Korea Utara dan Korea Selatan terlibat perang bawah tanah - 'Kim Jong Un mungkin sekarang akan menang'

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Jean Mackenzie
- Peranan, Koresponden BBC di Seoul
Perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan dipenuhi dengan pagar kawat berduri yang rapat dan ratusan pos penjagaan. Namun, di antara pagar-pagar itu terdapat hal yang lebih tidak biasa, yaitu sejumlah pengeras suara raksasa berwarna hijau yang disamarkan.
Pada suatu sore, Mei lalu, saya berdiri di perbatasan pada sisi Korea Selatan. Saat saya tengah memandang ke arah Korea Utara, salah satu pengeras suara mulai mengalunkan lagu-lagu pop Korea Selatan yang diselingi pesan-pesan subversif.
"Ketika kita bepergian ke luar negeri, hal itu memberi kita semangat," suara seorang perempuan yang terdengar ke berbagai penjuru perbatasan. Sebagai konteks, pemerintah Korea Utara tidak mengizinkan warganya pergi ke luar negeri.
Dari sisi Korea Utara, sayup-sayup saya dapat mendengar musik propaganda militer. Musik itu berusaha meredam siaran dari selatan "yang menghasut".
Korea Utara dan Korea Selatan secara teknis masih berperang. Meskipun sudah bertahun-tahun sejak kedua belah pihak tidak saling menyerang, mereka bertempur dalam bentuk yang lebih halus: perang informasi.

Sumber gambar, Getty Images
Korea Selatan berusaha memasukkan informasi ke Korea Utara. Di sisi lain, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, mencoba dengan keras memblokir informasi itu dengan klaim untuk "melindungi rakyatnya dari informasi luar".
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Korea Utara adalah satu-satunya negara di dunia yang belum ditembus internet. Semua saluran televisi, stasiun radio, dan surat kabar dikelola oleh pemerintah.
"Alasan untuk kontrol ini adalah karena begitu banyak mitologi seputar keluarga Kim yang dibuat-buat. Banyak dari apa yang mereka katakan kepada orang-orang adalah kebohongan," kata Martyn Williams, peneliti senior di Stimson Center yang berbasis di Washington, sekaligus ahli teknologi dan informasi Korea Utara.
Mengekspos kebohongan tersebut kepada cukup banyak orang dapat meruntuhkan rezim keluarga Kim, begitulah cara berpikir di Korea Selatan.
Pengeras suara adalah salah satu alat yang digunakan oleh pemerintah Korea Selatan. Namun di balik layar, gerakan bawah tanah yang lebih canggih telah berkembang.
Sejumlah kecil penyiar dan organisasi nirlaba mengirimkan informasi ke dalam Korea Utara pada tengah malam, melalui gelombang radio pendek dan menengah. Warga Korea Utara kemudian dapat mendengarkannya secara diam-diam.

Sumber gambar, Getty Images
Ribuan stik USB dan kartu micro-SD juga diselundupkan melintasi perbatasan setiap bulannya. Data-data itu sarat dengan "informasi asing" – di antaranya, film, drama TV, dan lagu-lagu pop Korea Selatan, serta berita, yang semuanya dirancang untuk menentang propaganda Korea Utara.
Namun, kini mereka yang bekerja di lapangan khawatir bahwa Korea Utara semakin unggul.
Kim tidak hanya menindak tegas mereka yang kedapatan membawa "konten asing", tapi masa depan siasat Korea Selatan ini bisa jadi dalam bahaya.
Alasannya, sebagian besar proyek Korea Selatan itu didanai pemerintah AS. Berbagai proyek yang bergantung pada anggaran hibah semacam itu belakangan terpukul kebijakan pemotongan bantuan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Jadi, bagaimana posisi kedua belah pihak dalam perang informasi yang sudah berlangsung lama ini?
Menyelundupkan lagu-lagu pop dan drama TV
Setiap bulan, sebuah tim di Unification Media Group (UMG), organisasi nirlaba Korea Selatan, memilah-milah berita dan hiburan terbaru untuk menyusun daftar putar yang mereka harapkan akan beresonansi dengan orang-orang yang ada di Korea Utara.
Mereka kemudian memuatnya ke dalam perangkat, yang dikategorikan menurut seberapa berisiko untuk dilihat.
Pada USB berisiko rendah terdapat drama TV Korea Selatan dan lagu-lagu pop. Baru-baru ini mereka memasukkan serial drama Netflix berjudul When Life Give You Tangerines dan lagu populer dari penyanyi Korea Selatan, Jennie.
Sementara itu, perangkat dengan kategori berisiko tinggi dinyatakan sebagai "program pendidikan". Perangkat ini berisi informasi tentang demokrasi dan hak asasi manusia, konten yang dianggap paling ditakuti oleh Kim.
Flashdisk tersebut kemudian dikirim ke perbatasan China, di mana mitra terpercaya UMG membawanya menyeberangi sungai menuju Korea Utara dengan risiko yang sangat besar.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Drama TV Korea Selatan mungkin tampak tidak berbahaya, tapi mereka mengungkapkan banyak hal tentang kehidupan sehari-hari di negara itu.
Berbagai drama itu mengisahkan warga Korea Selatan yang tinggal di apartemen bertingkat tinggi, mengendarai mobil cepat, dan makan di restoran kelas atas. Kisah itu menyoroti kebebasan mereka dan bagaimana Korea Utara "tertinggal bertahun-tahun di belakang".
Hal ini menantang salah satu kebohongan terbesar Kim: bahwa mereka yang berada di Korea Selatan adalah orang-orang yang miskin dan tertindas.
"Beberapa [orang] mengatakan kepada kami bahwa mereka menangis saat menonton drama ini dan bahwa drama ini membuat mereka berpikir tentang impian mereka sendiri untuk pertama kalinya," kata Lee Kwang-baek, Direktur UMG.
Sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak warga Korea Utara yang mengakses materi-materi itu, tapi kesaksian dari para pembelot baru-baru ini menunjukkan bahwa informasi tersebut telah menyebar dan berdampak.
"Sebagian besar pembelot dan pengungsi Korea Utara baru-baru ini mengatakan bahwa konten asinglah yang memotivasi mereka untuk mempertaruhkan nyawa demi melarikan diri," kata Sokeel Park, yang organisasinya, Liberty in North Korea, bekerja untuk mendistribusikan konten ini.
Tidak ada oposisi politik atau pembangkang yang dikenal di Korea Utara, dan berkumpul untuk melakukan protes terlalu berbahaya – tetapi Park berharap beberapa orang akan terinspirasi untuk melakukan tindakan perlawanan secara individu.
Melarikan diri dari Korea Utara
Kang Gyuri, yang berusia 24 tahun, dibesarkan di Korea Utara, di mana dia menjalankan bisnis perikanan. Kemudian pada akhir 2023, ia melarikan diri ke Korea Selatan dengan menggunakan perahu.
Menonton acara TV asing sebagian menginspirasinya untuk pergi, katanya. "Saya merasa sangat tercekik dan tiba-tiba saya ingin pergi."
Saat kami bertemu di sebuah taman pada suatu sore yang cerah di Seoul bulan lalu, ia mengenang masa kecilnya saat mendengarkan siaran radio bersama ibunya. Dia mendapatkan K-drama pertamanya saat berusia 10 tahun. Bertahun-tahun kemudian ia mengetahui bahwa stik USB dan kartu memori diselundupkan ke negara itu di dalam kotak buah-buahan.
Semakin sering ia menonton, semakin ia menyadari bahwa pemerintah Korea Utara telah membohonginya.
"Dulu saya pikir wajar jika negara begitu membatasi kami. Saya pikir negara lain hidup dengan kontrol seperti ini," jelasnya. "Tapi kemudian saya menyadari bahwa hal itu hanya terjadi di Korea Utara."

Hampir semua orang yang ia kenal di Korea Utara menonton acara TV dan film Korea Selatan. Dia dan teman-temannya sering bertukar USB.
"Kami berbicara tentang drama dan aktor yang populer, dan idola K-pop yang kami anggap tampan, seperti anggota BTS tertentu.
"Kami juga berbicara tentang bagaimana ekonomi Korea Selatan begitu maju; kami tidak bisa mengkritik rezim Korea Utara secara langsung."
Acara-acara tersebut juga memengaruhi cara dia dan teman-temannya berbicara maupun berpakaian, tambahnya. "Kaum muda Korea Utara telah berubah dengan cepat."
Regu penindak dan hukuman bagi anak-anak muda
Kim Jong Un, yang sangat sadar akan risiko terhadap rezimnya, melakukan perlawanan.
Selama pandemi, ia membangun pagar listrik baru di sepanjang perbatasan dengan China, sehingga lebih sulit bagi informasi untuk diselundupkan.
Dan undang-undang baru yang diperkenalkan mulai pada 2020 telah meningkatkan hukuman bagi warga Korea Utara yang kedapatan mengonsumsi dan membagikan media asing. Salah satunya menyatakan bahwa mereka yang mendistribusikan konten dapat dipenjara atau dieksekusi.
Hal ini memiliki efek yang mengerikan. "Media ini dulunya bisa dibeli di pasar, orang-orang akan menjualnya secara terbuka, tapi sekarang Anda hanya bisa mendapatkannya dari orang yang Anda percayai," kata Lee.
Setelah tindakan keras dimulai, Kang dan teman-temannya juga menjadi lebih berhati-hati. "Kami tidak berbicara satu sama lain tentang hal ini lagi, kecuali jika kami benar-benar dekat, dan bahkan kami jauh lebih tertutup," akunya.
Dia mengatakan bahwa dia sadar akan semakin banyak anak muda yang dieksekusi karena tertangkap memiliki konten Korea Selatan.

Sumber gambar, AFP via Getty Images
Baru-baru ini Kim juga menindak perilaku yang dapat dikaitkan dengan menonton K-drama. Pada 2023, ia menjadikan penggunaan frasa Korea Selatan atau berbicara dengan aksen Korea Selatan sebagai tindak kriminal.
Anggota 'regu penindak anak muda,' berpatroli di jalan-jalan, bertugas memantau perilaku anak muda. Kang ingat bahwa ia sering dihentikan, sebelum ia melarikan diri, dan ditegur karena berpakaian dan menata rambutnya seperti orang Korea Selatan.
Ia menambahkan bahwa para petugas akan menyita ponselnya dan membaca pesan singkatnya, untuk memastikan bahwa ia tidak menggunakan istilah-istilah Korea Selatan.
Pada akhir 2024, sebuah ponsel Korea Utara diselundupkan ke luar negeri oleh Daily NK (layanan berita organisasi media yang berbasis di Seoul, UMG).
Ponsel tersebut telah diprogram sehingga ketika varian kata Korea Selatan dimasukkan, kata tersebut secara otomatis menghilang, digantikan dengan padanan kata Korea Utara.
"Ponsel pintar kini menjadi bagian tak terpisahkan dari cara Korea Utara mengindoktrinasi masyarakat," kata Williams.
Setelah semua tindakan keras ini, dia yakin Korea Utara sekarang "mulai unggul" dalam perang informasi.
Pemotongan anggaran dan efek Trump
Setelah Donald Trump kembali menjadi Presiden AS pada awal tahun ini, dia menghentikan hibah untuk sejumlah organisasi, termasuk yang bekerja untuk memberikan informasi kepada warga Korea Utara.
Trump juga menangguhkan dana untuk dua layanan berita yang dibiayai oleh pemerintah, Radio Free Asia dan Voice of America (VOA), yang selama ini menyiarkan berita setiap malam ke Korea Utara.
Trump menuduh VOA sebagai "radikal" dan anti-Trump," sementara Gedung Putih mengatakan bahwa langkah tersebut akan "memastikan pembayar pajak tidak lagi dibebani dengan propaganda radikal."
Namun, Steve Herman, mantan kepala biro VOA yang berbasis di Seoul, membantahnya. "Ini adalah salah satu dari sedikit jendela ke dunia yang dimiliki oleh rakyat Korea Utara dan jendela itu telah ditutup tanpa penjelasan," ujarnya.
UMG masih menunggu untuk mengetahui apakah pendanaan mereka akan dipotong secara permanen.
Park dari Liberty in North Korea berpendapat bahwa Trump telah "secara tidak sengaja" memberikan bantuan kepada Kim, dan menyebut langkah tersebut "picik."
Dia berpendapat bahwa Korea Utara, dengan koleksi senjata nuklirnya yang terus bertambah, merupakan ancaman keamanan yang besar – dan karena sanksi, diplomasi, dan tekanan militer telah gagal meyakinkan Kim untuk melakukan denuklirisasi, maka informasi adalah senjata terbaik yang tersisa.
"Kami tidak hanya mencoba untuk menahan ancaman Korea Utara, kami mencoba untuk menyelesaikannya," katanya. "Untuk melakukan itu, Anda perlu mengubah sifat negara tersebut."
"Jika saya seorang jenderal Amerika, saya akan mengatakan 'berapa harga barang ini, dan sebenarnya itu adalah penggunaan sumber daya kita yang cukup bagus.'"
Siapa yang harus menanggung ongkosnya?
Pertanyaan yang masih tersisa adalah siapa yang harus mendanai pekerjaan ini. Beberapa pihak mempertanyakan mengapa AS harus menanggung biaya hampir seluruhnya.
Salah satu solusinya adalah Korea Selatan yang menanggung biaya tersebut – namun isu Korea Utara sangat dipolitisasi di sini.
Partai oposisi liberal cenderung mencoba memperbaiki hubungan dengan Pyongyang, yang berarti mendanai perang informasi tidak mungkin dilakukan. Kandidat terdepan partai ini dalam pemilihan presiden minggu depan telah mengindikasikan bahwa ia akan mematikan pengeras suara jika terpilih.
Namun, Park tetap berharap. "Hal yang baik adalah bahwa pemerintah Korea Utara tidak dapat masuk ke dalam pikiran orang dan mengambil informasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun," katanya.
Dan seiring dengan perkembangan teknologi, dia yakin bahwa penyebaran informasi akan semakin mudah. "Dalam jangka panjang, saya sangat yakin hal ini akan menjadi hal yang mengubah Korea Utara."
InDepth is the home for the best analysis from across BBC News. Tell us what you think.