Mengapa rasa lapar dapat lebih mengganggu pikiran daripada seks

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Miriam Frankel dan Matt Warren
- Peranan, BBC Future
Diet sering kali dirayakan sebagai cara yang mulia, bahkan tidak jarang dipromosikan oleh selebritas, untuk menjadi sehat dan bugar — juga menjadi basis bagi industri bernilai $250 miliar yang terus berkembang pesat.
Tetapi jujur saja: diet juga bisa membuat orang menderita.
Satu penelitian terhadap hampir 2.000 orang dengan kelebihan berat badan dan obesitas yang berusaha menurunkan berat badan menemukan bahwa mereka yang benar-benar berhasil hampir 80% lebih mungkin mengalami gejala depresi dibandingkan yang tidak.
Barangkali ini bukan motivasi yang bagus untuk mengurangi kalori, tapi memang, rasa lapar dapat dapat mengacaukan pikiran kita dengan berbagai cara — salah satunya dengan membuat kita “hangry”, yaitu merasakan perasaan marah yang biasa muncul ketika kita sudah terlalu lama tidak makan.
Faktanya, beberapa penelitian mulai mengungkap bahwa puasa dapat berdampak negatif terhadap segala hal mulai dari emosi sampai kognisi dan kemampuan penilaian kita, setidaknya dalam jangka pendek.
Ini persoalan yang lebih dalam dari sekadar diet. Di dunia di mana banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, perlu diingat bahwa kelaparan dapat meningkatkan kesenjangan. Satu penelitian di India menunjukkan bahwa menyediakan bekal makanan di sekolah dapat meningkatkan kinerja kognitif siswa sebesar 13% sampai 16%.
Tanpa nutrisi dan kalori yang cukup, tidak mengherankan bila otak kita kesulitan untuk berkembang dan berfungsi dengan baik. Tapi bagaimana rasa lapar sehari-hari juga memengaruhi cara kita berpikir?

Sumber gambar, Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Emosi punya peran besar dalam memengaruhi cara kita berpikir — terutama bila kita tidak benar-benar memahami atau mengakuinya. Ini karena lebih mudah untuk mengendalikan emosi ketika kita menyadari dari mana emosi tersebut berasal dan bagaimana ia memengaruhi pemikiran dan pengambilan keputusan kita.
Suasana hati yang buruk, misalnya, seringkali membuat kita menjadi lebih pesimis sehingga pikiran kita cenderung lebih negatif. Dan bila Anda tidak sadar seberapa khawatir Anda menjelang tes kesehatan, riset menunjukkan Anda akan lebih menghindari risiko ketika mengambil keputusan keuangan. Demikian pula, bila Anda menjual jaket secara online setelah menonton film sedih, kemungkinan besar Anda akan memasarkannya dengan harga lebih murah.
Baca juga:
Tapi apa hubungan semua ini dengan rasa lapar?
Nah, rasa lapar tampaknya menjadi pemicu emosi negatif dan suasana hati yang buruk.
Dalam sebuah penelitian pada tahun 2022, psikolog Nienke Jonker dan rekannya dari Universitas Groningen di Belanda mewawancarai 129 perempuan – sekitar setengah dari mereka diminta untuk berpuasa selama 14 jam – dengan pertanyaan tentang tingkat kelaparan, kebiasaan makan, dan suasana hati mereka.
Hasilnya, perempuan yang kelaparan menunjukkan lebih banyak emosi negatif, termasuk level ketegangan, kemarahan, depresi, kelelahan dan kebingungan yang lebih tinggi. Mereka juga melaporkan emosi positif yang lebih rendah.
“Itu bukan dampak yang sepele,” kata Jonker. Faktanya, perempuan yang kelaparan melaporkan bahwa mereka merasa rata-rata dua kali lebih marah dibandingkan mereka yang tidak kelaparan.
Suasana hati yang buruk dapat secara radikal mengubah cara kita menafsirkan dunia. Kalau suasana hati Anda negatif, Anda akan lebih mudah mengingat hal-hal negatif juga, yang dapat membuat suasana hati Anda jadi lebih buruk.
Pembingkaian negatif ini dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan lingkungan sekitar kita — menyebabkan kita melihat dunia secara hitam-putih, dan kehilangan nuansa yang penting.
Ketika kita merasa sedih, kita juga lebih memperhatikan hal-hal negatif daripada positif, yang mungkin membuat kita merasa buruk tentang diri kita sendiri dan lebih curiga pada orang lain.

