Kisah orang tua yang memutuskan hubungan dengan anak mereka, 'rasanya seperti mati'
Megan Carnegie
BBC Worklife

Sumber gambar, Getty Images
Banyak anak yang memutuskan hubungan dengan orang tua mereka karena konflik. Namun, sangat jarang ada orang tua yang memutuskan hubungan dengan anak mereka. Ketika itu terjadi, rasanya sangat kesepian.
Sudah lebih dari setahun Helen tidak berbicara dengan putranya. Terakhir, dia mendengar kabar putranya sedang dipenjara.
Usia putranya sekarang 31 tahun dan sudah kecanduan opioid selama lebih dari satu dekade.
“Dia mencoba menelepon saya, mungkin untuk meminta uang, dan saya masih belum mengangkat teleponnya,” kata Helen, yang tinggal di Inggris.
"Saat ini, itu adalah keputusan yang tepat bagi keselamatan dan kewarasan saya."
Sebagai pengasuh putri kecil putranya, fokus Helen adalah menyediakan lingkungan yang penuh kasih dan aman untuk cucunya tumbuh dewasa.
Helen mengingat putranya sebagai anak yang impulsif dan destruktif, tetapi dia juga memiliki selera humor jahil dan hati yang baik.
Dia bingung, ketika putranya remaja, “perilakunya berubah menjadi kasar, dan dia mulai mengunci diri di toilet selama berjam-jam”.
“Ketika saya menegur, dia mengatakan saya yang gila, saya yang menggunakan narkoba. Terkadang, saya ingin tertawa, konyol sekali.”
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Ketika mengetahui anaknya menggunakan heroin, Helen tidak tahu harus melakukan apa dan cerita kepada siapa. Putranya kadang menghilang selama berhari-hari dan kembali lagi dengan segala macam luka.
Ketika di rumah, putranya menjadi orang yang tak menyenangkan.
“Dia tidak pernah memukul saya, tetapi sering menghancurkan flat kami ketika marah. Masih ada lubang di koridor yang dia tendang,” kata Helen.
Gaji yang didapatkan Helen dari pekerjaannya, dibayarkan tunai. Namun, gaji itu dicuri oleh putranya. Helen diam karena takut putranya jadi kasar, tapi dia mulai memindahkan uangnya ke tas pinggang.
“Saya bilang gaji saya langsung masuk ke rekening agar bisa mendapatkan peringkat kredit yang lebih baik,” katanya.
Helen akhirnya merasa tidak aman tinggal dengan pecandu, dan memutuskan kontak dengan putranya.
Hubungan antara orang tua dan anak mereka diharapkan berlangsung seumur hidup, sebuah ikatan penuh kasih yang bisa bertahan dari pasang surut apa pun.
Namun bagi sebagian orang tua, menjaga hubungan ini bisa jadi sulit. Akhirnya, orang tua mungkin merasa mereka tidak sanggup lagi, sehingga memilih untuk menjauh dari perannya.

Sumber gambar, Getty Images
Di dunia yang semakin terpolarisasi, perbincangan tentang anak-anak yang memutuskan hubungan dengan orang tuanya sudah menjadi hal biasa.
Namun yang terjadi juga sebaliknya, meski wacananya lebih jarang.
Mungkin juga karena data yang menunjukkan orang tua yang memutuskan hubungan dengan anak-anak mereka lebih jarang.
Studi tahun 2015 yang dilakukan oleh badan amal Inggris Stand Alone menunjukkan 5% orang tua yang terasing dari anaknya, memang mengawalinya sendiri.
Keputusan memutuskan hubungan dengan anak sulit dan menyakitkan. Mereka yang melakukannya pun mengatakan bahwa situasi ini langka, sehingga mereka merasa terisolasi, dan semua ini diperburuk dengan stigma.
