Bagaimana kasus George Floyd mengubah pandangan murid-murid di China tentang rasisme

Jasmine Cochrane

Sumber gambar, Alex Leung

  • Penulis, Megha Mohan
  • Peranan, Wartawan gender dan identitas BBC News
Presentational white space

Pembunuhan George Floyd dan aksi unjuk rasa Black Lives Matter di berbagai belahan dunia telah mendorong banyak percakapan yang mungkin tidak pernah terjadi.

Jasmine Cochran, 37 tahun, menyaksikan percakapan itu di sekolah tempatnya mengajar di China.

Kampung halaman Jasmine, Picayune, dinamai berdasarkan koin dalam mata uang Spanyol yang nilainya lebih kecil dari satu penny.

Kota kecil itu sempat populer ketika mata Badai Katrina menghantamnya pada Agustus 2005.

Selama beberapa hari, foto-foto pepohonan yang runtuh di Picayune muncul di beberapa surat kabar nasional.

Namun Katrina menyebabkan kerusakan lebih besar di kota tetangga, New Orleans, jadi perhatian media pun segera teralihkan.

"Picayune secara harfiah berarti 'sesuatu yang begitu biasa saja dan tidak berharga'," kata Jasmine sambil tertawa.

Sebagai perempuan Afrika-Amerika yang tinggal di Deep South, wilayah yang pernah menjadi pusat perbudakan di selatan AS, Jasmine sadar bagaimana orang-orang menilainya.

Di masa kanak-kanak, ketika ia bermain di luar rumah dekat pohon ek, para pria suka memacu kendaraan mereka cepat-cepat ke arahnya, kemudian membanting setir tepat saat mereka akan menabraknya; suara tawa terdengar lantang dari jendela truk mereka.

Ketika pada masa remaja ia bekerja paruh-waktu sebagai kasir di toko swalayan lokal, seorang pelanggan meneriakinya tanpa sebab.

"Kamu lihat cincinnya");