Resistansi antibiotik: ‘Pandemi senyap’ yang jadi ancaman kesehatan global, bagaimana kasusnya di Indonesia?

Resistansi antibiotik

Sumber gambar, Getty Images

Tiga tahun lalu, Steven Timotius Dharma Suki tiba-tiba mengalami demam tinggi disertai badan lemas. Dia merasakan sakit perut dan diare. Oleh dokter yang memeriksanya, dia didiagnosis terkena tipes – salah satu penyakit endemis di Indonesia.

Pada umumnya, pasien yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi – penyebab penyakit tipes – akan berangsur membaik setelah tiga hingga lima hari menjalani perawatan terapi antibiotik dan pulih secara bertahap dalam beberapa pekan. Namun, tidak demikian yang dialami Steven.

Sepanjang tahun 2020, tipes menjadi penyakit langganan yang menderanya setiap bulan. Pemuda berusia 28 tahun itu harus bolak-balik ke rumah sakit dengan diagnosis yang sama. Oleh dokter yang merawatnya, kondisinya dibilang “tidak wajar”.

“Soalnya saya kan tes darah, jadi kayak [hasilnya] positif terus. Padahal dokter sudah kasih dosis antibiotik yang tepat,” tutur Steven kepada Yuli Saputra, wartawan di Bandung, Jawa Barat, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Minggu (12/11).

Amoksisilin, antibiotik lini satu yang diberikan dokter pada Steven, tak mampu memusnahkan bakteri yang menyerang sistem pencernaannya. Dokter kemudian memberinya Siprofloksasin, antibiotik golongan berbeda dengan lini yang lebih tinggi.

Lewatkan Paling banyak dibaca dan terus membaca
Paling banyak dibaca