Gambar menunjukkan area pesisir yang tenggelam di Jakarta Utara, Indonesia

Kota-kota yang tenggelam: Dari Jakarta hingga Lagos—dan bagaimana Tokyo mengatasinya

"Rumah ini sudah ‘tenggelam’ sejak lama," kata Erna. Jika Erna berdiri di teras rumahnya sekitar 22 tahun yang lalu, jendela depan "setinggi dadanya". Tapi sekarang, jendela itu hanya setinggi lutut.

Rumah Erna berada di Penjaringan, Jakarta Utara. Wilayah ini merupakan daerah paling terdampak dari Jakarta—salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia.

Tinggi lantai rumahnya kini lebih rendah dari jalan. Jika hujan deras melanda, banjir bakal mengalir ke dalam rumah.

Erna tumbuh di Penjaringan. Pada masa kecilnya, perempuan yang kini berusia 37 tahun itu mengingat hiruk-pikuk pelabuhan dan orang-orang yang beribadah di Masjid Waladuna. Kedua bangunan itu kini telah lama hilang dan terendam air menjadi lautan.

Dinding rumahnya, yang dibangun pada 1970-an, tampak retak. Tinggi lantai tiap ruangan rumah Erna tak rata akibat urukan semen, yang menjaga rumah itu agar tak tenggelam. Ruang tengah, misalnya, sekitar 20 cm lebih tinggi dari kamar tidur.

Selama lima dekade terakhir, setidaknya sudah 10 kali Erna meninggikan sebagian lantai rumahnya dengan semen. Salah satu ruangan bahkan sudah ditinggikan hingga satu meter sejak pertama dibangun.

Meski sudah diuruk, rumah itu tetap saja amblas. Namun, Erna terjebak di situ. Dia tidak mampu pindah atau membeli rumah baru.

Erna dan ibunya, Soni, harus menguruk lantai rumahnya dengan semen beberapa kali.

Daerah tempat Erna tinggal adalah satu dari puluhan wilayah pesisir di dunia yang paling rentan tenggelam, menurut studi dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU) di Singapura. Tim peneliti mengkaji penurunan muka tanah di 48 kota pesisir di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.

Kota-kota tersebut adalah daerah pesisir yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim dan penurunan muka tanah.

Berdasarkan data studi NTU dan data populasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), BBC memperkirakan nyaris 76 juta orang tinggal di area yang ‘tenggelam’ dengan rata-rata 1 cm atau lebih per tahun sejak 2014 hingga 2020.

Efek dari penurunan muka tanah pun dapat berbahaya, seperti amblasnya jalan raya di Tianjin, di sebelah tenggara China, yang menyebabkan evakuasi 3.000 penduduk yang tinggal di apartemen dan gedung tinggi di sekitarnya. Wilayah yang sangat terdampak di Tianjin, menurut studi NTU, ‘tenggelam’ hingga 18,7 cm per tahun pada 2014-2020.

Untuk mengetahui wilayah pesisir lainnya yang tenggelam, pilih kota di bawah. Data laju penurunan muka tanah yang paling tinggi digambarkan dengan warna hijau dalam peta di setiap kota, berikut dengan penjelasan penyebabnya.

Laju penurunan ini dihitung dari titik yang paling stabil. Penjelasan lebih detail bisa dibaca di bagian metodologi.