Masalah dalam 'cinta tanpa syarat'
“Baik dalam penelitian maupun budaya populer, kita jarang mendengar cerita dari orang tua yang mengasingkan diri dari anak-anaknya karena hal itu sangat tabu. Hanya ada sedikit tempat yang tidak menghakimi untuk berbicara secara terbuka tentang pengalaman tersebut,” kata Lucy Blake, dosen senior psikologi di University of the West England, Bristol, yang memiliki spesialisasi dalam keretakan hubungan.
Alasan orang tua mengakhiri hubungan dengan anak mereka serupa dengan alasan anak memutuskan hubungan orang tua mereka.
Menurut Blake, yang paling sering dikutip adalah konflik keluarga, perbedaan nilai pribadi (seperti keyakinan agama), penyalahgunaan narkoba, dan perilaku buruk lainnya.
Riset Stand Alone menunjukkan putusnya hubungan dengan anak laki-laki paling sering dilaporkan karena masalah yang terkait dengan perceraian, mertua, dan pernikahan.
Sementara dengan anak perempuan, masalah kesehatan mental dan kekerasan emosional lebih umum terjadi.
Namun, keputusan untuk berpisah dengan anak-anak ini cenderung jauh lebih sulit. Secara sosial, orang tua diharapkan untuk menyayangi dan merawat anaknya tanpa kecuali.
“Kita punya harapan yang sangat tinggi, hampir mendewakan orang tua, di mana kita ingin mereka mencintai tanpa syarat,” kata Blake.
“Problematis, karena anggapan itu membuat orang tua seperti harus menerima perlakuan apa pun, termasuk kalau diperlakukan buruk secara psikologis dan finansial."
Mungkin inilah sebabnya, bahkan ketika anak menyakiti mereka, orang tua berjuang untuk merelakan.
Jennifer Storey, seorang dosen psikologi di Universitas Kent, Inggris, yang berspesialisasi dalam kekerasan antarpribadi, menemukan bahwa dalam sebagian besar wawancaranya dengan orang tua yang diperlakukan buruk, mereka masih khawatir dan memikirkan anak-anak mereka.
“Saya sulit mengingat ada orang tua yang benar-benar ingin putus hubungan dengan anaknya – mereka hampir selalu ingin hubungan berlanjut, tetapi perlakukan buruk berakhir,” kata dia.
Mungkin juga sulit bagi mereka dan orang-orang di sekitar mereka untuk menerima kenyataan yang terjadi.
“Orang tua dianggap memiliki semua kekuatan, tetapi seiring bertambahnya usia anak, dinamika kekuatan itu bergeser,” kata Amanda Holt, penulis buku Adolescent-to-Parent Abuse: Current Understanding in Research, Policy and Practice.
"Kurangnya kepercayaan bahwa kekerasan terhadap orang tua oleh anak dapat terjadi, atau bahwa bisa sampai sangat buruk sehingga orang tua harus pergi, adalah alasan lain mengapa begitu sulit untuk memutuskan hubungan."
"Hipotesis pertaruhan antargenerasi" mungkin juga sedang terjadi. Teori ini menunjukkan orang tua biasanya lebih banyak terlibat – secara emosional, finansial dan fisik – dalam hubungan orang tua-anak, daripada anak-anak mereka.
Ikatan positif yang lebih besar dengan anak-anak dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan orang tua, kualitas hidup yang lebih baik, dan gejala depresi yang lebih rendah.
Ikatan positif yang lebih besar dengan orang tua tidak menjamin manfaat yang sama.
Ini berarti bahwa pilihan orang tua untuk memutuskan kontak dengan anak, baik secara tiba-tiba atau bertahap, tidak hanya berarti kegagalan.
“Menjadi orang tua adalah peran dan identitas yang dihormati dan dikagumi – juga mengubah hidup dan seumur hidup,” kata Blake.
“Ketika orang tua tidak punya hubungan yang aktif dengan anak mereka, mereka mungkin merasa gagal, merasa sakit dan malu sekali, mengubah atau mengonfrontasi cara orang tua berpikir tentang diri mereka sendiri.”
