Empat kasus kekerasan seksual oleh pimpinan pesantren di Jember dan Lampung, menanti kesungguhan Kementerian Agama

Sumber gambar, Getty Images
Rentetan kasus kekerasan seksual di lingkup pondok pesantren menandakan bahwa Peraturan Menteri Agama tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan “belum dipahami”, kata pemerhati anak, Retno Listyarti.
Oleh sebab itu, Retno mengatakan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 itu “penting untuk segera disosialisasikan”.
Pada awal 2023, setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur.
Mayoritas pelakunya adalah ketua atau pimpinan pondok pesantren itu sendiri, yang dikhawatirkan "dapat menghambat" penerapan aturan tersebut.
"Kalau orang mau mengadu tapi pelakunya pimpinan pesantren kan orang jadi nggak berani menyentuh," kata Retno ketika dihubungi, Selasa (10/1).
“Di sini lah kesungguhan Kementerian Agama diperlukan mengingat ada perintah membentuk SOP [standar operasional prosedur) sampai portal pengaduan,” sambung dia.
"Saya rasa masih banyak pesantren belum memahami aturan itu, bagaimana mau diimplementasikan kalau paham saja belum"> Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati tetap dihukum mati usai kasasi ditolak MA
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i, mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren biasanya memiliki karakter sendiri, di mana pelakunya mencari pembenaran atas perilakunya melalui tafsir agama yang keliru.
Ditambah lagi dengan karakter pondok pesantren yang tertutup dan pimpinannya biasanya menjadi sosok yang dihormati, sehingga banyak yang enggan melapor.
Peraturan Menteri Agama itu, kata dia, semestinya bisa menghadirkan wadah untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual tersebut.
Meskipun, dia juga mengakui bahwa fakta sejumlah pimpinan pondok pesantren justru menjadi pelaku, dapat menghambat penerapan pencegahan kekerasan seksual.
“Persoalan seperti itu, nanti perlu dibicarakan juga dengan Kementerian Agama, ketika justru pengasuh dan pemimpinnya yang jadi pelaku, bagaimana harus menyikapinya,” tutur Imam.
“Tapi menurut saya, Kemenag punya kemampuan untuk mengatasi itu, misalnya dengan menutup pesantren itu atau mengumumkan bahwa itu tidak aman. Sanksi sosial di lingkup pesantren itu biasanya sangat kuat,” kata Imam.
Selain itu, Imam menekankan pentingnya strategi yang tepat untuk mensosialisasikan aturan tersebut untuk menghindari resistensi dari para pengurus pesantren.
"Misalnya harus ditekankan bahwa pencegahan kekerasan seksual itu sejalan dengan ajaran agamanya," tutur Imam.
Pesantren 'tak boleh sulit ditembus'
Dengan pola kekerasan seksual yang banyak dilakukan oleh pimpinan maupun guru, Retno mengatakan penting untuk memastikan bahwa pesantren "tidak boleh sulit ditembus".
Selama ini, Retno mengatakan banyak kasus-kasus kekerasan seksual tidak terungkap akibat sistem di pesantren yang tertutup.
Misalnya melalui aturan yang melarang santri dan santriwatinya menggunakan ponsel.
"Butuh berlapis-lapis pengawasan di pondok pesantren mengingat anak-anak kan 24 jam dalam sehari beraktivitas di dalamnya. Orang tua juga harus terlibat dalam pengawasan ini," ujar Retno.
Selain itu, perlu dipastikan bahwa kanal pengaduan bagi korban "tidak tunggal".
Dengan demikian, ketika pelaku kekerasan seksual adalah pimpinan atau guru di pondok pesantren itu, tetap ada ruang yang aman bagi korban untuk melaporkan tindakannya.
"Harus ada portal lain, dan Kementerian Agama juga harus punya portal itu," ujar Retno.
Kementerian Agama, sambung dia, kini masih berutang untuk mensosialisasikannya dan memberikan bimbingan teknis bagi pesantren-pesantren di seluruh Indonesia terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini.