Putusan Mahkamah Konstitusi: 'Ayah atau ibu kandung yang mengambil paksa anak bisa dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP' – Polisi diminta tidak ragu ambil tindakan

Sumber gambar, BBC Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP terkait pengambil paksaan anak yang belum cukup umur oleh ayah atau ibu kandung dari kekuasaan hak asuh yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Walaupun tidak dapat mencampuri masalah laporan penggugat yang ditolak kepolisian, MK menyatakan seharusnya polisi "tidak ragu" untuk mengambil tindakan.
Permohonan atau gugatan ini sebelumnya diajukan oleh lima ibu tunggal yang anaknya 'diculik' oleh mantan suami mereka.
Dan ketika para ibu ini melaporkan penculikan tersebut ke polisi, ditolak dengan alasan yang mengambil paksa adalah ayah kandung dari anak sehingga tidak bisa dipidana.
Akibatnya selama bertahun-tahun mereka tak tahu di mana keberadaan buah hatinya.
Itu sebabnya dalam gugatan tersebut para pemohon ingin agar Pasal 330 ayat 1 KUHP yang memiliki frasa 'barang siapa' diubah menjadi 'setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak'.

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Tafsir MK: Ayah atau ibu kandung yang mengambil paksa anak bisa dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP
Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Kamis (26/09), menolak permohonan penggugat.
Alasan MK, Pasal 330 ayat 1 KUHP telah memberi perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil.
Ini sesuai dinyatakan dalam Pasal 28B ayat 2 dan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945.
Sebab frasa 'barang siapa', menurut tafsir Mahkamah, sudah mencakup setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.
"Bahwa frasa barang siapa dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP merupakan padanan kata dari bahasa Belanda 'hi die' yang banyak digunakan dalam rumusan KUHP yang menunjuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana," ujar Hakim MK Arief Hidayat.
"Bahwa subjek hukum yang menjadi sasaran norma menggunakan frasa 'barang siapa' seperti dalam ketentuan Pasal 330 ayat 1 KUHP... tidak memberikan limitasi, pengecualian atau kualitas terhadap orang sebagai subjek hukum," sambungnya.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Baca juga:
Selain itu, menurut Mahkamah, merujuk pada UU KUHP yang baru dan akan berlaku pada Januari 2026 nanti, rumusan Pasal 330 ayat 1 telah diperbaiki melalui penggunaan frasa 'setiap orang'.
MK juga menyatakan dalam hal perbuatan dari orang tua kandung anak bukan pemegang hak asuh melakukan pengambil paksa dan menguasai anak "dapat dianggap merupakan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana".
Sehingga meskipun yang mengambil anak adalah orang tua kandung, jika dilakukan secara paksa tanpa hak/izin maka tindakan tersebut "termasuk dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP".
"Artinya jika pengambil anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki izin hak asuh atas putusan pengadilan dilakukan tanpa sepengetahun dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dengan disertai paksaan atau ancaman maka tindakan itu dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat 1 KUHP".
Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah ajukan 'pendapat berbeda'
Namun demikian pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut datang dari Hakim Konstitusi, M Guntur Hamzah.
Ia menyatakan MK semestinya mengabulkan untuk sebagian permohonan para pemohon dengan memberikan tafsir norma Pasal 330 ayat 1 KUHP sepanjang frasa 'barang siapa' bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung'.
Sehingga pasal yang diuji ini akan berbunyi:
"Setiap orang dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".
MK: Penyidik Polri jangan ragu terima laporan
Dalam bagian lain putusannya, MK menanggapi persoalan para pemohon yang ditolak laporannya oleh polisi.
Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menilainya.
Namun, jika mencermati penegasan MK dalam pertimbangan hukum di atas, "seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat 1 KUHP," ujar Hakim MK, Arief Hidayat.
"Dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu."
Kisah ibu yang anaknya diambil paksa mantan suami
Coretan tangan dari bocah berusia enam tahun itu menghampar di setiap sudut apartemen Angelia Susanto.
Gambar mobil Ferarri yang diwarnai krayon hijau menempel di pintu kulkas meski sudah lusuh dan koyak di beberapa bagian.
