Jokowi desak Biden untuk dorong Israel hentikan serangan ke Gaza, tapi 'tidak ditanggapi'

Sumber gambar, Getty Images
Presiden Joko Widodo mengatakan telah menyampaikan secara langsung kepada Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengenai pentingnya gencatan senjata di Jalur Gaza dalam lawatannya ke AS pada 13 November lalu.
"Saya bertemu di White House dengan Presiden Joe Biden setelah itu bertemu lagi di San Fransisco di APEC. Di kedua tempat ini, saya menyampaikan secara langsung pentingnya kekejaman di Gaza dihentikan, yang kedua gencatan senjata segera dilakukan dan yang ketiga perang segera disetop," papar Presiden Jokowi kepada para wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (20/11).
"Serta yang keempat, bantuan kemanusiaan harus dipermudah untuk bisa masuk ke Gaza, di Gedung Putih itu yang saya sampaikan, di APEC juga itu saya sampaikan secara tegas," lanjut Jokowi, sebagaimana dikutip Detik.com
Lantas, apa respons Presiden AS, Joe Biden?
"Tidak menanggapi," kata Jokowi.
Presiden Jokowi berasumsi Presiden Biden bakal menampung dan mencatat apa yang dia sampaikan soal Jalur Gaza.
"Artinya, mungkin masih ditampung jadi pemikiran. Saya kira dari apa yang kami sampaikan pasti dapat, saya pastikan dicatat, menjadi catatan," ujarnya.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Soal ‘solusi dua negara’ Jokowi menekankan telah menyampaikan hal itu dalam pertemuan APEC.
"Itu juga yang saya sampaikan kemarin di Gedung Putih maupun di APEC," ucapnya.
Pada Senin (20/11), Presiden Jokowi melepas pengiriman bantuan kemanusiaan sebanyak 21 ton kepada warga Palestina. Bantuan berupa obat-obatan, perlengkapan rumah sakit, makanan, dan barang keperluan lainnya itu diangkut menggunakan dua pesawat.
Bantuan ini bersumber dari anggaran pemerintah sebesar Rp31,9 miliar serta berasal dari perusahaan dan masyarakat.
“Sebagai salah satu utusan khusus OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), Menteri Luar Negeri Indonesia juga sedang berada di beberapa negara untuk menggalang dukungan agar kekejaman di Gaza segera dihentikan, dilakukan sesegera mungkin gencatan senjata, dan bantuan kemanusiaan bisa masuk dengan baik untuk membantu saudara-saudara kita di Gaza.
“Sekali lagi, saya tegaskan bahwa Indonesia akan terus bersama mendukung perjuangan bangsa Palestina,” cetus Presiden Jokowi.

Sumber gambar, Biro Pers Istana
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo diutus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk mendesak AS agar mendorong Israel menghentikan serangan ke Jalur Gaza.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas BINUS, Tia Mariatul Kibtiah, menilai keberhasilan Jokowi untuk mendesak Biden berada di angka kemungkinan 50-50.
Namun, pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, pesimistis dinamika politik saat ini dapat menggoyang posisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk kemudian memenuhi tuntutan OKI.
Apa saja tuntutan OKI?
Salah satu tuntutan terbesar OKI adalah agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang bisa menghentikan serangan Israel.
"Menuntut Dewan Keamanan untuk mengambil resolusi yang tegas dan mengikat yang memberlakukan penghentian agresi," demikian resolusi OKI yang diunggah di situs resmi mereka.
Mereka menegaskan bahwa kegagalan DK PBB mengeluarkan resolusi selama ini merupakan "keterlibatan yang memungkinkan Israel melanjutkan agresi brutalnya."
Selain itu, OKI juga menuntut komunitas internasional menghentikan pengiriman senjata ke Israel yang nantinya dapat digunakan untuk membunuh warga Palestina.
Mereka juga mendesak Israel berhenti mengepung Jalur Gaza serta mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah tersebut.
Baca juga:
OKI juga meminta Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) merampungkan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel di Palestina.
Blok tersebut juga mendesak Israel menghentikan semua tindakan ilegal yang melanggengkan penjajahan, khususnya perluasan pemukiman, penyitaan tanah, dan pengusiran warga Palestina dari rumah.
Lebih jauh, OKI mendesak pengadaan konferensi internasional untuk mencari solusi permanen terhadap konflik Israel-Palestina. Mereka meyakini two-state solution masih menjadi opsi terbaik.
Untuk menggemakan seruan ini ke dunia, OKI memberikan mandat kepada menteri luar negeri Indonesia, Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, Turki, dan Nigeria segera bergerak menggencarkan diplomasi.
Pesimistis diplomasi Jokowi bakal berhasil
Tia Mariatul Kibtiah menilai peluang Jokowi berhasil melobi Biden masih "setengah-setengah", apalagi jika berkaca pada rekam jejak AS yang tak pernah meninggalkan Israel.
"Melihat sejarah panjang bagaimana AS selalu mendukung penuh Israel, saya melihat setengah-setegnah antara AS mendengarkan Indonesia dan menerima poin-poin yang ada di OKI, atau hanya menerima beberapa poin," tutur Tia kepada BBC News Indonesia.
Ia lantas membeberkan sejumlah poin yang punya kans besar untuk diterima Biden, salah satunya seruan untuk memudahkan akses bantuan internasional.

