Mengapa orang tua bunuh diri bersama anak?

Anak dengan gangguan depresi membayangi pemikiran serius yang duduk di jendela

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Foto ilustrasi: anak bisa mengalami gangguan depresi akibat keinginan bunuh diri orang tua.
  • Penulis, Trisha Husada
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Peringatan: Artikel ini memuat konten bunuh diri

Peristiwa kematian satu keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan dua anak yang diduga bunuh diri dengan meloncat dari sebuah apartemen di Jakarta Utara hingga kini masih menyisakan pertanyaan: mengapa orang tua bunuh diri bersama anak?

Kepala Program Studi Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Parahyangan, Elvine Gunawan, berpengalaman menangani orang tua yang memiliki keinginan bunuh diri.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang dapat mendorong seseorang sampai pada titik ingin mengakhiri hidup.

“Satu, karena ekonomi. Bisa jadi keluarga itu memiliki banyak utang yang mereka tak mampu bayar. Kedua, karena konflik keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, karena kejadian hidup yang memicu stres berat, misalnya baru ditipu orang,” jelas Elvine.

Ia juga menyebut faktor kesehatan seperti sakit kronis sebagai latar belakang seorang ingin bunuh diri.

“Ketika dia sakit-sakitan, dia merasa menyusahkan dan merasa dirinya menjadi beban bagi keluarga, itu juga jadi masalah yang seringkali memicu depresi dan munculnya ide untuk bunuh diri pada lansia,” ungkapnya.

Psikiater Elvine Gunawan

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Psikiater Elvine Gunawan mengatakan bahwa 60%-70% anak yang kehilangan orang tua akibat bunuh diri mengalami depresi.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Ia mengatakan bahwa orang yang ingin bunuh diri biasa memandang tindakan itu sebagai “solusi” atau cara membebaskan diri dari masalah-masalah dalam hidupnya.

Karenanya, dia tidak heran jika ada orang tua yang ingin “membawa” anaknya ke dalam tindakan tersebut.

“Sebenarnya dia juga ingin melindungi anaknya supaya jangan sampai ketika masalah ini dia “selesaikan”, anaknya malah jadi kebawa. Juga, biasanya ibu-ibu, mereka khawatir tidak ada orang yang mau memperhatikan anaknya setelah ia meninggal,” katanya.

Elvine menceritakan pengalamannya ketika seorang ibu yang ia dampingi mengalami post-partum depression alias gangguan kesehatan mental berupa depresi yang terjadi pada ibu-ibu yang baru melahirkan.

“Ibu itu berpikiran ingin bunuh diri dan membawa anaknya karena dia merasa anaknya akan ditinggal sendirian jika dia meninggal," papar Elvine.

Baca juga:

Elvine menjelaskan, ibu yang ingin bunuh diri punya semacam kekhawatiran jika dia tidak meninggal dunia bersama anaknya.

“Belum tentu anaknya mendapatkan ibu baru yang sayang atau anggota keluarga mau urus si anak. Dia juga tidak yakin anaknya akan menjalani hidup yang baik,” jelas Elvine.

Bagaimana nasib anak yang kehilangan orang tuanya akibat bunuh diri?

Elvine mengutip penelitian bahwa 60%-70% dari anak yang kehilangan orang tua karena bunuh diri, mengalami depresi di kemudian hari. Tak hanya itu, mereka juga hidup dengan stigma negatif yang melekat pada diri mereka karena tindakan orang tuanya.

Namun, Elvine mengatakan yang paling sulit adalah proses pemulihan dari trauma yang membekas dari pengalaman yang mereka bawa hingga tumbuh dewasa.

“Anaknya trauma. Dia merasa gagal. 'Coba kalau saya menemui ibu saya lebih awal, coba kalau saya berhasil mencegah, coba kalau saya bisa telpon ayah saya, coba kalau saya bisa bawa ibu saya keluar jalan -jalan'. Itu sering terjadi,” kata Elvine.

GARIS

'Saya merasa bersalah tidak bisa menolong'

Saat Anez mendengar bahwa sepupunya telah meninggal akibat bunuh diri di sebuah rumah kosong setelah menghilang 10 hari, ia sama sekali tidak menyangka peristiwa itu bisa terjadi. Insiden tersebut masih menyisakan luka yang membekas dalam benaknya.