Mengingat elemen-elemen ini, mungkin lebih sulit bagi orang tua untuk memutuskan ikatan.
“Pasti rasa sakitnya berbeda, karena bagi orang tua, ada kemungkinan hidup mereka tampak lebih hampa atau kurang bermakna,” kata Blake.
Akibatnya, banyak yang akan kehilangan persahabatan dan hubungan dengan anggota keluarga lainnya.
“Kehilangan dan rasa sakit yang menyertai keterasingan menyentuh banyak aspek-aspek kehidupan yang berbeda,” kata Blake.

Sumber gambar, Getty Images
Keruh dan kacau
Dalam beberapa kasus, seperti Helen, keputusan untuk memutuskan kontak jelas dibuat oleh satu pihak. Tetapi sumber keterasingan antara orang tua dan anak seringkali lebih membingungkan.
Jack, yang tinggal di AS, menikah dengan istrinya selama hampir dua dekade. Mereka dikaruniai empat anak.
Saat perceraian, putri bungsu mereka berusia satu tahun. Ketika mantan istrinya menikah lagi, katanya, anak bungsunya lebih akrab ke ayah tirinya daripada dia.
Seiring anak perempuannya bertambah usia, dia tampaknya tidak menikmati waktu bersama Jack.
Kata Jack, dia mulai menyerah ketika putrinya berusia 14 tahun. Setelah bertengkar tentang jam malam, putrinya memberi tahu Jack bahwa dia membenci akhir pekan bersamanya, dan menelepon ibunya untuk mengantar ke acara yang ingin dia hadiri.
“Saya mengirim e-mail kepada mantan saya untuk mengatakan bahwa tampaknya [putri saya] tidak ingin menghabiskan kunjungan akhir pekan dengan saya. Namun, jika ada perubahan di masa mendatang, dia menyambut putrinya kembali dengan tangan terbuka,” kata Jack.
Dia tidak menyalahkan putrinya, tetapi sejak itu dia belum pernah mendengar kabarnya atau melihatnya.
Meskipun pada awalnya putrinya memutuskan kontak, Jack tidak merasa perlu untuk menghubunginya kembali secara langsung.
“Semakin lama hubungan ini berakhir, semakin berkurang kebutuhan saya untuk membangun kembali hubungan ini. Rasanya seperti saya sudah mati, dan saya sudah ikhlas,” katanya.
“Pada tahap hidup saya ini, dengan tingkat kenyamanan yang saya nikmati dalam hubungan yang saya miliki, saya ragu akan tertarik menghabiskan waktu membangun hubungan yang bermakna dengannya, belum lagi drama yang akan terjadi,” kata Jack.
Kisah Jack mencerminkan realitas suram keterasingan orang tua-anak: tidak selalu jelas siapa yang menjauhi siapa.
Putrinya menegaskan ketidaktertarikannya, tetapi Jack-lah yang awalnya mengusulkan agar mereka berhenti bertemu.
Ini bukan situasi yang tidak biasa, kata para ahli: "Untuk beberapa orang tua yang terasing, tidak ada jawaban yang jelas tentang siapa yang memulai, dan ini cukup berantakan," kata Blake.
Ketika ditanya siapa yang memprakarsai kerenggangan (dengan pilihan “mereka yang melakukannya”, “saya yang melakukannya”, “kami memutuskan kontak satu sama lain” dan “saya tidak yakin”), 10% responden dalam studi komunitas Stand Alone memilih satu atau lebih tanggapan, menunjukkan bahwa arahnya tidak selalu jelas.
Keterasingan juga tidak selalu berupa keadaan yang permanen atau statis. Bergerak melalui periode pengasingan dan pertemuan kembali adalah hal biasa, terutama, seperti yang ditemukan Stand Alone, untuk para ibu dan anak perempuannya.