Gambar cadangan untuk Luanda, Angola Avenida 4 de,Fevereiro Ilha da Cazanga 0 -3.3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Buenos Aires, Argentina Barrio Padre,Mugica Casa Rosada Penurunan muka tanah (cm) 0 -1.5
Gambar cadangan untuk Chittagong, Bangladesh Sandwip Para Pelabuhan,Chittagong Penurunan muka tanah (cm) 0 -9.8
Gambar cadangan untuk Dhaka, Bangladesh Area pemukiman,Basundhara Museum Nasional,Bangladesh Penurunan muka tanah (cm) 0 -3.6
Gambar cadangan untuk Rio de Janeiro, Brasil Rio das Pedras Christ the,Redeemer 0 -6.3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Dalian, China Bandara,Internasional,Dalian Jinzhou,Bay Hongji Grand,Stage Penurunan muka tanah (cm) 0 -16.4
Gambar cadangan untuk Dongguan, China Alun-alun Pusat,Dongguan Nongyuwei 0 -6.5 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Foshan, China Candi Baofeng Beijiaozhen 0 -6.3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Guangzhou, China Distrik Nansha Menara Canton 0 -6.8 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Hangzhou, China Distrik Central,Xiaoshan Candi Lingyin 0 -3.4 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Nanjing, China Subdistrik,Yongning Tembok Kota,Nanjing 0 -2.5 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Qingdao, China Subdistrik,Yinghai, Kota,Jiaozhou Stasiun Qingdao 0 -8 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Shanghai, China Jalan Tol,Yingbin Menara Shanghai 0 -10.3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Suzhou, China Classical,Gardens of,Suzhou Wujiang,Baratdaya 0 -4.8 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Tianjin, China 0 -18.7 Penurunan muka tanah (cm) Bohai Bay Jalan Guwenhua
Gambar cadangan untuk Abidjan, Pantai Gading Distrik East,Abobo St Paul's,Cathedral Penurunan muka tanah (cm) 0 -5.1
Gambar cadangan untuk Alexandria, Mesir Adh Dheraa Al,Bahri Mercusuar,Alexandria Penurunan muka tanah (cm) 0 -2.7
Gambar cadangan untuk Hong Kong, China Tuen Mun Vitoria Peak 0 -10.6 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Ahmedabad, India Masjid Sidi,Saiyyed Piplaj Penurunan muka tanah (cm) 0 -5.1
Gambar cadangan untuk Chennai, India Tharamani Candi,Kapaleeshwarar Penurunan muka tanah (cm) 0 -3.7
Gambar cadangan untuk Kolkata, India Bhatpara Victoria,Material 0 -2.8 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Mumbai, India Gateway of,India Kawasan di,dekat Stasiun,King’s Circle,,Matunga East 0 -5.9 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Surat, India Karanj Surat Diamond,Bourse 0 -6.7 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Jakarta, Indonesia Penjaringan Monumen,Nasional 0 -11.6 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Fukuoka, Jepang Mochimaru,,Distrik Asakura Menara Fukuoka Penurunan muka tanah (cm) 0 -5.7
Gambar cadangan untuk Nagoya, Jepang Kecamatan,Minato Kuil,Atsuta-jingu 0 -1.5 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Osaka, Jepang Kecamatan,Konohana Timur Istana Osaka 0 -7.8 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Tokyo, Jepang Central,Breakwater,,Kecamatan Koto Tokyo Skytree 0 -2.4 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Yangon, Myanmar Kecamatan Dagon,Selatan Pagoda,Shwedagon 0 -7.5 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Lagos, Nigeria Balaikota Lagos Pulau Orange 0 -13.1 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Karachi, Pakistan Kota Landhi Mazar-E-Quaid 0 -15.7 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Lima, Peru Distrik Ancón Alun-alun Pusat,Lima 0 -2.4 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Manila, Filipina Manila Bay Fort Santiago 0 -5.7 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Saint Petersburg, Rusia Lakhta Istana Musim,Dingin 0 -2.9 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Singapore, Singapura Changi Bay Merlion Park 0 -4.6 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Seoul, Korea Selatan Kawasan dekat,dengan Stasiun,Sinjeong,,Distrik,Yangcheon Istana,Kepresidenan 0 -2 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Barcelona, Spanyol Sagrada Familia Pelabuhan,Barcelona Penurunan muka tanah (cm) 0 -7
Gambar cadangan untuk Dar es Salaam, Tanzania Distrik,Kigamboni Monumen Askari Penurunan muka tanah (cm) 0 -3
Gambar cadangan untuk Bangkok, Thailand Monumen,Demokrasi Lam Phakchi,,Nong Chok Penurunan muka tanah (cm) 0 -4.1
Gambar cadangan untuk Istanbul, Türkiye Bandara,Istanbul Hagia Sophia 0 -13.2 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk London, Inggris Raya Big Ben Upminster,Selatan 0 -4 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Houston, Amerika Serikat Central,Southwest Taman Sam,Houston 0 -11 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Los Angeles, Amerika Serikat Tanda Hollywood Coastal San,Pedro 0 -2.5 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Miami, Amerika Serikat Freedom Tower Coconut Grove 0 -2.2 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk New York, Amerika Serikat Breezy Point Central Park 0 -3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Philadelphia, Amerika Serikat Holmesburg Independence,Hall 0 -2.3 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Washington DC, Amerika Serikat Southwest,Washington Memorial,Lincoln 0 -2.2 Penurunan muka tanah (cm)
Gambar cadangan untuk Ho Chi Minh, Vietnam East Nhà Bè Istana,Kemerdekaan 0 -9.5 Penurunan muka tanah (cm)
Baris jeda animasi yang menunjukkan bangunan yang perlahan tenggelam

Bahaya pompa air tanah

“Penurunan muka tanah adalah masalah yang umum ditemukan di banyak kota,” ujar peneliti utama studi NTU, Cheryl Tay.

