Perjuangan ibu mencari jawaban ’teka-teki pahit’ dari penyakit misterius yang merenggut tiga nyawa anaknya

Ilustrasi seorang anak sakit

Sumber gambar, GETTY IMAGES

Keterangan gambar, Ilustrasi
  • Penulis, Krupa Padhy
  • Peranan, BBC Future

Helene Cederroth kehilangan tiga anaknya akibat penyakit yang tidak terdiagnosis. Meskipun relatif jarang, kondisi itu memengaruhi 350 juta orang di seluruh dunia, dan secara tidak proporsional memengaruhi anak-anak.

“Itu cuma di pikiranmu.”

Helene sudah tak bisa menghitung berapa kali dokter mengatakan hal ini padanya. Namun setelah putranya, Wilhelm lahir pada tahun 1983, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan anak keduanya.

“Dia tampak seperti bayi yang sempurna dengan pipi merah. Semua orang mengira dia sangat sangat sehat,” kata Helene.

Tetapi begitu berusia satu tahun, Wilhelm menderita epilepsi dan masalah perut kronis. Pada usia tiga tahun, dia mengalami peradangan pada saluran napas bagian atas yang dikenal sebagai false croup.

Keluarganya diberi tahu bahwa Wilhelm menderita asma.

Helene tidak puas dengan jawaban itu. Dia ingin tahu lebih banyak. Apa yang menyebabkan kondisi-kondisi medis ini secara spesifik? Apakah saling terkait? Dan bisakah disembuhkan?

Dia mencari apa yang dikenal sebagai diagnosis penyebab di dalam dunia medis, yakni sebuah diagnosis pemersatu yang bisa menjelaskan semua masalah kesehatan Wilhelm.

Menurutnya, ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan penyakit Wilhelm, serta peluangnya untuk sembuh.

Sayangnya, itu hanyalah awal dari perjalanan panjang keluarga Wilhelm menghadapi teka-teki penyakit yang tidak terdiagnosis.

Kondisi misterius

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Penyakit yang tidak terdiagnosis merupakan sebuah kondisi medis di mana penyebabnya tidak diketahui, meski telah diperiksa secara menyeluruh.

Meskipun penyakit yang tidak terdiagnosis relatif jarang, namun kondisi ini masih dialami oleh jutaan orang.

Lebih dari 350 juta orang di seluruh dunia mengalami kondisi “tidak terdiagnosis” atau “langka” (kondisinya disebut langka ketika memengaruhi kurang dari satu orang per 2.000 penduduk di Uni Eropa atau kurang dari 200.000 orang di AS).

Anak-anak di bawah usia lima tahun terpengaruh secara tidak proporsional. Menurut sebuah laporan, anak-anak mencakup 50% dari kasus yang ada, dan 30% di antaranya meninggal sebelum berusia lima tahun.

Sebanyak 6.000 anak lahir dengan “sindrom tanpa nama” (Swanis) setiap tahun di Inggris.

Berurusan dengan masalah kesehatan anak-anak saja sudah cukup sulit. Tanpa diagnosis, dokter dan keluarga harus menghadapi segudang tantangan tambahan lainnya.

Anna Jewitt, seorang spesialis perawat klinis untuk anak-anak dengan sindrom tidak terdeteksi, memahami betul kondisi itu. Tanpa penjelasan mengenai kondisi kesehatan anak-anak mereka, para orang tua merasa hilang arah dan sendirian.

Terkadang, terlepas dari kekhawatiran yang mereka rasakan, para orang tua diberi tahu bahwa anak mereka “normal”. Namun itu “sering kali menjadi kata terburuk bagi orang tua yang anaknya mengalami kondisi tidak terdiagnosis”, kata Jewitt.

Baca juga:

Salah satu kesulitannya adalah kebanyakan anak yang bergejala tidak memiliki penyakit serius. Umumnya, gejala itu kecil dan terjadi sementara.

Akibatnya, sebagian besar orang tua perlu diyakinkan bahwa anak mereka baik-baik saja, bukan dengan puluhan tes laboratorium dan pemeriksaan medis tambahan selama berminggu-minggu.

“Jika Anda menghadapi 100 orang tua yang datang dengan keluhan, kebanyakan dari mereka butuh kepastian bahwa tidak ada yang terjadi,” kata peneliti senior di National Human Genome Institute di Bathesda, Maryland, William Gahl.

Namun dalam beberapa kasus, cara itu bisa menjadi bumerang, seperti yang terjadi pada Wilhelm.

