Amnesty desak investigasi serius atas kerusuhan di Wamena, 'dipicu' isu penculikan anak: 10 korban meninggal – 'tujuh tewas karena tembakan'

Sumber gambar, Komunitas Sapalek Bersatu
Amnesty International Indonesia menyesalkan jatuhnya korban jiwa dan penggunaan kekuatan yang eksesif oleh aparat negara dalam kerusuhan yang terjadi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan pada Kamis (23/02) lalu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak dilakukan investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden tersebut, seperti penggunaan senjata oleh aparat keamanan.
Isu penculikan anak disebut menjadi pemicu terjadinya kerusuhan yang menyebabkan, data dari kepolisian, 10 orang tewas, 14 orang luka-luka, dan satu anggota polisi tertembak panah di Kampung Sapalek, Distrik Wamena.
Kerusuhan itu juga menyebabkan sejumlah rumah dan kios di sekitarnya dibakar oleh massa.
“Hingga saat ini ada 10 korban jiwa yang meninggal dunia. Yang luka-luka dari masyarakat ada 14 orang,” kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Benny Adi Prabowo kepada wartawan BBC News Indonesia, Jumat (24/02).
Benny menambahkan, dari 10 orang tewas tersebut, tiga orang adalah warga pendatang yang terkena imbas dari sekelompok massa yang melakukan penyerangan.
“Makanya luka di tubuh mereka ada panah dan juga luka benda tajam,” ujar Benny.
Sementara tujuh korban lainnya berasal dari kelompok massa anarkis yang melakukan penyerangan terhadap aparat.
“Penyebab kematian tujuh orang ini, rata-rata terkena luka akibat tembakan,” ujar Benny.
Benny mengatakan situasi saat ini di Distrik Wamena telah aman terkendali dan tidak ada rentetan pascakejadian.
Sementara itu dilansir dari Kompbbc.informepiaui.com, TNI telah menyiagakan personel untuk menenangkan dan mencegah meluasnya kerusuhan.
"Saya telah perintahkan Dandim 1702/Jayawijaya untuk menenangkan massa agar kerusuhan tidak meluas dan juga sudah disiagakan personel TNI untuk mengantisipasi kerusuhan susulan," kata Danrem 172/PWY Brigjen TNI JO Sembiring, Jumat (24/02).

Sumber gambar, Gibson Kogoya
Warga: Tewas karena tembakan polisi
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Ketua Komunitas Sapalek Bersatu, Gibson Kogoya mengatakan, seluruh korban yang tewas dalam kerusuhan itu disebabkan oleh tembakan aparat keamanan, di antaranya adalah tujuh orang asli Papua, dan sisanya adalah pendatang.
“Tujuh orang semua tewas karena kena tembak, dua orang pendatang meninggal akibat konflik horizontal, dampak dari tembakan kepolisian,” kata Gibson saat dihubungi BBC News Indonesia, Jumat (24/02).
Selain korban meninggal dunia, Gibson mengatakan, terdapat 17 orang luka-luka yang dibawa ke rumah sakit, belum termasuk korban yang dibawa ke rumah masing-masing.
Selain korban jiwa, ujar Gibson, terdapat delapan kios yang terbakar akibat kejadian kemarin.
Terkait penggunaan senjata oleh aparat keamanan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak dilakukan investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden tersebut.
“Kami menyesalkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi di Wamena kemarin. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Begitu pula penggunaan kekuatan yang eksesif oleh aparat negara di sana," kata Usman Hamid dalam rilis yang diterima, Jumat (24/02).
“Kami mendesak investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden ini. Apalagi muncul laporan bahwa beberapa warga tewas akibat tembakan. Harus ditelusuri melalui proses hukum yang adil dan tidak berpihak. Siapa pun pelaku penembakan itu, begitu pula pelaku perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, termasuk aksi pembakaran," tambah Usman.
Usman menjelaskan, peristiwa yang terjadi di Wamena menandakan berulangnya kasus kekerasan yang merenggut nyawa banyak warga sipil di Papua.
"Tindakan kekerasan, apalagi sampai menimbulkan banyak korban jiwa, hanya akan meningkatkan eskalasi lingkaran kekerasan dan konflik bersenjata di sana. Yang rugi semua pihak," ujarnya.
Apa pemicu kerusuhan?