Sumber gambar, Getty Images
Dalam serangkaian eksperimen lainnya, Kristen Lindquist, psikolog dan ahli saraf di University of North Carolina, Chapel Hill, AS, dan rekannya menemukan bahwa kelaparan membuat orang cenderung lebih mudah dimanipulasi oleh emosi negatif.
Mereka menunjukkan kepada 218 pekerja (beberapa di antara mereka dalam keadaan lapar) gambar netral, positif dan negatif (misalnya anjing yang sedang marah), dan kemudian meminta mereka untuk menentukan apakah suatu gambar yang lebih ambigu (piktograf China) itu positif atau negatif.
Mereka yang pertama kali diperlihatkan gambar negatif cenderung menilai piktograf tersebut negatif, meskipun mereka sudah diminta agar tidak terpengaruh oleh gambar sebelumnya. Dan ya, peserta yang dalam keadaan lapar sebelum mengikuti tes lebih cenderung termanipulasi dengan cara ini.
Namun, kelaparan tidak hanya membuat kita merasa negatif dan rendah diri. Kondisi itu juga dapat membuat kita menjadi lebih impulsif dan punitif.
Sebuah studi tahun 2011 yang terkenal menunjukkan sejauh mana rasa lapar memengaruhi pengambilan keputusan hakim tentang pembebasan bersyarat bagi narapidana. Studi tersebut menemukan bahwa para hakim memberikan putusan yang lebih ringan pada pagi hari dan setelah makan siang, ketika mereka sudah kenyang, dibandingkan sebelum makan siang atau di penghujung hari.
Meskipun penelitian ini telah banyak dikritik – dampaknya bisa saja disebabkan oleh faktor lain, misalnya jadwal persidangan, dan bukan tingkat kelaparan hakim – sains mendukung anggapan cenderung lebih punitif jika belum makan.
Menurut Lindquist, sulit untuk menentukan penyebab dari dampak yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan dalam situasi dunia nyata, seperti selama sidang pembebasan bersyarat — selalu ada penjelasan alternatif yang mungkin. Namun, seringkali Anda dapat mengontrol faktor-faktor ini dalam kondisi laboratorium.
Untuk menguji apakah orang benar-benar bersikap kasar terhadap orang lain saat lapar, Lindquist mengundang 236 orang ke labnya. Sekitar setengahnya sudah berpuasa setidaknya selama lima jam sementara separuh lainnya sudah makan.
Mereka kemudian diminta untuk melakukan tugas yang membosankan dengan memutar bentuk geometris di komputer sebelum komputernya tiba-tiba crash (atau begitulah menurut mereka) – memaksa mereka untuk memulai lagi dari awal.

Sumber gambar, Getty Images
Pada penghujung kegiatan yang bikin frustasi ini, para peserta diberi kesempatan untuk menilai para peneliti — dan dibolehkan untuk memberikan sedikit balasan secara pasif-agresif.
“Orang-orang yang kelaparan, terutama mereka yang tidak memerhatikan emosinya atau fokus pada keadaan internalnya, lebih cenderung menilai peneliti terlalu kejam [penilaian negatif yang oleh para peneliti dianggap sebagai punitif] pada lembar penilaian yang kami sediakan,” kata Lindquist.
Alasan pasti mengapa rasa lapar membuat kita merasa dan berperilaku seperti ini amatlah kompleks. Bisa jadi penyebabnya adalah kadar gula darah rendah saat berpuasa, mengganggu kemampuan kita mengendalikan diri.
Teori ini tampaknya menunjukkan bahwa kita semua rentan terhadap pikiran negatif, namun kita dapat mengendalikannya — sampai kita lapar.
Namun pandangan ini telah dikritik, dan teori-teori lain telah menjadi semakin populer.
Lindquist, misalnya, percaya bahwa perasaan seperti "hanger" (gabungan hungry dan anger) sesungguhnya hanyalah akibat salah menafsir keadaan fisiologis sebagai keadaan emosional. Ini didukung oleh temuannya sendiri bahwa orang-orang lapar yang tidak merenungkan emosi mereka lebih cenderung menyalahartikannya dan akubatnya menjadi lebih marah dan punitif.
“Rasa lapar membuat perasaan Anda pada konteks tertentu menjadi lebih intens,” kata Lindquist. “Misalnya, biasanya Anda tidak tersinggung bila dikritik oleh rekan kerja Anda, tetapi ketika Anda lapar Anda jadi marah.”
Ide ini dapat menjadi terobosan bagi orang-orang yang sedang diet. Jika perasaan negatif yang kita rasakan ketika lapar sebenarnya disebabkan oleh kesalahan kita mengartikan sensasi fisik, kita dapat belajar untuk menafsirkan sensasi fisik tersebut dengan lebih baik.
Cara kerjanya mirip dengan terapi perilaku kognitif (CBT), yang membantu kita mengubah pikiran dan perasaan kita.

