Tambang yang tewaskan 21 orang di Cirebon kerap longsor – 'Ini kelalaian laten'

Sumber gambar, Antara/Dedhez Anggara
Pemerintah dinilai tidak bertindak tegas terhadap operasi pertambangan di Gunung Kuda, Cirebon, yang kemudian longsor dan menewaskan 21 orang. Padahal, menurut warga setempat, lokasi tersebut kerap dilanda longsor dan aktivitas pertambangan di sana sudah berjalan lebih dari 20 tahun.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, mengeklaim pemerintah daerah sudah menginstruksikan penghentian sementara operasi setelah terjadi longsor pada Februari 2025.
"Tapi [instruksi penghentian] juga tidak diindahkan," kata Bambang.
Namun, Manajer advokasi dan kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah, menyayangkan pernyataan pemerintah. Apalagi kawasan Gunung Kuda yang merupakan wilayah perbukitan pasir dan batu merupakan wilayah rentan longsor.
"Ini memang sudah termasuk kawasan longsor, meskipun tanpa adanya aktivitas pertambangan," kata Hannah.
"Jadi kami menyoroti ini, berarti termasuk kelalaian laten," imbuhnya.
Kejadian longsor di lokasi pertambangan galian C Gunung Kuda terjadi pada 30 Mei lalu.
Setelah peristiwa itu, dua orang ditetapkan tersangka, yakni penanggung jawab operasi dan kepala teknik tambang. Sementara, pemerintah mencabut izin PT Aka Azhariyah Group dan tiga izin perusahaan lain di Gunung Kuda.
Lokasi tambang kerap dilanda longsor

Sumber gambar, Panji Prayitno
Suhendar, warga Desa Cikalahang, yang tinggal di sekitar Gunung Kuda, memaparkan bahwa aktivitas penambangan batu alam di Gunung Kuda sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.
"Usia saya saja sekarang sudah 40-an tahun, berarti memang sudah lama sekali aktivitas tambang beroperasi," kata Suhendar, Selasa (02/06).
Suhendar yang juga bekerja sebagai supir truk tambang di lahan PT Aka Azhariyah menceritakan longsor pada akhir Mei kemarin bukan yang pertama.
"Longsornya juga sudah sering. Bulan Februari sebelumnya juga pernah longsor tapi tidak ada korban," ujarnya.
Baca juga:
Di samping isu longsor, Suhendar mengatakan bahwa warga sekitar juga kerap diterpa debu akibat aktivitas pertambangan.
Meski menuai polemik, Suhendar mengeklaim belum ada penolakan secara masif dari warga sekitar.
"Yang penting ketika mobil truk keluar dari tambang berusaha untuk meminimalisir debunya dan ada petugas pembersihan," ujarnya.
'Allah masih kasih kesempatan hidup'
Taryana, seorang pengemudi truk di wilayah tambang yang longsor, tak bisa lupa atas kejadian yang mengancam nyawanya.
Warga Saur Legok, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ini mengaku sempat melihat pertanda longsor.
"Waktu itu saya lihat dari bawah ada batu berjatuhan dan saya langsung masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian longsor menimpa mobil saya dan saya terjepit," kata Taryana kepada wartawan Panji Prayitno yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Longsor kemudian menimpa mobilnya, mengurungnya dalam ruang sempit, gelap, dan nyaris tanpa harapan.
Selama 30 menit ia terkubur hidup-hidup, tanpa tahu apakah akan keluar hidup-hidup.

Sumber gambar, Panji Prayitno
Dalam kondisi gelap dan sempit, ia sempat panik berteriak minta tolong namun tidak mendapat respons.
Dengan sisa tenaga, ia menghubungi rekannya melalui ponsel.
"Alhamdulillah HP saya masih bisa dipakai. Saya langsung telepon teman, minta tolong. Saya bilang saya masih hidup, tolong bantuin saya, saya kejepit," kenangnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Teman Taryana segera datang untuk membantu mengeluarkannya dari dalam mobil truk.
Proses penyelamatan tidak mudah. Dongkrak mobil tidak berhasil digunakan. Dia lantas menggunakan pipa besi untuk mengangkat dan membengkokkan setir mobil agar Taryana bisa keluar.
"Pas setirnya dibengkokkan, baru saya bisa keluar. Alhamdulillah, saya selamat. Enggak ada luka serius, hanya tangan sedikit nyeri," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Menurut Taryana, saat kejadian ada lebih dari 20 orang di sekitar lokasi tambang batu alam Gunung Kuda. Sebagian besar pekerja tambang batu dan sopir.
Taryana mengaku, saat kejadian ada beberapa mobil lain yang ikut tertimbun longsoran Gunung Kuda Cirebon. Taryana masih berharap mobil miliknya yang tertimbun segera ditemukan.
"Saya hanya bisa bersyukur, Allah masih kasih kesempatan hidup. Saya tidak mikir apa-apa lagi, cuma ingin selamat," ucapnya.
Perintah penghentian operasi sementara
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, mengeklaim bahwa pemerintah daerah sudah sempat memerintahkan penghentian sementara pada Maret 2025 silam.
Menurut Bambang, instruksi penghentian sementara ini bagian dari tahapan peringatan yang diberikan karena aktivitas pertambangan "sangat membahayakan".
"Karena metode penambangannya ini sangat membahayakan dan memang struktur dari batunya ini juga lepas-lepas. Sehingga dengan metode penambangannya yang salah ini berpotensi ada risiko insiden," kata Bambang kepada BBC News Indonesia.
"Tapi [instruksi penghentian] juga tidak diindahkan," kata Bambang.
Pascakejadian yang menelan korban jiwa, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi untuk PT Aka Azhariyah Group dan tiga izin perusahaan lain yang beroperasi Gunung Kuda.
Baca juga:
Bambang menjelaskan aktivitas pertambangan memang sudah berjalan sejak lama, meski ia tak bisa menyebut waktu secara detail.
Bambang menjelaskan terbitnya perizinan pertama kali diketahui pada 2015 untuk perusahaan milik Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah .
Ketika ditanya mengenai kegiatan pertambangan yang diklaim warga sudah berlangsung lebih lama dari 2015, Bambang menjawab "Itu masih ilegal mungkin ya".
'Bukan soal memperingatkan'
Manajer advokasi dan kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah, menyayangkan pernyataan pemerintah yang sempat menyebut sudah memperingatkan namun tak mengambil tindakan tegas kepada perusahaan tambang yang masih beroperasi di wilayah yang rentan longsor
"Yang kami soroti adalah bukan soal memperingatkan," kata Hannah kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Mereka punya political will enggak untuk mendesak kalau ternyata ini mengancam daerah, mengancam ekologi di kawasan, atau menimbulkan kerusakan yang berdampak lebih luas selain ke masyarakat");