Sumber gambar, Gibson Kogoya
Gibson Kogoya menjelaskan, kerusuhan yang terjadi di wilayahnya diawal oleh seorang anak yang ingin membeli kebutuhan di mobil pick-up yang dijadikan toko kelontong.
“Pedagang di mobil pick-up itu suruh anak ini naik ke atas mobil. Tapi, anak tidak mau, lalu lari. Sehingga masyarakat sekitar tidak terima dengan kejadian itu.”
“Saat mau ditanya ke dua pelaku, mereka langsung diamankan polisi. Lalu masyarakat berkumpul mendatangi polisi, mereka ingin bertanya ke pelaku, kenapa mau anak kecil ini.
“Pihak polisi tidak mengizinkan, lalu polisi tembak gas air mata. Dari situ masyarakat tidak terima lalu adu baku lempar dengan aparat,” kata Gibson.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari sumber yang diperoleh Amnesty International Indonesia, peristiwa itu berawal dari isu penculikan anak sekolah dasar dan terduga pelaku diamankan pihak kepolisian setempat.
Namun, kata Usman, pihak keluarga anak itu disebut tidak menerima kalau polisi mengamankan terduga pelaku, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara aparat kepolisian dan keluarga anak yang diduga diculik.
Akhirnya, ungkap laporan dari sumber Amnesty itu, terjadi pertikaian antara masyarakat dan pihak kepolisian.
"Kemudian terjadi baku lempar batu terhadap aparat kepolisian. Karena susah dikendalikan, maka aparat keamanan mengeluarkan gas air mata berkali-kali," ujar Usman.
"Dari korban-korban tersebut ada ditemukan luka yang diakibatkan oleh tembakan maupun luka senjata tajam. Mereka yang meninggal dunia telah ditempatkan di ruang jenazah Rumah Sakit Umum Wamena," tambah Usman.
Baca juga:
- Bermula dari kematian balita di Dogiyai, Papua, meluas jadi ‘gesekan sosial‘, satu korban tewas dan puluhan rumah terbakar – ‘Mau tinggal di mana, rumah sudah hangus semua‘
- Presiden Jokowi 'atas nama negara' mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu - 'tanpa menegasikan' penyelesaian Yudisial
- Demo Papua tolak pemekaran provinsi baru memakan korban jiwa: Tidak dilibatkan, akan terasing, dan ancaman konflik horizontal
Kronologi versi polisi

Sumber gambar, Komunitas Sapalek Bersatu
Sementara itu, kronologi versi polisi yang dilansir dari Kompbbc.informepiaui.com, Kombes Pol Benny menjelaskan, kerusuhan tersebut diawali ketika dua warga Sinakma menyetop sebuah mobil pedagangan kelontong yang diduga ingin melakukan penculikan anak.
"Saat itu ada warga yang melapor kepada polisi dan kemudian Kapolres mendatangi lokasi kejadian untuk bernegosiasi dengan warga," kata Benny di Mimika.
Benny menyebut, saat Kapolres Jayawijaya membujuk warga untuk menyelesaikan masalah di Mapolres, tiba-tiba ada sekelompok massa yang datang dan berteriak-teriak.
"Polisi kemudian memberi tembakan peringatan tapi tidak diindahkan massa yang justru semakin brutal," kata dia.
Dilansir dari Tribunnews, Kapolres Jayawijaya AKBP Hesman S Napitupulu menjelaskan, awal pemicu kemarahan massa, yaitu “warga melihat ada kendaraan membawa anak kecil yang diduga sebagai penculikan,” katanya.
Napitupulu menambahkan, kemudian polisi merespon dengan cepat dan mengajak penyelesaian masalah di kantor polisi.
Namun, saat polisi ingin kembali ke markasnya guna melakukan pertemuan, sekelompok massa tidak terima dan melakukan penyerangan terhadap aparat dan berujung ada pembakaran terhadap rumah warga.