harus bicara bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan anak dan cucu mereka. Harus dimulai dari rumah. Yang terjadi sekarang keluarga-keluarga Jawa, terutama yang tinggal di kota, tidak menggunakan bahasa Jawa," katanya.
Ini situasi yang tidak ideal, karena yang tinggal di kota, sering kali para tetangga bukan dari etnik Jawa. Artinya, paparan bahasa Jawa menjadi semakin minim.
Menghidupkan bahasa Jawa melalui lagu pop

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Kekhawatiran tentang nasib Bahasa Jawa juga mendorong pencipta lagu dan penyanyi Suriname, Mantje Karso, berinisiatif untuk mempopulerkan lagu-lagu pop dengan lirik Bahasa Jawa.
Ia meyakini musik adalah salah satu cara efektif untuk membuat anak-anak muda suka dan bangga dengan bahasa Jawa.
"Sekarang anak-anak muda kesulitan menggunakan bahasa Jawa. Melalui lagu, [harapannya] anak-anak muda lebih mudah [belajar dan] menggunakan bahasa Jawa. Mungkin ini salah satu cara yang paling gampang untuk mempertahankan tradisi Jawa," kata Karso.
Di luar KBRI dan seniman seperti Mantje Karso, ada lembaga di Suriname yang berkeinginan untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Namanya, Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie atau Asosiasi Peringatan Imigrasi Jawa, biasa disingkat VHJI.
Organisasi ini memiliki pusat dokumentasi dan Sana Budaya, semacam rumah budaya berbentuk joglo khas Jawa, tak jauh dari Pasar Saoena, yang lebih dikenal dengan pasarnya orang-orang Jawa di Paramaribo dan sekitarnya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Di Sana Budaya digelar latihan dan aneka pementasan ekspresi kebudayaan Jawa. Juga peringatan kedatangan orang-orang dari Pulau Jawa ke Suriname.
Ketua VHJI, Elwin Atmodimedjo, mengatakan, ''VHJI, mendorong dan menjaga agar orang-orang Jawa [di Suriname] baik sekarang maupun mendatang untuk bangga dengan kejawaan mereka.''
Elwin mengatakan orang-orang Jawa harus bangga dengan identitas kebudayaan mereka. Kurang fasihnya berbahasa, semestinya tidak membuat orang-orang Jawa menjadi malu atau rendah diri.
''Saya menganggap diri saya 100% wong Jowo(orang Jawa). Inilah saya. Saya tak malu, saya tak takut untuk mengatakannya. Tetapi apakah saya pintar berbahasa Jawa? Tidak. Apakah saya bisa melakukan ekspresi budaya [Jawa] lainnya? Saya dulu bisa menari Ramayana. Mungkin tidak sempurna,'' kata Elwin.
''Tetapi ini semua bukan berarti saya tidak bangga [sebagai orang Jawa],'' imbuhnya.
Nasib kesenian ketoprak dan ludruk di Suriname

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Penurunan popularitas juga menimpa ekspresi kebudayaan Jawa yang lain, seperti gamelan, tari, wayang kulit, ketoprak, dan ludruk.
Di Suriname, ludruk mengalami penyesuaian dan lebih dikenal dengan kabaret.
Salah satu kelompok kabaret yang populer adalah Taman Hiburan yang telah menghibur masyarakat Jawa di Suriname selama lebih 28 tahun.
Rudy Sanmoengin, pemain cabaret Taman Hiburan, mengatakan bisa dibilang ketoprak dan ludruk sekarang hanya tinggal nama di Suriname.
''Kita tahu apa itu ludruk dan ketoprak, tetapi sepertinya tidak ada lagi orang yang bisa mementaskannya,'' kata Rudy.
Situasi ini membuatnya khawatir yang kemudian mendorong dirinya untuk lebih giat mengajak anak-anak muda bergabung ke kelompok-kelompok kebudayaan Jawa di Suriname.
''Agar jika nanti generasi yang lebih tua seperti saya ini tidak lagi kuat, maka ada anak-anak muda yang meneruskannya,'' kata Rudy.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Sayangnya, kata Rudy, tak banyak anak-anak muda yang tertarik menjadi pemain kaberet.
''Mereka lebih suka menjadi penonton. Mungkin malu ya. Atau mungkin juga tak terbiasa. Mestinya mereka punya rasa cinta. Kalau tak punya rasa cinta, ya akhirnya malas … kalau tidak ada yang meneruskan, kabaret ini akan hilang, senasib dengan ketoprak,'' kata Rudy.
Rudy mengingat-ingat, terakhir kali melihat pementasan ludruk dan ketoprak pada 1990-an.
Zaman memang telah berubah. Dulu, kata Rudy, dalam satu tahun kelompok kabaret Taman Hiburan bisa pentas 170-180 kali dalam satu tahun. Artinya, dalam satu minggu, ia bisa manggung lebih dari tiga kali.
Pesanan untuk manggung datang dari warga yang menggelar hajatan, entah itu pesta ulang tahun, khitan ataupun pernikahan.
''Sekarang saya pentas sekali dalam satu bulan atau sekali dalam dua bulan,'' kata Rudy.
Kisah Sapto, satu dari tiga dalang yang tersisa di Suriname