Dokter meyakinkan Helene dan suaminya Mikk bahwa tidak ada sesuatu yang buruk terkait kesehatan bayi mereka. Hanya epilepsi, asma, dan croup palsu yang terjadi bersamaan. Lantaran tak yakin, pasangan itu melanjutkan pemeriksaan medis terhadap anak mereka.

Ilustrasi penyakit tidak terdiagnosis

Sumber gambar, GETTY IMAGES

Sementara itu, hidup terus berjalan.

"Wilhelm hebat di sekolah dan memiliki banyak teman. Dia anak yang baik. Guru di sekolah mengatakan dia akan menjadi Sekretaris Jenderal PBB," kenang Helene.

"Dia menyenangkan. Dia seperti anak laki-laki normal."

Seperti kebanyakan anak normal, Wilhelm dan kakak perempuannya akan pulang dari sekolah dengan gigitan serangga dan infeksi yang mengganggu. Namun butuh waktu lebih lama bagi Wilhelm untuk pulih dibanding biasanya.

Helene mendapat tanggapan yang sama dari dokter: "untuk beberapa anak, begitulah adanya".

Suatu sore ketika Wilhelm berusia lima tahun, dia pergi memetik raspberry. Ketika pulang, dia mengalami batuk yang sangat parah hingga matanya menjadi merah. Wajahnya membengkak, diikuti demam tinggi.

Dokter belum pernah melihat kumpulan gejala seperti ini, tetapi mereka juga tidak dapat menemukan sesuatu yang salah.

Helene diyakinkan oleh para dokter bahwa apa pun yang menyebabkan berbagai gejala Wilhelm, itu bukanlah keturunan atau genetik.

Ketika Wilhelm berusia delapan tahun, Helene dan Mikk dikaruniai anak ketiga mereka, Hugo.

Faktanya, hingga 80% dari kondisi yang tidak terdiagnosis dan langka adalah genetik. Tapi seperti yang disoroti oleh Gahl, kebanyakan dokter bukanlah ahli genetika.

"Sebagian dari masalahnya adalah dokter ingin meyakinkan orang tua bahwa mereka dapat memiliki anak kedua. Ketika mereka tidak tahu apa penyebab genetiknya, mereka tidak dapat memperkirakan tingkat persentase kekambuhan," katanya.

"Kadang-kadang standarnya adalah mengatakan, 'Kami tidak berpikir itu genetik' - dan dasarnya adalah tidak ada penyebab genetik yang diketahui."

Gahl mengatakan bahwa jawaban "itu bukan default terbaik" untuk diberikan kepada orang tua.

Hidup dalam ketidakpastian

Pada trimester ketiga ketika hamil Hugo, Helene merasakan gerakan aneh: tendangan tidak menentu yang mengingatkannya pada anak kecil penderita epilepsi. Itu adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya ketika hamil Wilhelm atau kakak perempuannya. Para dokter mengatakan kepadanya bayi di perutnya cegukan.

Hugo lahir pada 27 Desember 1991. Enam jam setelah lahir, Hugo mengalami kejang untuk pertama kalinya. Kecurigaan Helene benar. Hugo mengidap epilepsi.

Hugo menghabiskan enam bulan pertama hidupnya di rumah sakit. Yang memperburuk trauma keluarganya, tim medis mencurigai Mikk mengguncang Hugo.

“Kecurigaan itu belum bisa dilupakan suami saya sampai saat ini,” kata Helene.

“Saya sampai takut pergi ke rumah sakit.”

Helene ingat bagaimana pola asuhnya diawasi oleh tim tersebut.

“Itu adalah pengalaman paling mengerikan yang pernah saya alami,” katanya.

Ilustrasi penderita epilepsi

Sumber gambar, GETTY IMAGES

Ketakutan terhadap penghakiman adalah hal yang kerap Jewitt dengar dalam perbincangan dengan keluarga-keluarga yang dia coba tenangkan. Bagi sebagian orang tua, rasanya “seperti orang-orang tidak mempercayai mereka, dan mereka dianggap terlalu cemas”, katanya.

“Orang lain yang tidak punya privilese mungkin merasa seperti dihakimi.”

Ada momen-momen di mana muncul harapan bagi keluarga ini. Ketika Hugo berusia 18 bulan, Helene diberitahu bahwa dia tidak akan pernah bisa berjalan atau duduk tanpa bantuan.

Pada hari yang sama ketika mereka pulang dari rumah sakit, Hugo berusaha menyandarkan dirinya di sebuah sofa.