Stiker mobil-mobilan yang dikelir aneka warna, juga dibiarkan menghiasi dinding kamarnya yang bercat putih.
"Ini EJ yang gambar, dia senang menggambar, jadi modal saya buku gambar, spidol, krayon... udah begitu aja bakal anteng," cerita Angelia Susanto sambil menunjuk ke pintu kulkas yang penuh dengan kreasi tangan anaknya.
Di ruang tengah apartemennya, mobil mainan berwarna merah yang sering dipakai EJ keliling kamar masih dibiarkan teronggok bersama beberapa sepeda anaknya.
Tas sekolah, buku gambar, bola basket, pakaian dan segala hal miliknya dibiarkan di tempat semula.
"Semuanya memang saya biarkan seperti dulu, jadi kalau nanti EJ pulang dia masih bisa lihat semuanya masih sama," ucapnya penuh harap.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Enrico Johannes adalah anak satu-satunya Angelia Susanto yang lahir pada 5 Juni 2013.
Tapi empat tahun lalu – tepatnya pada 30 Januari 2020 – Angelia mengeklaim putranya itu diculik oleh seseorang dalam perjalanan menuju sekolah. Angelia menduga orang tersebut adalah ayah kandung EJ.
Setiap kali mengingat peristiwa tersebut, Angelia tak bisa menahan tangis.
Air matanya tumpah, tapi suaranya tersendat. Terasa seperti jeritan seorang ibu yang merindukan sang anak.
"Saya tidak akan lupa seumur hidup saya," ungkapnya sambil menyeka air mata.
"Saya cuma pernah merasakan [kehilangan yang berat] waktu ayah saya meninggal."
"Rasanya saya mau mati saat itu juga, karena satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal."
KDRT dalam pernikahan
Angelia menikah dengan mantan suaminya pada 2001.
Keduanya berkenalan ketika Angelia masih duduk di bangku kuliah. Sementara pasangannya adalah warga Filipina yang kala itu bekerja di Indonesia sebagai IT Specialist.
Meskipun usia mereka terpaut jauh – delapan tahun – Angelia tak mempersoalkan hal itu. Mereka pun menikah di Bogor, Jawa Barat.
Di awal-awal pernikahan, Angelia mengaku hubungannya dengan sang suami berjalan harmonis.
Hingga suatu saat, Angelia ditugaskan ke Singapura pada 2005.
Setahun kemudian, suaminya itu menyusul dan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia, kemudian tak pernah bekerja lagi.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Pada momen itulah, klaim Angelia, masalah di rumah tangganya mulai bermunculan hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun fisik.
Mulanya dia mengaku "menerima saja" perlakuan sang suami karena dianggap pertengkaran biasa yang akhirnya akan "baikan lagi".
Itu kenapa, Angelia mengaku dirinya tak pernah melakukan visum.
"[Pertengkaran] untuk hal-hal kecil, yang saya pikir enggak akan menjadi masalah. Contoh, saya beli tisu dengan merek berbeda dari yang dia mau, bisa berantem."
"Segala barang penempatannya harus dia yang menentukan."
"Kalau marah, agresinya menghancurkan barang, bentak-bentak [saya]. Bodohnya saya tidak pernah melakukan visum dan [dia] kalau pukul di area yang sulit berbekas," klaim Angelia.
Baca juga:
Menurut Angelia, kelahiran putranya, Enrico Johannes, pada 2013, tak juga membuat pertengkaran dan kekerasan yang dialaminya mereda.
Alih-alih, klaim Angelia, ada kejadian dia dipukul saat sedang menyusui.
Angelia juga mengeklaim sang suami melakukan kekerasan psikis terhadapnya.
"Dia seperti mengecilkan harga diri saya dengan membuat saya tidak ada apa-apanya. Dan itu diulang-ulang terus, saya dibuat ketergantungan psikis yang sangat besar,” kata Angelia.
"Itu yang membuat saya berpikir, ini enggak bisa dibiarkan,” sambungnya.
Angelia mengatakan dirinya semakin yakin untuk bercerai karena, menurutnya, kekerasan verbal dan fisik terus berlangsung ditambah tekanan psikis dari suami.
Angelia akhirnya mengajukan permohonan cerai setahun setelah pulang ke Indonesia pada tahun 2015 ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Dia beralasan sudah tak sanggup lagi menanggung kekerasan yang dialami, apalagi sampai membahayakan anaknya.
Akan tetapi, proses perceraian itu tak berjalan mulus sebab suaminya tersebut menolak berpisah jika tak diberikan harta gono-gini yang nilainya mencapai miliaran rupiah, klaim Angelia.
Tak ada pilihan lain, Angelia pun menerima persyaratan tersebut. Bekas suaminya pun akhirnya menandatangani surat persetujuan cerai, kata Angelia.
Pada 24 Oktober 2017, hakim PN Jakarta Pusat mengetok palu: mengabulkan perceraian dan menjatuhkan hak asuh serta pemeliharaan anak kepada penggugat, yakni Angelia Susanto.
Namun, menurut Angelia, mantan suaminya tiba-tiba mengajukan banding bahkan kasasi.
Belakangan semua putusan hukum menguatkan putusan PN Jakarta Pusat yang berpihak pada Angelia.
"Jadi benar-benar selesai itu 7 September 2020 [dengan putusan kasasi Mahkamah Agung]."
Hari terjadinya dugaan penculikan EJ
Putusan cerai Angelia dan suaminya yang dibacakan hakim PN Jakarta Pusat menyebutkan:
"Bahwa... hak asuh anak dijatuhkan kepada penggugat [Angelia Susanto], oleh karena anak tersebut masih berusia balita saat ini ada di bawah asuhan penggugat, maka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan asas kepatutan, hak asuh terhadap anak tersebut diserahkan kepada penggugat dengan ketentuan tidak membatasi hak-hak tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya tersebut dalam waktu tertentu dengan sepengetahuan penggugat."
Seperti apa yang tertulis dalam putusan, Angelia mengaku tak pernah menghambat atau melarang mantan suami bertemu anaknya.
Mereka bertemu tiap pekan atau dua pekan sekali, kata Angelia.
Semua keperluan EJ dipenuhi Angelia, tak ada sepeser pun dari mantan suami, klaimnya.
"Dia sama sekali enggak mau membiayai anaknya, bayarin beli kacamata atau sepeda aja enggak mau," ujarnya geram.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Hingga akhirnya hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Angelia itu terjadi: Kamis, 30 Januari 2020.
Kala itu, Angelia menuturkan bahwa dirinya bangun pagi-pagi untuk menyiapkan perlengkapan sekolah anaknya.
Seperti biasanya, sehari-hari EJ berangkat dengan mobil antar jemput sekolah. Tak ada yang janggal waktu itu, ungkap Angelia.
"EJ cium saya dan bilang, 'Mama I go, I love you...' dan saya bilang hal yang sama, ‘I love you too, be good’. Terus dia berangkat, saya ke kantor."
Siang harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, Angelia mengaku mendapat telepon dari sopir mobil jemputan putranya. Sang sopir bertanya: “Mama EJ, EJ ada di mana?”
Baca juga:
Semula Angelia mengira pertanyaan itu hanya bergurau. Namun ketika sang sopir mempertegas bahwa EJ tak ada di sekolah, Angelia langsung kalang kabut.
Pada saat itulah, kata Angelia, si sopir mengeklaim bahwa dia diberhentikan oleh seorang pria berjaket hitam yang mengendarai motor BM (Brigade Motor) di jalan layang non tol Casablanca, Jakarta Selatan.
Si sopir, kata Angelia, dituduh melanggar lalu lintas oleh pria tersebut – yang dikira sebagai petugas polisi karena meminta si sopir menyerahkan SIM, STNK dan KTP.
Berdasarkan keterangan sopir kepada Angelia, ketika sopir sedang repot dengan pria tersebut, tiba-tiba sebuah mobil datang dan berhenti persis di depan kendaraan jemputan.