Sumber gambar, Evan Vucci/Pool via REUTERS
"Untuk jangka yang sedikit lebih panjang, mungkin ceasefire [gencatan senjata] bisa lebih cepat dari yang diperkirakan, tergantung kepiawaian kita nanti berdiplomasi," ucap Tia.
"Saya tidak yakin kalau sampai free Palestine, tapi kalau sampai ceasefire, mungkin berhasil."
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, pesimistis diplomasi Jokowi bakal berhasil, mengingat kebijakan mendasar AS yang memang pro-Israel.
"Harus diakui kalau upaya kolektif, kemungkinannya akan lebih besar untuk menekan Israel.
"Namun, harus diingat lagi bahwa presiden AS punya tanggung jawab terhadap konstituen negara mereka sendiri, entah itu pemilih mereka maupun kepentingan politik negaranya," katanya.
Tekanan dalam negeri lebih ampuh?
Tia memandang tekanan dalam negeri di AS pun akan lebih berpengaruh ketimbang diplomasi Jokowi, terutama karena para politikus AS harus sudah mulai memasang strategi menarik suara rakyat menjelang pemilihan umum tahun depan.
Sejak konflik memanas dan serangan Israel ke Jalur Gaza kian membeludak, mulai muncul gelombang warga AS yang menyuarakan dukungan bagi Palestina.
Tia memandang pemerintah AS bisa saja melunak jika terus digerus protes warga, seperti yang terjadi di Inggris dan Prancis.
"Tekanan publik di Inggris, misalnya, perdana menterinya yang awalnya sangat keras, sekarang mulai lemah. [Presiden Prancis, Emanuel] Macron bahkan mendeklarasikan untuk gencatan senjata," kata Tia.
Ia melihat situasi serupa bisa terjadi di AS yang masyarakatnya sangat demokratis. Menurut Tia, kondisi politik di AS dan negara Barat lainnya juga saat ini sudah mulai bergeser, terutama setelah gelombang imigran korban konflik di berbagai belahan dunia mulai menerjang negara mereka.
Gelombang imigran ini meningkatkan kesadaran publik atas kesetaraan. Pada akhirnya, publik akan terus mendesak kesetaraan.
"Ini menyebabkan voters di negara-negara Barat dan Amerika berubah. Kondisi politiknya berubah. Kalau publik terus menekan ini, bisa jadi melemah juga negara-negara ini, ditambah dengan kunjungannya Pak Jokowi," tutur Tia.
"Jadi tekanan publik semakin keras, Pak Jokowi datang. Timing-nya tepat. Akhirnya ceasefire yang didapatkan oleh Indonesia."

Sumber gambar, EPA-EFE/REX/Shutterstock
Kishino Bawono juga mengamini kemunculan gelombang masyarakat AS yang mendukung Palestina, tapi ia tetap pesimistis.
"Memang sudah mulai ada suara-suara pro-Palestina, tapi itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan kelompok-kelompok yang pro-Israel," kata Kishino kepada BBC News Indonesia.
Kishino juga membahas pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, yang sempat mengkritik serangan Israel membunuh warga sipil di Jalur Gaza. Menurutnya, pernyataan Blinken itu juga tak bertaring.
"Ujung-ujungnya hanya pernyataan. Pernyataan itu kalau tidak didukung dengan misalnya, penghentian bantuan terhadap Israel, ya itu cuma seperti orang tua yang bicara ke anaknya, 'Nak, jangan dilakukan dong,' tapi masih memberikan uang saku untuk si anak itu melakukan hal yang salah lagi," katanya.
Jika berkaca pada sikap AS selama ini, Kishino bahkan pesimistis AS bakal bisa mendesak Israel melakukan gencatan senjata.
Menurutnya, solusi paling realistis adalah AS kembali menyerukan penghentian pertempuran sementara, tapi dengan bahasa yang diperhalus seperti sebelumnya, yaitu jeda kemanusiaan.
Pada pekan lalu, AS memang sempat mengumumkan bahwa Israel berjanji bakal memberikan jeda penghentian serangan militer selama empat jam setiap harinya agar warga sipil dapat bergerak.
"Sudah ada desakan dari AS, tapi bahasanya bukan gencatan senjata. Mereka tidak mau menunjukkan kelemahan. Mereka masih mau menunjukkan agresivitas," tutur Kishino.
Bagaimana sikap Netanyahu ke depan?
Kishino ragu Israel bakal patuh kalaupun AS menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza, apalagi jika melihat sikap Netanyahu yang acap kali tutup kuping.
"Kita harus melihat pemerintahannya Netanyahu itu dari zaman dulu, apalagi dari era 2000-an, dia lebih berani untuk tidak mendengar tuntutan dari AS. Makanya, dia juga sempat ribut dengan Obama. Dia lebih cocok dengan Trump. Dia juga enggak terlalu dekat dengan Biden," ujarnya.
Sikap Netanyahu ini tak lepas dari sentimen di Israel yang sejatinya masih mendukung kebijakan Zionis, yaitu menolak pembentukan negara Palestina.
Jika dilihat dari sejarah pemilu Israel saja, koalisi yang akhirnya berkuasa pasti disokong kelompok-kelompok anti-Palestina. Kekuatan pemerintahan Netanyahu saat ini juga sangat ditentukan oleh dukungan partai-partai sayap kanan.
"Kalau sekarang Netanyahu mau mengubah image-nya dia menjadi lebih lunak, kalkulasi politiknya, kalau dia melakukan itu bisa jadi dia bunuh diri politik," tutur Kishino.
Ia lantas menarik contoh kasus ketika mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, berubah haluan dari awalnya keras terhadap Israel, tiba-tiba mencanangkan Disengagement Plan Implementation Law untuk Jalur Gaza.
Regulasi itu secara umum mencabut seluruh kehadiran Israel di Jalur Gaza, mulai dari menutup pemukiman Yahudi hingga menarik pasukan mereka dari kawasan tersebut.
"Itu yang membuat karier politik Ariel Sharon itu bubar di depan kelompok sayap kanan Israel.
"Ariel Sharon kemudian mendapatkan dukungan dari kelompok sayap kiri yang lebih lunak dan diplomatis, tapi dari kelompok sayap kanan bubar total," ucap Kishino.

