Pengadilan mengabulkan sebagian gugatan class action kasus gagal ginjal akut - 'Buat kami itu enggak adil'

Desi Permata Sari (kiri) dan anak perempuannya, Sheena (kanan)

Sumber gambar, Desi Permata Sari

Keterangan gambar, Sejak mengonsumsi obat sirop yang diproduksi PT Afi Farma pada September 2022, Sheena (kanan) masih belum bisa merespons dan berkomunikasi

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan sebagian tuntutan para keluarga korban kasus gagal ginjal dalam putusan gugatan class action, pada Kamis (22/08). Ibu salah satu korban menganggap putusan pengadilan ini sangat tidak adil.

Dalam salinan putusan yang diterima BBC News Indonesia, pengadilan memerintahkan PT AFI Farma Pharmaceutical dan CV Samudera untuk membayar kerugian masing-masing Rp50 juta untuk keluarga korban yang meninggal, dan Rp60 juta untuk yang masih dalam pengobatan.

“Jujur dari tadi siang saya baca [hasil putusan] sampai sekarang saya enggak berhenti nangis. Kecewa banget, terus sedih, marah juga karena buat kami itu enggak adil,” kata Desi Permata Sari, salah satu ibu korban kepada BBC News Indonesia, Jumat (23/08) sembari menangis.

“Nilai yang mereka kasih jauh banget dari nilai tuntutan.”

Dalam gugatannya, para keluarga korban menuntut kompensasi sebesar Rp3 miliar untuk setiap anak yang meninggal, dan sekitar Rp2 miliar untuk setiap anak yang sakit.

kasus gagal ginjal akut

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Dalam foto yang diambil pada 7 Februari 2023 ini, orang tua dari anak-anak korban gagal ginjal akut menghadiri sidang di pengadilan sambil mengenakan kaos hitam bertuliskan "Kukira obat ternyata racun".

Dalam putusannya, PN Jakarta Pusat tidak mengabulkan tuntutan keluarga korban terhadap Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sementara itu, kuasa hukum PT AFI Farma, Reza Wendra Prayogo, mengatakan pihaknya kecewa atas putusan PN Jakarta Pusat. Menurutnya, banyak fakta persidangan tidak dipertimbangkan majelis hakim. Salah satunya adalah bahwa obat-obatan PT AFI Farma yang beredar sudah mendapat izin edar BPOM.

Gugatan class action ini diajukan sejak 15 Desember 2022 dan menjadi salah satu jalan yang diperjuangkan keluarga korban untuk mendapat keadilan dan pertanggungjawaban.

Tak sekadar menuntut kompensasi, para keluarga korban yang mengajukan gugatan class action ini menuntut BPOM dan Kementerian Kesehatan mencari sumber masalah serta memperbaiki sistem kesehatan supaya kejadian serupa tidak kembali terulang pada masa mendatang.

Reza Zia Ulhaq, kuasa hukum korban, mengonfirmasi bahwa pada awalnya mereka menggugat 11 pihak. Akan tetapi, beberapa dari jumlah total ini telah mencapai kesepakatan berdamai dalam proses mediasi.

Yang tersisa dalam gugatan mereka antara lain PT AFI Farma.

'Mereka tidak menghargai nyawa dan masa depan anak-anak ini'

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Dalam gugatannya class action yang diajukan sejak 15 Desember 2022 para keluarga korban menuntut kompensasi sebesar Rp3 miliar untuk setiap anak yang meninggal, dan sekitar Rp2 miliar untuk setiap anak yang sakit.

Dalam putusan yang digelar Kamis (22/08) sore, pengadilan memerintahkan PT AFI Farma Pharmaceutical dan CV Samudera untuk membayar kerugian masing-masing Rp50 juta untuk keluarga korban yang meninggal, dan Rp60 juta untuk yang masih dalam pengobatan.

Desi menganggap perbedaan itu terlampau jauh. Sebagai ibu dari korban yang kini masih dalam masa pengobatan, ia hanya akan mendapatkan Rp60 juta.