Seorang pria turun dari mobil dan langsung mengambil EJ yang duduk di kursi belakang kendaraan jemputan, kata Angelia menirukan pemaparan sang sopir.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Si sopir, kata Angelia, mencoba menghalangi namun dicegah oleh pria berjaket hitam yang dikira sebagai polisi tersebut.
"Pak Ujang (nama sang sopir) dengar pria yang mengambil EJ teriak mengaku bapaknya EJ dan akan mengantar EJ ke sekolah supaya enggak terlambat,” ujar Angelia.
Sekilas, menurut penjelasan sopir itu, ia melihat EJ sempat berontak ketika dibawa paksa. Tapi tak lama, bocah enam tahun itu sudah duduk dengan kepala bersandar pada sandaran kursi seperti dalam posisi tertidur.
"Karena EJ kelihatan anteng, jadi sopir percaya pria itu bapaknya,” kata Angelia.
"Mereka [pria berjaket hitam dan pria yang mengaku ayah EJ] pergi, dan sopir dilepaskan,” sambungnya.
'Rasanya saya mau mati'
Perempuan paruh baya ini tak bisa lagi menahan diri untuk tak menangis.
Suaranya mulai bergetar. Bicaranya semakin pelan. Sesekali dia mengusap air matanya.
Selama beberapa menit, dia mencoba menenangkan diri, mengatur napas, dan melanjutkan ceritanya. Ia berkali-kali bilang tak akan pernah melupakan hari itu.
Begitu tahu anaknya diduga culik, badannya terasa lemas. Dia menuding mantan suaminya mengambil paksa anak mereka satu-satunya.
"Perasaan saya, rasanya mau mati saat itu juga. Satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal," ungkapnya dengan derai tangis.
"Alasan saya minta cerai, saya mau melindungi EJ. Tapi sekarang dia diambil orang ini dan saya enggak bisa menepati janji melindungi EJ."

Sumber gambar, BBC Indonesia
Tapi Angelia tak diam begitu saja.
Dia pergi ke Kedutaan Besar Filipina untuk mengecek catatan perjalanan mantan suami dan anaknya ke luar negeri. Namun sia-sia, tak ada informasi apa pun.
Ia kemudian melaporkan kejadian dugaan penculikan itu ke Subdit Renakta Polda Metro Jaya dengan Pasal 330 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pengambilan anak.
Hanya saja, klaim Angelia, laporannya tak diterima oleh kepolisian. Polisi justru mengarahkan ke Pasal 76/77 UU nomor 35 Tahun 2014 tentang perlakuan salah dan penelantaran anak.
Segala upaya untuk menghubungi mantan suaminya juga percuma, tak ada yang menjawab, kata Angelia.
Baca juga:
Dari keterangan pihak imigrasi kepadanya, tak ditemukan data lintas mantan suaminta atau EJ keluar Indonesia. Ada dugaan, EJ dibawa kabur tanpa paspor secara ilegal lewat jalur penyelundupan dari Manado-Davao yang sangat berbahaya.
Pada 14 Februari 2020, Angelia kembali melaporkan bekas suaminya itu ke Subdit Jatanras atas dasar penculikan Pasal 328 KUHP. Begitu tahu bahwa yang dilaporkan ayah anaknya, kata Angelia, polisi terkesan mengabaikan.
"Begitu tahu ini bapaknya, dianggap enggak mungkin, dianggap enteng. Jadi sampai sekarang enggak ada tindak lanjut," kata Angelia.
Hampir tiga tahun setelah Angelia melaporkan dugaan penculikan putranya ke Subdit Renakta Polda Metro jaya, akhirnya polisi menetapkan mantan suaminya sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 11 Juli 2023.

Sumber gambar, BBC Indonesia
Akan tetapi, hingga detik ini, tak ada satu pun petunjuk terkait keberadaan putranya EJ.
Bayangan EJ yang ketakutan kala melintas “jalur tikus” dan berbahaya menuju Filipina selalu muncul di benak Angelia.
“Dia pasti nangis-nangis cari mamanya setiap malam. Orang tua seperti apa yang tega, anaknya nangis cari mamanya dan dibiarkan");