“Dia berbalik dan berjalan delapan langkah, yang membuktikan bahwa para dokter salah,” katanya.

Hugo tidak hanya berjalan, tapi juga berlari.

Helene kemudian hamil anak keempat. Dia adalah seorang anak perempuan, dan ini memberi harapan bagi mereka, sebab anak sulung mereka yang juga perempuan, memiliki kesehatan yang baik. Helene juga diberi tahu bahwa gejala yang dialami Wilhelm dan Hugo (seperti epilepsi) hanya berdampak pada anak laki-laki.

Emma lahir pada 24 Januari 1994. Baru 30 menit setelah lahir, dia mengalami kejang.

'Lotre alam yang kejam'

Selama beberapa tahun berikutnya, Emma tumbuh menjadi anak yang jail dan suka membuat orang tuanya tertawa. Seperti Hugo, dia sangat menyukai binatang.

Terlepas dari kondisi yang dialami anak-anak mereka, termasuk autisme, gangguan tidur serta epilepsi, kehidupan keluarga ini tetap berjalan baik, seperti yang biasa terjadi pada banyak keluarga dengan anak-anak yang menderita penyakit kronis yang tidak terdiagnosis.

Begitu pula dengan upaya mereka mencari jawaban. Helene dan Mikk bertanya-tanya, apa penyebab keseluruhan yang menghubungkan semua gejala yang menyerang Wilhelm, Hugo, dan Emma?

Keluarga tersebut bertemu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit Great Ormond Street di London, Inggris dan Universitas John Hopkins di Baltimore, Maryland. Dokter tidak dapat mengungkap apa yang terjadi, dan menggambarkan kondisi anak-anak tersebut sebagai "lotere alam yang kejam".

Kemudian Wilhelm menginjak usia 12 tahun, di mana kondisinya mulai memburuk.

Kini muncul kekhawatiran baru: demensia pada masa kanak-kanak. Dia lupa caranya mengendarai sepeda. Dia mendekati jelatang tanpa menyadari risikonya. Mengerjakan pekerjaan rumah terasa seperti pertempuran. Dan meskipun sebelumnya dia bermain dengan Hugo dan Emma seperti seorang kakak laki-laki, dia mulai bermain dengan mereka seolah sebaya.

Ketika suatu hari Wilhelm tidak mengenali neneknya, Helene menyadari bahwa anaknya mengalami kemunduran.

Di Austria, Wilhelm menjalani perawatan spesialis dengan izin dari komite etika medis negara tersebut.

Pada 1997-98, tim peneliti Perancis-Swiss menyelidiki apakah ketiga bersaudara tersebut mungkin menderita penyakit mitokondria. Helene dan anak-anaknya menjalani pengurutan DNA, tetapi tidak ditemukan jawabannya.

Keluarga tersebut mungkin akan mendapatkan hasil yang berbeda jika mereka menjalani prosesnya saat ini: Proyek Genom Manusia, yang bertujuan mengidentifikasi urutan semua basis DNA untuk mendapatkan "cetak biru genetik" manusia, yang diluncurkan pada tahun 1990.

Proyek yang selesai pada 2003 itu telah berkembang secara radikal, dan meningkatkan pemahaman kita mengenai bagaimana penyakit baru terbentuk.

Menurut Gahl, pengujian exome, yang secara khusus mengamati pengkode protein suatu genom (yang merupakan 2% dari keseluruhan genom), sangat membantu.

Namun pada tahun 1990-an, pengurutan genom yang ada masih terlalu primitif untuk bisa membantu Wilhelm. Pada saat dia berusia 15 tahun, tampak jelas bahwa dia tidak akan bisa pulih. Dia dibawa pulang untuk menjalani perawatan paliatif dengan dukungan tim perawat.

Wilhelm meninggal pada 2 September 1999, pada usia 16 tahun. Otopsi juga tidak mampu menjawab penyebab kematiannya secara jelas.

Ilustrasi penyakit misterus

Sumber gambar, GETTY IMAGES

Setelah kehilangan Wilhelm, Helene dan Mikk menghadapi banyak tantangan baru.

Si bungsu, Emma, mengalami koma pertamanya, tiga minggu setelah pemakaman Wilhelm. Mereka yakin bahwa Emma tertular virus. Dia berhasil pulih, tapi terus mengalami koma pada bulan-bulan berikut, hingga dokter menyatakan tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Emma meninggal di rumahnya pada 20 Desember 2000 pada usia enam tahun, dikelilingi oleh orang-orang yang dicintainya.