Sumber gambar, Getty Images
Penelitian Jonker mengenai emosi perempuan yang lapar nampaknya mendukung hal ini – dia menemukan bahwa mereka yang menderita gejala gangguan makan mengalami perasaan lebih positif ketika lapar dibandingkan perempuan tanpa gejala tersebut.
Meskipun gangguan makan adalah kondisi kesehatan mental yang kompleks, temuan ini menunjukkan bahwa para perempuan ini telah mempelajari kembali hubungan “normal” antara kelaparan dan pengalaman negatif. Walaupun pembingkaian mental seperti itu sangat kontraproduktif dan berbahaya ketika Anda melawan gangguan makan, Jonker mencari cara untuk menggunakannya secara positif.
Ada alasan-alasan evolusi mengapa kita salah mengartikan kelaparan sebagai sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Bagaimanapun, ketika kita kekurangan nutrisi, otak membutuhkan kita untuk bertindak daripada hanya duduk-duduk dengan perasaan puas dan ongkang-ongkang kaki.
“Dari sudut pandang evolusi, masuk akal bila kelaparan disertai dengan dorongan untuk pergi keluar dan mencari makan — untuk barangkali memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada keuntungan jangka panjang,” imbuh Lindquist.
Dan memang, penelitian dari University of Dundee di Inggris menunjukkan bahwa orang-orang menjadi semakin bias terhadap masa kini ketika mereka lapar – dan kesulitan untuk menunda gratifikasi.
Para peneliti menawarkan peserta penelitian hadiah langsung berupa uang tunai sebesar £20 (sekitar Rp300 ribu) atau 20 lagu secara gratis — atau dua kali lipat jumlah tersebut di masa depan.
Kalau peserta tidak sedang lapar, mereka rela menunggu dengan sabar masing-masing selama 90 atau 20 hari, untuk mendapatkan hadiah yang lebih besar. Namun di kalangan peserta yang kelaparan, angka tersebut menyusut masing-masing menjadi 40 dan 12 hari.
Hasil ini masuk akal jika sinyal kelaparan dimaksudkan untuk mendorong kita agar mengambil tindakan saat ini, alih-alih membuat rencana untuk masa depan yang lebih jauh.
Kelaparan juga memengaruhi kognisi secara lebih langsung. Sebuah studi telaah pada tahun 2021 yang menyelidiki efek puasa pada kemampuan kognisi menemukan bahwa perhatian dan fleksibilitas kognitif, kemampuan untuk beralih dari satu tugas ke tugas lainnya, sangat terpengaruh.

Sumber gambar, Getty Images
Kebanyakan dari kita pasti tahu bagaimana rasanya bila perhatian kita diganggu oleh bayangan terus-menerus tentang kue coklat yang manis, keripik yang renyah, atau mie instan hangat saat kita lapar.
Dan penelitian menunjukkan bahwa ini sangat umum terjadi – rasa lapar meningkatkan perhatian kita terhadap isyarat yang berkaitan dengan makanan.
Sekali lagi, hal ini juga sesuai dengan gagasan bahwa inti dari rasa lapar fisiologis adalah untuk membuat kita keluar dan mencari makanan – dan mengalihkan perhatian dari hal lain yang kita lakukan adalah tahap pertama dari proses ini.
Di dunia modern, khususnya di negara-negara yang relatif makmur, makanan berlimpah jumlahnya. Jadi, terganggu oleh rasa lapar tidak lagi berguna. Hal ini dapat menimbulkan lebih banyak kerugian daripada keuntungan.
Jan Rummel, psikolog kognitif di Universitas Heidelberg di Jerman dan rekannya menguji apakah rasa lapar membuat orang lebih rentan terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu, seperti fantasi tentang makanan.
“Biasanya, jika Anda menemukan orang yang pikirannya mengembara ke mana-mana, kinerja mereka akan menurun,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa efek ini hanya berlaku ketika tugas tersebut cukup kompleks, misalnya membaca.
“Kalau kita sedang menyetrika atau semacamnya, maka kita bisa memikirkan apa saja dan itu tidak mempengaruhi kinerja kita karena tugasnya cukup sederhana.”
Dia bermaksud menguji sejauh mana orang-orang yang sedang lapar bisa berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas yang kompleks – membaca 27 halaman novel epik War and Peace yang diikuti dengan tes pemahaman bacaan.
Mereka juga ditanya apakah pikiran mereka melantur dan, jika demikian, apa yang sedang mereka pikirkan. Dalam tes tersebut, 39 orang diminta datang ke laboratorium tanpa makan selama lima jam, sementara 91 orang diminta datang dalam keadaan kenyang.
Di antara kelompok terakhir, 46 orang mendengarkan rekaman cerita erotis untuk melihat apakah hal itu meningkatkan pikiran yang mengembara.
Para peneliti menemukan bahwa semakin sering pikiran seseorang melantur, semakin buruk kinerja mereka dalam mengerjakan tugas. Dan kelompok yang lapar adalah kelompok yang paling mudah terdistraksi – orang-orang tersebut 10% lebih sering melantur dibandingkan dua kelompok lainnya, dan pikiran yang mengganggu mereka terutama tentang makanan.
Hal ini tampaknya mengimplikasikan bahwa rasa lapar berpotensi lebih mengganggu daripada seks.