“Mereka berasumsi dia sudah frustasi dengan sakitnya. Enggak ketahuan sakit apa. Akhirnya dia ditemukan meninggal setelah 10 hari itu,” ujar Anez dalam sambungan telepon kepada BBC News Indonesia.

Kematian sepupunya terjadi pada Januari 2023, namun luka masih membekas dalam benak Anez dan keluarga yang ditinggalkan, yakni ayah dan dua saudara mendiang.

Keluarga besarnya telah mendukung sepupu Anez selama perawatan penyakitnya yang sulit terdeteksi.

“Iya kita dukung dan membantu dia, agar dia terus pengobatan dan mencoba menemukan sakit apa supaya bisa diobati. Tapi ternyata dia sudah terlebih dulu putus asa. Akhirnya, ia memilih untuk mengakhiri hidupnya,” ungkapnya.

Perempuan berusia 36 tahun itu masih mengenang sosok sepupu laki-lakinya yang dikenal ramah, murah senyum, dan rendah hati. Ia sejak kecil memang dekat dengan sepupunya dan sempat bertukar pesan melalui aplikasi WhatsApp sebelum ia menghilang.

“[Saya] merasa bersalah. Karena tidak bisa menolongnya dan tidak bisa jadi tempat untuk bertanya dan akhirnya sampai [bunuh diri],” sebut Anez.

Selang setahun, Anez mendengar tentang berita satu keluarga yang bunuh diri di sebuah apartemen di Jakarta Utara. Ia mengingat juga bahwa kasus sepupunya sempat ramai di pemberitaan Januari lalu.

“Itu pasti berat banget. Permasalahan yang mereka hadapi sampai mereka memilih untuk bunuh diri. Pasti sangat berat yang dihadapinya. Terus keluarga yang ditinggalkan pasti sangat terpukul,” ujar Anez.

garis

Kasus orang tua bunuh diri bersama anak meningkat?

Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sudah ada enam kasus orang tua bunuh diri dengan melibatkan anak dalam dua tahun terakhir.

Selama 2023, sudah terjadi lima kasus bunuh diri keluarga yang melibatkan anak.

Sementara, selama Januari hingga Maret 2024, sudah ada satu kasus bunuh diri yang melibatkan anak, yakni yang terjadi di Jakarta Utara.

“Memang terjadi peningkatan. Namun jika ada yang mengakhiri hidup atas inisiatif sendiri ada 46 kasus dan ini termasuk kasus terbesar,” kata Komisioner KPAI Diyah Puspitarini.

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan bahwa aksi bunuh diri keluarga merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan tegas karena membahayakan nyawa anak-anak.

“Anak menjadi ordinat di dalam pelaksanaan mengakhiri hidup oleh keluarganya. Sebagaimana kita tahu, poin utamanya adalah relasi [kuasa] orang tua dengan anak ini luar biasa,” kata Ai.

Ia mengatakan bahwa relasi kuasa antara anak dan orang tua dapat terlihat jelas, dengan anak biasa tunduk pada keinginan orang tuanya. Sehingga, ia sebut anak di kasus-kasus seperti ini jarang memiliki kemampuan untuk menolak.

“Konteks relasi anak menjadi kelompok yang begitu kuat dan hebat dengan orang tua, memberi pengasuhan dan pemenuhan. Tentu saja, ini bukan sesuatu yang harus kita curigai, karena mereka berkomitmen keluarga ini,” ujarnya.

Mengapa istilah ‘bunuh diri sekeluarga‘ tidak dibenarkan?

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, mengatakan kejadian empat orang anggota keluarga yang bunuh diri di apartemen Penjaringan, Jakarta Utara, tidak bisa disebut "bunuh diri sekeluarga" karena tidak dapat dipastikan bahwa setiap orang melakukannya secara konsensual.

Sebab, dalam kasus ini, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat dua orang anak yang masih di usia remaja.

“Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang tidak memiliki kecukupan kapasitas mental berupa keinginan dan tidak mungkin pula memberikan persetujuan atau kesepakatan bagi aksi bunuh diri,“ ujar Reza kepada BBC News Indonesia.

Reza menjelaskan bahwa dalam sudut pandang hukum, anak menjadi korban karena mereka tidak bisa memberikan persetujuan murni pada tindakan bunuh diri. Sama halnya dengan posisi anak dalam kasus kekerasan seksual.

“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,“ ungkapnya.

Suasana Tempat Kejadian Perkara (TKP) setelah polisi menemukan empat orang anggota keluarga meninggal di depan sebuah apartemen di Jakarta Utara.

Sumber gambar, KOMPbbc.informepiaui.com/RIZKY SYAHRIAL

Keterangan gambar, Suasana Tempat Kejadian Perkara (TKP) setelah polisi menemukan empat orang anggota keluarga meninggal di depan sebuah apartemen di Jakarta Utara.

Oleh karena itu, Reza mengatakan kasus itu masuk ke ranah pidana dan melanggar pasal 340 dalam KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun,“ seperti tertulis dalam pasal tersebut.

Namun, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Lebih lanjut, ia menilai kasus tewasnya satu keluarga akibat bunuh diri dan pembunuhan tidak cukup jika hanya ditinjau sebagai masalah individu per individu yang ditangani lewat pendekatan klinis.

Baca juga:

Dengan kata lain, sambungnya, penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut tidak memadai jika akhirnya hanya menghasilkan rekomendasi terapi atau penanganan individual.

Melainkan, ia merasa perlu ada pendalaman lebih terkait kegagalan pemerintah dalam menjamin adanya pengamanan sosial bagi anak-anak dari keluarga yang sedang kesulitan dalam menghadapi berbagai situasi.

“Peristiwa bunuh diri dan pembunuhan serupa sudah saatnya memanggil paksa pemerintah untuk hadir. Anggaplah ayah bunda diterpa masalah yang amat pelik. Saking peliknya, sampai-sampai kedua orangtua sudah memikirkan langkah tragis sebagai "jalan keluar".

Siapa yang dapat membantu penyintas untuk pulih?

Sylvia Adriana, founder Yayasan Pendidikan Kesehatan Mental, mengatakan orang yang kehilangan akibat keluarganya bunuh diri disebut sebagai suicide loss survivor.

“Walaupun anak ini sekarang kondisinya sudah bekerja, baru saja bekerja tapi di posisi seperti itu. Jadi memang tekanan dari lingkungan, stigma-stigma secara psikologi pasti berdampak pada anak,” ujar Sylvia.

Ia mengatakan bahwa langkah awal untuk membantu anak pulih dari trauma itu adalah dengan memberikan dampingan psikologis lewat konseling. Selain itu, adanya group juga dapat membantu penyintas memroses trauma itu.

“Ketika dia ada di kelompok yang sama, sama-sama menghadapi peristiwa yang sama jadi mereka tidak merasa sendiri. Untuk hampir semua kasus seperti itu, dan itu cukup membantu bagi suicide loss survivor ternyata,” ungkapnya.

Baca juga:

Pendiri Into The Light Indonesia, Benny Prawira Siauw, mengatakan bahwa working group suicide loss survivors mereka masih berjalan hingga sekarang, sebagai bagian dari dukungan yang diberikan kepada penyintas yang kehilangan orang tersayang karena bunuh diri.

“Tahun lalu bahkan kami baru saja mengundang narasumber dari berbagai negara untuk membahas kedukaan dan bentuk dukungan yang dibutuhkan,“ kata Benny.

Ia mengatakan bahwa dalam mendampingi anak yang berduka, perlu diidentifikasi dulu jenis proses berduka yang dialami anak tersebut.

Kemudian, pendampung menyesuaikan bahasanya agar dapat berkomunikasi dengan anak, terutama jika anak masih terlalu kecil untuk memahami konsep kematian.

“Meski tidak setiap kedukaan bunuh diri orang tua menjadi trauma, sekiranya ada indikasi trauma maka pemulihan trauma menjadi penting juga,“ tuturnya.

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa pada laman intothelightid.org dan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.