Tidak sampai dua tahun kemudian, pada 8 Desember 2002, keluarga itu kehilangan Hugo tepat sebelum ulang tahunnya yang ke-11. Dia menderita masalah paru-paru dan komplikasi epilepsi.

Ketika kesehatan Hugo menurun, ayahnya memohon kebaikan hati sebuah perusahaan konstruksi lokal. Mereka sepakat untuk memarkir alat penggali mereka di luar jendela Hugo. Sambil membawa ranselnya yang berisi larutan infus, Mikk mengajak Hugo keluar untuk mengemudi dan menggali bersama.

Sama seperti Emma dan Wilhelm, kata-kata terakhir Hugo kepada Helene adalah, “Terima kasih, Ibu”.

Tidak ada satu pun dari ketiga anak tersebut yang pernah didiagnosis penyebab yang menjelaskan kondisi mereka, atau mengidentifikasi hubungan di antara kondisi mereka.

Sekali lagi, seandainya mereka dilahirkan belakangan, mereka mungkin akan mengetahui lebih banyak hal.

Pada tahun 2023, ribuan anak dengan gangguan perkembangan parah di Inggris akhirnya didiagnosis, melalui penelitian yang menemukan 60 penyakit baru.

Di AS, Jaringan Penyakit yang Tidak Terdiagnosis – sebuah konsorsium yang terdiri dari 12 tim peneliti dan pusat klinis di seluruh negeri – juga berupaya memecahkan misteri medis ini.

Pada 2018, hanya dua tahun setelah didirikan, konsorsium tersebut telah mengidentifikasi 31 sindrom baru dan telah mendiagnosis 132 pasien.

Mereka telah mengevaluasi lebih dari 2.220 pasien dan berhasil mendiagnosis 676 di antaranya. Upaya ini telah menggambarkan total 53 kondisi baru.

Namun masalahnya ada pada pendanaan untuk upaya semacam ini. Dukungan finansial untuk Jaringan Penyakit Tak Terdiagnosis dari National Institutes of Health Common Fund akan berakhir pada tahun ini.

Helene mengakui bahwa diagnosis secara menyeluruh mungkin tidak cukup membuat anak-anaknya tetap hidup. Namun, dia yakin bahwa hal itu setidaknya bisa memperjelas apa yang terjadi pada tubuh mereka.

Selain itu, kata Jewitt, diagnosis dapat “membuka pintu” meskipun hanya untuk “hal-hal sederhana seperti mengajukan permohonan ke badan amal untuk mendapatkan dukungan”.

Setelah kematian anak-anak mereka, Helene dan Mikk memfokuskan perhatian mereka pada penggalangan dana dan meluncurkan badan amal Wilhelm Foundation.

Mereka merasa frustasi karena kurangnya kolaborasi antardokter di seluruh dunia yang merawat anak-anak mereka.

Menyadari hal itu, ditambah tantangan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga di negara-negara berpengasih menengah dan rendah (seperti akses terhadap sumber daya), pada tahun 2014 mereka mengumpulkan para ahli terkemuka untuk menghadiri kongres dunia mengenai penyakit yang tidak terdiagnosis. Pertemuan tahunan itu berlanjut hingga kini.

Wilhelm, Hugo, dan Emma semuanya meninggal menjelang Natal, dan ini terus menjadi masa yang sulit bagi Helene dan Mikk. Emma sangat menyukai perayaan. Dia selalu mengatakan bahwa dia ingin mengecat janggut Santa dengan warna biru, warna kesukaannya.

Pada hari-hari terakhirnya dalam keadaan koma, Emma dikunjungi oleh Sinterklas berjanggut biru. Helene yakin dia mendengar Emma mengeluarkan suara gembira merasakan Santa memasuki ruangan.

“Atau mungkin, itulah yang ada dalam pikiran kami.”

Dua tahun lalu, Helene dan Mikk didekati oleh ahli genetika diagnostik terkemuka yang percaya bahwa anak-anak mereka mungkin mengidap penyakit baru.

Pasangan tersebut telah mengirimkan sampel genetik untuk pengurutan seluruh genom. Sayangnya, sudah terlambat untuk membantu Wilhelm, Hugo atau Emma.

Namun masih ada waktu, kata mereka, untuk memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari tentang keluarga mereka untuk menyelamatkan nyawa anak-anak lain di dunia ini.

Versi bahasa Inggris dari artikel berjudul The painful puzzle of diseases that have no name dapat Anda simak di BBC Future.