Menurutnya, jumlah itu sangat kecil. Ia kemudian bercerita bahwa pada awal tahun ini, ia sudah mendapatkan santunan Rp60 juta dari pemerintah.

Berkaca pada pengalaman itu, duit Rp60 juta jika dipakai untuk biaya perawatan anaknya, Sheena, habis dalam waktu beberapa bulan.

“Jadi, buat saya Rp60 juta ini kayak mereka itu menunjukkan secara enggak langsung kalau mereka ini enggak menghargai nyawa sama masa depan anak-anak ini,” katanya.

gagal ginjal akut

Sumber gambar, Desi Permata Sari

Keterangan gambar, Desi Permata Sari dan putrinya, Sheena, 6 tahun.

Ia pun sudah mengutarakan kekecewaannya kepada kuasa hukumnya, Siti Habiba. Rencananya, ia akan mengajukan banding.

“Kalau saya enggak setuju dan saya mau banding, apa pun risikonya. Karena uang Rp60 juta itu enggak ada apa-apanya. Asal mereka tahu, mereka sudah hancurin masa depan Sheena,” katanya.

Siti Habiba mengakui bahwa para penggugat sudah menyampaikan kekecewaan kepadanya. Menurutnya, permasalahan dalam putusan ini juga mencakup penggunaan kata “santunan”.

Dalam salinan putusan, memang disebutkan bahwa pengadilan menghukum dua tergugat untuk memberikan ganti rugi berupa “pemberian santunan” kepada para korban “sebagaimana Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 185/HUK/2023”.

“Kenapa mereka ditempatkan sebagai pengemis, seolah-olah mengemis empati dari pemerintah dan perusahaan, yang mana jelas-jelas mereka bersalah dalam hal ini?” kata Habiba kepada BBC News Indonesia.

Habiba lantas menegaskan bahwa putusan pengadilan ini seharusnya tidak merujuk pada keputusan menteri tersebut.

“Santunan ini kan sebetulnya sudah diberikan oleh menteri kepada para keluarga korban. Waktu itu Pak Muhadjir [Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan] juga sampaikan santunan ini tidak dapat disamakan dengan ganti kerugian,” tutur Habiba.

Baca juga:

“Jadi bilamana nanti dalam persidangan keluarga korban bisa membuktikan bahwa mereka memang adalah korban dan para pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM bersalah, ya silakan mintakan ganti kerugian.”

Lebih jauh, Habiba juga kecewa atas putusan pengadilan yang seolah tak menggubris tuntutan mereka terhadap Kemenkes dan BPOM.

“Dalam mengajukan gugatan ini bukan hanya soal ganti kerugian kepada keluarga korban, tetapi ini juga mengenai advokasi kami melalui jalur hukum untuk perbaikan sistem,” katanya.

Untuk membahas langkah selanjutnya, Habiba mengatakan akan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban, perwakilan, dan kuasa hukum untuk meemutuskan untuk menempuh jalur banding atau tidak.

Kuasa hukum GGAPA mengatakan terdapat total jumlah korban sebanyak 326 anak-anak berbagai umur yang tersebar di 27 provinsi. Adapun kuasa hukum GGAPA mewakili sedikitnya 33 keluarga korban gagal ginjal akut.

Apa tanggapan pihak yang tergugat?

Kuasa hukum PT AFI Farma, Reza Wendra Prayogo, mengatakan pihaknya kecewa atas putusan PN Jakarta Pusat.

Banyak fakta persidangan, menurut Reza, tidak dipertimbangkan Majelis Hakim. Reza mengeklaim salah satunya adalah bahwa obat-obatan PT AFI Farma yang beredar sudah mendapatkan izin edar BPOM.

"Obat-obat tersebut tidak akan beredar tanpa izin dari BPOM," ujar Reza ketika dihubungi pada Jumat (23/08).

"Tapi kenapa yang dinyatakan melakukan [perbuatan melanggar hukum] hanya [PT AFI Farma] dan [CV Samudera]. Apakah karena pemerintah dalam hal ini BPOM dan Kemenkes sudah memberi uang santunan lalu itu sudah dianggap menggugurkan tanggung jawabnya");