“Salah satu penyebab utamanya adalah ekstraksi air tanah,” jelasnya.

Air tanah bisa ditemukan di dalam lapisan Bumi, di sela-sela tanah, pasir, dan bebatuan.

Lebih dari separuh rumah tangga di dunia menggunakan air tanah untuk kebutuhan domestik, seperti minum dan irigasi.

Namun dengan tingginya tingkat urbanisasi, ketersediaan air tanah semakin tipis. Ini mendorong banyak rumah dan industri mengebor sumur sendiri untuk memompa air tanah sebanyak mungkin—seperti di Jakarta.

Padahal, mengambil air tanah secara berlebihan dapat menyebabkan tanah menjadi padat dan amblas. Lama-kelamaan, bangunan dan infrastruktur yang ada di atasnya akan ikut turun atau ‘tenggelam’.

“Kota-kota yang mengalami penurunan muka tanah banyak ditemukan di Asia atau Asia Tenggara,” kata Tay.

“Karena kebutuhan air cukup tinggi, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut dan pertumbuhan lainnya.

“Pertumbuhan populasi mengakibatkan tingginya kebutuhan air tanah dan ini akan menimbulkan dampak lainnya… Banjir akan lebih sering terjadi, lebih parah, dan lebih lama di masa depan,” Tay menambahkan.

Intrusi air laut yang “dapat merusak tanah pertanian dan kualitas air minum”, adalah kemungkinan dampak lain.

Beberapa jenis tanah lebih sensitif terhadap penurunan muka tanah. Tanah yang terbentuk dari endapan sedimen air sungai dan banyak ditemukan di wilayah pesisir, cenderung lebih rentan amblas. Ini ditemukan antara lain di pesisir Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, dan Shanghai.

Kini, hampir separuh Kota Jakarta berada di bawah permukaan laut. Jakarta dibangun di atas rawa-rawa, yang dilewati 13 aliran sungai yang bermuara ke laut. Ini membuat Jakarta sangat rentan terhadap penurunan muka tanah.

Kombinasi penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan air laut secara global mempercepat “kenaikan air laut yang terlokalisasi di wilayah-wilayah pesisir”, kata Tay.

“Ada dua komponen: tanah yang turun dan air yang naik.”

Banjir di Jakarta menyebabkan tenggelamnya kawasan perumahan dan perkantoran.

Siklus banjir Jakarta yang biasanya lima tahun sekali bisa menjadi lebih sering karena “curah hujan ekstrem yang meningkat di Indonesia bersamaan dengan meningkatnya suhu permukaan dan konsentrasi gas rumah kaca”, mengutip pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam sesi webinar pada Hari Meteorologi Dunia.

Dalam satu dekade terakhir, banjir di Jakarta telah memakan puluhan korban jiwa dan setidaknya 280.000 orang mengungsi sementara hingga air surut.

Ketika sebagian permukaan tanah Jakarta empat meter lebih rendah dibandingkan tahun 1970, pemerintah Indonesia memutuskan membangun ibu kota baru, Nusantara, di Kalimantan. Jaraknya lebih dari 1.200 km dari Jakarta.

Letaknya jauh dari pesisir. Sumber air ibu kota baru ini akan berasal dari bendungan dan waduk yang dirancang untuk menampung air sungai atau hujan. Air akan dimurnikan dan didistribusikan untuk memasok kebutuhan rumah tangga dan perkantoran.

Ini berarti, tak ada kebutuhan untuk membuat sumur pompa air tanah di Nusantara.

Meski demikian, pembangunan ibu kota baru ini memantik kontroversi dan laju pembangunannya melambat. Beberapa mengkritik bengkaknya biaya yang dibutuhkan—lebih dari Rp500 miliar. Belum lagi dampak lingkungan serta keanekaragaman hayati kawasan tersebut.

Bangunan di Ebute Metta, Lagos, di mana Rukkayat tinggal, tenggelam. Garis putih menunjukkan posisi gedung sebelumnya.

Lima kota yang dikaji oleh NTU berada di Afrika, termasuk Lagos di Nigeria. Tahun lalu, setidaknya 275.000 orang terdampak banjir di kota-kota tersebut.

Rukkayat, 28 tahun, pindah ke Ebute Mette, sebelah timur Kota Lagos, tiga tahun lalu dengan mimpi mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

Namun, dia hanya mampu menyewa rumah di kawasan yang tenggelam—sebuah area yang masuk dalam kajian NTU.

“Sulit sekali untuk tinggal di rumah yang sering kebanjiran, terutama saat hujan deras atau badai,” kata Rukkayat. “Saya harus menyerok air yang menggenang di dalam rumah, ke luar.”