Ini juga terjadi pada banyak orang tua yang anaknya kecanduan. Sebuah studi di Swedia pada 2020 lalu menunjukkan orang tua dari pecandu narkoba dewasa tetap berharap rekonsiliasi.
Sebagian karena mereka dapat melihat anaknya sebagai dua orang yang berbeda: satu sadar, dan satu di bawah pengaruh narkoba. Jika sudah tidak di bawah pengaruh narkoba, hubungan bisa berlanjut.
Helen pun sebenarnya telah memutuskan kontak dengan putranya beberapa kali. Mereka telah melewati periode keterasingan dan rekonsiliasi selama bertahun-tahun.
Namun, untuk saat ini, Helen tidak berhubungan dengan putranya – dan tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Jika dia bisa menunjukkan komitmennya untuk tetap bersih dan keluar dari penjara, mungkin saya ingin dia kembali dalam hidup kami,” kata dia.
"Tapi saya tidak tahu bagaimana saya bisa mempercayainya lagi, apa lagi untuk merawat si kecil."
'Cobaan berat'
Bahkan bagi orang tua yang teguh memulai perpisahan, kenyataan sehari-hari yang harus mereka hadapi jauh dari kata mudah.
“Diatur melalui ikatan biologis, hukum, dan sosial, ada keterikatan yang sangat mendalam dengan seorang anak,” kata Holt.
“Sedemikian rupa sehingga jika orang tua pergi, hubungan itu mungkin hilang, tetapi ikatan itu tetap ada. Akan sangat sulit meninggalkan semua itu.”
Banyak orang tua merasa dipermalukan dan disalahkan atas keputusan mereka, sehingga mengarah pada isolasi akut, dan putusnya jaringan sosial mereka, bahkan di luar kerabat.
“Mereka punya sangat sedikit [orang] yang dapat diajak bicara, yang akan menunjukkan kasih sayang dan pengertian,” kata Blake.
“Mungkin ada ruang untuk berbicara tentang perasaan sedih dan kehilangan, tapi ketika itu sudah tidak ada, orang-orang diharapkan untuk mengatasinya dan melanjutkan hidup.”
Jack berdiskusi dengan teman-teman yang tidak memahami hubungannya dengan putrinya dan mereka mengatakan tidak akan pernah bisa memutuskan hubungan darah.
“Bagi saya, hanya karena seseorang memiliki hubungan darah tidak berati dia punya hak untuk memperlakukan orang lain dengan buruk,” kata dia.
Kasih sayang dan ruang untuk berbicara mungkin sangat penting pada saat-saat tertentu sepanjang tahun – dan kerangka waktu ini berbeda untuk setiap orang tua.
Luka terasa lebih sakit khususnya selama liburan, menurut Stand Alone, 90% orang yang diasingkan dari anggota keluarga menganggap musim liburan sangat menantang.
Sementara, 85% merana melewati hari ulang tahun dan 81% merasa sulit berada di sekitar keluarga lain.
Bagi Helen, dia merasa sering termenung jelang Natal dan dia menunjukkan lampu Natal pada cucunya. Kegiatan ini sering dia lakukan dengan putranya, dan dia berharap mereka dapat melakukannya bersama lagi.
“Saya adalah satu-satunya sekoci yang dia miliki, sehingga pilihan saya untuk menjauh tidak pernah menjadi lebih mudah,” kata Helen.
Dia merasa beruntung putrinya sangat if, dan enam bulan lalu, Helen pindah lebih dekat ke rumah putrinya sehingga mereka dapat bertemu satu sama lain secara teratur.
“Tanpa bantuan dan pengertian dari putri saya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi karena ini merupakan cobaan yang sangat berat,” katanya.
“Yang terbaik yang dapat saya lakukan adalah menjaga diri saya dengan baik, sehingga saya dapat melakukan hal yang sama untuk orang lain – saya mencoba menerimanya hari demi hari.”
____________________
Anda dapat membaca versi asli tulisan ini di BBC Worklife dengan judul The parents who sever ties with their children