Sumber gambar, Reuters
Jika dilihat dari dukungan masyarakat, sikap keras Netanyahu menghadapi Hamas juga sempat membuat popularitasnya meroket. Namun kini, popularitas Netanyahu kembali merosot.
"Setelah sekarang 11.000 meninggal, baru turun lagi [popularitas Netanyahu] karena warga Israel melihat protes-protes di dunia. Mereka melihat, mereka seolah terisolasi dari pergaulan dunia. Akhirnya mereka ikut dan menuntut Netanyahu turun," kata Tia.
Namun, Tia tak yakin riak suara rakyat Israel ini mampu menumbangkan pemerintahan Netanyahu. Menurutnya, rakyat Israel pada dasarnya masih menginginkan negara Palestina tak terwujud.
"Saya tidak yakin kalau sampai Netanyahu turun karena mereka (rakyat Israel) juga sebetulnya senang dengan kebijakan Netanyahu itu, tapi ini karena gerakan di dunia ini besar, mereka atas nama kemanusiaan mendesak Netanyahu turun," tuturnya.
Lantas, apa yang harus dilakukan dunia?
Melihat kemelut berkepanjangan ini, Tia dan Kishino sama-sama pesimistis dunia internasional dapat mengandalkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencari solusi konflik Israel-Palestina.
Sebagai sekutu Israel, AS selalu memveto segala resolusi DK PBB yang merugikan negara Zionis itu. Menurut Kishino, saat ini dunia setidaknya dapat mendesak AS mengubah sedikit kebijakannya terhadap Israel.
"Berubahnya itu tidak harus secara total mendukung Israel. Masih mendukung Israel, tapi lebih mengekang bagaimana conduct-nya Israel di Gaza, mengekang cara bertindaknya. Bagaimana caranya? Aksi kolektif," katanya.

Sumber gambar, EPA-EFE/REX/Shutterstock
Aksi kolektif ini bisa juga datang dari OKI. Namun, aksi tersebut harus benar-benar diwujudkan dalam tindakan konkret.
"Yang paling bisa mungkin sanksi ekonomi, misalnya tidak mau dagang dengan wording apa pun, seperti embargo. Karena kalau cuma ngomong doang, tidak ada efeknya.
"Perlu tekanan yang lebih konkret, seperti tidak mau dagang, pembekuan normalisasi, pembekuan hubungan diplomatik," ucap Kishino.
Misi lain Jokowi: Nikel
Selain membicarakan masalah Israel-Palestina, Jokowi juga membawa misi lain dalam pertemuan dengan Biden, yaitu peningkatan kerja sama ekonomi dan bisnis.
Agenda itu diperkirakan bakal mencakup pembahasan impor produk turunan nikel dan mineral penting lainnya untuk kendaraan listrik dari Indonesia.
Tiga sumber yang mengetahui mengenai pembahasan itu mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Indonesia dan AS memang sedang menggodok kemungkinan kerja sama di bidang mineral penting tersebut.
Seorang sumber mengatakan bahwa AS sendiri masih masih mengkhawatirkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola tambang nikel di Indonesia.
Biden pun dilaporkan masih terus mengkaji bagaimana kesepakatan dengan Indonesia bisa berjalan.
Seorang sumber lainnya mengungkap AS dan Indonesia bakal mengumumkan rencana yang akan dipersiapkan untuk negosiasi lebih lanjut.
Selain itu, Biden dan Jokowi juga bakal menyepakati sederet kerja sama di bidang pertahanan, termasuk keamanan siber, ruang angkasa, latihan bersama, hingga terkait ancaman nuklir.