Sumber gambar, Getty Images
Tapi ini mungkin bukan hanya karena kurangnya perhatian. Rasa lapar juga tampaknya mengurangi fleksibilitas kognitif, yang sangat penting dalam mengerjakan segala jenis tugas kognitif, termasuk pemahaman membaca.
Fungsi eksekutif ini, yang membantu kita berpikir kompleks namun berbeda dengan IQ, memungkinkan kita untuk dengan mudah bergonta-ganti perspektif serta meninggalkan strategi yang tidak lagi efektif untuk strategi yang lebih baik.
John Parkinson, psikolog di Bangor University di Inggris, menunjukkan bahwa orang lapar yang perhatiannya terganggu karena memikirkan makanan lebih cenderung membuat kesalahan dalam tugas yang bertujuan mengukur fleksibilitas kognitif.
“Ada kesamaan di sini dengan ketakutan dan kecemasan,” jelas Parkinson. “Bila saya membuat Anda cemas dengan menunjukkan gambar ular, misalnya, itu akan mempersempit fokus kognitif Anda. Jadi, fleksibilitas kognitif Anda akan berkurang dan Anda akan hanya fokus pada cara mengusir ular itu. "
Demikian pula, pemikiran kita bisa menjadi sangat terganggu ketika kelaparan dan berusaha menghilangkan sensasi tersebut. Kalau Anda sedang berusaha memecahkan masalah pada saat seperti itu, Anda "kemungkinan akan lebih memilih solusi yang sederhana dan cepat daripada solusi jangka panjang yang rumit", kata Parkinson.
Fleksibilitas kognitif
Fleksibilitas kognitif juga diperlukan untuk mengambil keputusan sederhana – misalnya apa yang harus dimakan.
Saat kita sedang diet, misalnya, kita harus fleksibel untuk melawan keinginan kuat kita untuk mengonsumsi makanan kaya lemak dan karbohidrat.
Tapi, kalau kita pergi berbelanja saat kita sedang lapar dan mentalnya kaku seperti ini, imbuh Parkinson, kita “hanya akan membeli banyak makanan sampah”.
Kelaparan adalah sinyal yang kuat karena pada akhirnya ia membantu kita untuk bertahan hidup. Namun, akibatnya, hal ini dapat sangat mengganggu pemikiran kita.
Saat kita lapar, kita akan sulit melakukan tugas-tugas kognitif yang kompleks, sulit memahami nuansa dan berkonsentrasi — dan cenderung memilih pendekatan berpikir yang lebih sederhana dan sering kali didorong oleh bias dan prasangka.
Menjadi mudah tersinggung, impulsif, punitif, dan terjebak pada masa kini – terutama ketika kita tidak menyadari bahwa perasaan-perasaan ini disebabkan oleh rasa lapar – akan semakin mengacaukan pikiran kita.
Namun menyadari hal ini bisa sangat berguna. Misalnya, saat Anda sedang marah atau murung, mungkin ada baiknya jika Anda bertanya pada diri sendiri apakah Anda benar-benar marah atau hanya lapar.

Sumber gambar, Getty Images
Bila Anda memahami dari mana asal suatu emosi, kecil kemungkinan Anda akan bisa dimanipulasi oleh emosi tersebut. Dan bila Anda sedang menghadapi tugas yang penting – misalnya menulis laporan, membuat keputusan investasi, atau berbicara dengan pasangan untuk mengatasi masalah dalam hubungan Anda – ada baiknya Anda tidak melakukannya dalam keadaan lapar. (Tetapi jangan makan terlalu banyak karena itu juga dapat memengaruhi fungsi kognitif.)
Solusi sederhana lainnya bagi mereka yang kesulitan membuat pilihan makanan yang baik adalah dengan membuat komitmen terlebih dahulu tentang apa yang akan dimakan – jadi Anda tidak mengambil keputusan ketika lapar, yang dapat memengaruhi pemikiran Anda. Misalnya, membaca menu sebelum pergi ke restoran atau membuat daftar belanja sebelum ke supermarket.
Namun, pada akhirnya, Anda barangkali perlu mempertimbangkan dampak emosional dan kognitif dari diet yang sangat membatasi asupan kalori – terutama bila berat badan Anda sudah sehat. (Atau Anda bisa mengonsumsi makanan yang sehat dan rendah kalori supaya tidak kelaparan.)
Lagi pula, untuk apa punya “bodi yang bagus” kalau Anda malah jadi begitu tertekan dan depresi sehingga tidak bisa menikmati hidup?
Versi bahasa Inggris dari artikel berjudul How hunger can warp our minds dapat Anda simak di BBC Future.