Dinding rumahnya retak, lantainya lembab, dan atapnya bocor—situasi lumrah yang kerap ditemukan di area-area rentan tenggelam.

Baik Lagos maupun Jakarta menghadapi urbanisasi dan pesatnya pertumbuhan populasi, di mana separuh warganya tak punya akses air pipa. Di kota-kota yang penduduknya mengebor air tanah seperti inilah penurunan muka tanah terjadi.

Faktanya, pemompaan air tanah adalah penyebab utama tenggelamnya separuh kota-kota pesisir yang dikaji NTU dan dianalisis BBC. Aktivitas manusia lain, seperti pembangunan infrastruktur dan penambangan, adalah faktor-faktor lainnya.

Selain itu, ada pula faktor alam seperti pergeseran lempeng tektonik, gempa bumi, dan proses alami pemadatan tanah, tetapi dampaknya lebih kecil dibandingkan aktivitas manusia.

Baris jeda animasi yang menunjukkan air mengalir di bawah bangunan penting

‘Efek mangkuk’

Sejumlah solusi dilakukan pemerintah kota-kota pesisir yang mengalami penurunan muka tanah dan naiknya permukaan air laut. Tapi, kerap kali solusi ini hanya sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah. Masalah baru justru bermunculan.

Jakarta, Alexandria, dan Ho Chi Minh, misalnya, membangun tembok dan karung-karung pasir di sepanjang pesisir pantai untuk mencegah banjir dari air laut.

Gambar menunjukkan tembok penghadang air laut di Jakarta
Tembok laut dibangun untuk menghentikan air laut membanjiri permukiman di Jakarta Utara.
Gambar menunjukkan beton di pinggir pesisir Alexandria, Mesir
Alexandria membangun pagar beton untuk melindungi area pesisir dari banjir air laut.

Penghalang ini kemudian terus-menerus dibangun dan semakin tinggi, sehingga menyebabkan munculnya “efek mangkuk”, menurut Prof Pietro Teatini dari Universitas Padova di Italia.

Seperti mangkuk, ketika air hujan mengguyur dan air sungai meluap di kota-kota tersebut, banjir tidak dapat mengalir ke laut karena terhalang tembok atau karung pasir. Ini menyebabkan banjir makin susah surut.

Untuk mengurangi genangan air yang terjebak di dalam “mangkuk”, Jakarta dan Ho Chi Minh membangun sistem pompa air.

Tapi, menurut Prof Miguel Esteban dari Universitas Waseda di Tokyo, pompa tidak menyelesaikan akar masalah dari penurunan permukaan tanah.

Bagaimana Tokyo mengatasi masalah ini

Ketika pemerintah Kota Tokyo menyadari wilayahnya mengalami penurunan muka tanah, mereka menelaah beragam solusi dan memutuskan untuk menyelesaikan akar masalah.

Tokyo mengetatkan aturan pemompaan air tanah yang menyebabkan laju penurunan muka tanah menurun secara signifikan pada 1970-an.

Mereka juga membangun sistem pengelolaan air, sebuah cara yang paling efisien menghentikan laju penurunan permukaan tanah, menurut banyak peneliti.

Kajian NTU menunjukkan, permukaan tanah Tokyo kini jauh lebih stabil. Meski, di beberapa titik, ada area yang tenggelam dengan rata-rata dari 0,01 cm hingga 2,4 cm per tahun sejak 2014 sampai 2020. Titik-titik yang tenggelam adalah lahan reklamasi.

Bagaimana cara kerja sistem pengelolaan air di Tokyo?

Grafis pengelolaan air di Tokyo

Terlepas dari efektifnya sistem pengelolaan air Tokyo, ada keraguan sistem ini dapat diterapkan di kota-kota pesisir negara lain. Pasalnya, butuh biaya tinggi untuk pembangunan dan perawatan sistem tersebut, menurut Prof Miguel.

Meski demikian, dia menambahkan, sejumlah kota di Asia merujuk pendekatan Tokyo sebagai model yang bisa diadopsi.

Ibu kota Taiwan, Taipei, misalnya berhasil mengurangi ekstraksi air tanah pada 1970-an yang menyebabkan berkurangnya laju penurunan muka tanah.

Banyak kota lainnya, seperti Houston, Bangkok, dan London juga secara ketat mengatur pemompaan air tanah untuk memastikan ekstraksi tidak berlebihan.

Grafik yang menunjukkan tingkat penurunan tanah di kota-kota Asia

Sejumlah kota lain mengupayakan beragam metode untuk menyelesaikan masalah ini. Shanghai, misalnya, berhasil menginjeksi air dari Sungai Yantze yang telah dimurnikan.