Sumber gambar, VHJI
Masalah yang sama dihadapi oleh Sapto Sopawiro, 83 tahun. Sapto adalah satu dari tiga dalang wayang kulit yang ada di Suriname. Itu pun, dua di antaranya masih dalam taraf belajar, belum dalang paripurna.
"Yang saya harapkan dan terus saya dorong setiap hari adalah agar [generasi baru yang lebih muda] belajar sungguh-sungguh. Dalang itu tidak mudah dipelajari,'' kata Sapto.
Laki-laki yang pernah berkunjung ke Yogyakarta ini mengatakan belajar menjadi dalang memang tidak mudah.
Soal bahasa misalnya. Selain menguasai bahasa Jawa kontemporer, seorang dalang juga harus paham bahasa Jawa kuno dan Jawa Bagongan, varian bahasa Jawa yang dipakai di lingkungan keraton Mataram.
Di Suriname, pertunjukan wayang kulit tidak hanya ditonton oleh komunitas Jawa. Komunitas lain juga menonton. Mereka ini tidak bisa bahasa Jawa.
"Jadi, dalang (di Suriname] harus bisa bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa sehari-hari di Suriname, Sranan Tongo," kata Sapto.
Dalam pengamatan Sapto, orang-orang Jawa di Suriname dewasa ini memakai bahasa Jawa jika terpaksa. Oleh karenanya, ia akan memakai bahasa Jawa jika bertemu orang-orang Jawa, meski kemampuan mereka mungkin terbatas.
"Agar mereka terus terbiasa [dengan bahasa Jawa]," ujarnya.
"Pesan saya dari dulu [hingga sekarang tidak berubah]. Wong Jowo perlu ngerti Jawane (Orang Jawa harus paham dengan identitas/kebudayaan Jawa). Niku paweling kulo (Itu pesan saya). Jadi orang Jawa perlu tahu Jawa, tak Cuma bahasa saja. Aagar bahasa Jawa di Suriname tidak hilang," kata Sapto.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Jumlah penutur bahasa Jawa di Suriname menurun dari tahun ke tahun, kata Rosemarijn Hoefte, peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, Belanda, dalam perbincangan dengan Mohamad Susilo.
"Sensus menunjukkan, kemampuan untuk berbahasa Jawa di rumah terus menurun. Sebagiana besar anak-anak Jawa sekarang memakai Bahasa resmi, Bahasa Belanda, dan Bahasa komunikasi sehari-hari, Sranan Tongo," ungkap Hoefte.
"Banyak orang yang tak lagi nyaman dengan Bahasa Jawa. Kalaupun menggunakan Bahasa Jawa, biasanya terbatas ke orang-orang yang usianya lebih tua. Anak-anak sekarang tak menggunakan Bahasa Jawa seperti dulu," jelasnya.
Seorang seniman Jawa di Belanda pernah mengatakan, jika tidak ada upaya penyelamatan serius, bahasa Jawa di Suriname "mungkin akan hilang dalam beberapa dekade mendatang".
Hoefte mengatakan bisa memahami kekhawatiran ini.
"Khawatir. Tapi tak tahu apakah bahasa ini akan hilang dalam 20 atau 30 tahun mendatang. Ya, tentu ada kekhawatiran, tidak hanya soal bahasa, tetapi juga tradisi-tradisi kebudayaan [Jawa] yang lain," kata Hoefte.