Air sungai tersebut disuntikkan ke dalam tanah melalui sumur-sumur yang digunakan untuk mengambil air tanah sebelumnya.

Kota lainnya, seperti Chongqing di China dan San Salvador di El Salvador mengimplementasikan kebijakan “kota spons” atau sponge cities.

Alih-alih menggunakan material beton yang tidak bisa menyerap air, di sepanjang ruas jalan dan area terbuka, mereka menggantinya dengan tanah, rumput atau pepohonan.

Pembangunan taman, lahan basah, dan area terbuka hijau pun diprioritaskan. Begitu pula dengan danau dan kolam-kolam yang dapat digunakan untuk menampung air hujan.

Metode ini dipercaya bisa “lebih berhasil dan tahan lama, serta biayanya hanya satu per sepuluh dari membangun bendungan-bendungan besar”, kata Prof Manoochehr Shirzaei dari Universitas Virginia Tech di Amerika Serikat.

Meski, sejumlah pendapat mengkritik bahwa solusi ini tak akan berpengaruh banyak untuk mengurangi laju penurunan muka tanah apabila tidak diterapkan dalam lingkup yang besar.

Dan, apa pun metodenya, perlu juga komitmen politik jangka panjang dari para pemimpin, ujar Prof Shirzaei.

“Penurunan muka tanah akan terus muncul secara bertahap dalam jangka waktu yang lama, sehingga untuk menyelesaikannya, kita harus mengambil langkah yang sulit dan menerapkannya selama beberapa dekade,” katanya.

Termasuk, katanya, pembatasan pompa air tanah yang mungkin tidak populer di kalangan masyarakat yang sudah sepenuhnya bergantung pada air sumur.

Tanpa perubahan, pakar menilai akan ada banyak orang seperti Erna, yang kesulitan bertahan lantaran rumahnya terus amblas dan tenggelam.

Catatan metodologi

Kajian NTU fokus pada kota-kota dan area di sekitarnya yang berjarak tak lebih dari 50 km dari pesisir dengan populasi lebih dari 5 juta orang pada 2020. Para peneliti mengkaji citra satelit dan membandingkan data dari 2014 hingga 2020 untuk mengukur laju penurunan muka tanah.

Laju ini diukur dari titik referensi di setiap kota yang dinilai para saintis cenderung lebih stabil dari titik lainnya. Meski demikian, titik ini bisa juga tenggelam atau meninggi dalam periode tertentu, sehingga wilayah lainnya pun akan mengikuti, bisa saja tenggelam lebih cepat atau melambat dari pengukuran yang ditemukan dalam kajian.

Perbedaan ini dapat memengaruhi estimasi dan analisis BBC soal berapa banyak orang yang terdampak dari penurunan muka tanah.

Maka dari itu, laju penurunan muka tanah di sini merupakan nilai yang relatif, dan hanya digunakan untuk mengidentifikasi area mana di kota-kota pesisir yang cenderung lebih rentan tenggelam.

Baris jeda yang menunjukkan gelombang

Tim produksi

Reporter dan produksi interaktif:Aghnia Adzkia

Liputan dan riset tambahan:Damilola Ojetunde, Leoni Robertson, Swati Joshi, Carla Rosch, Philippa Joy, Rafael Chacon

Desainer:Andro Saini, Arvin Supriyadi

Developer:Ayu Widyaningsih Idjaja, Preeti Vaghela, Matthew Taylor

Editor:Carol Olona, Astudestra Ajengrastri, Nick Ericsson, Alison Gee, Alex Therrien

Foto:Aghnia Adzkia, Joshua Akinyemi, Wienda Parwitasari, Anadolu Agency via Getty Images, AFP via Getty Images, Bloomberg via Getty Images, LightRocket via Getty Images, Getty Images

Bantuan data dan metodologi:Cheryl Tay dari Nanyang Technological University di Singapura, Prof Miguel Esteban dari Waseda University di Jepang, Prof Manoochehr Shirzaei dari Virginia Tech University di Amerika Serikat, Prof Pietro Teatini dari University of Padova di Italia, Laura Pedretti dari University of Pavia di Italia, Robert Nicholls dari University of East Anglia di Inggris, Dr Alejo O Sfriso dari University of Buenos Aires di Argentina, Daniel Melnick dari Austral University di Chili, Gabriel Aller dari Catholic University of Peru, Prof Shuhab D Khan dari University of Houston di Amerika Serikat, Associate Professor Matt Wei dari University of Rhode Island di Amerika Serikat, Tokyo Waterworks Management