Masyarakat adat Besipae di NTT yang 'digusur' dari hutan adat Pubabu: Anak-anak dan perempuan 'trauma' dan 'hidup di bawah pohon'

Sumber gambar, AMAN
- Penulis, Ayomi Amindoni
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Sejumlah masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melaporkan pengrusakan rumah di tanah adat yang membuat mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian, Rabu (19/08).
Imbas dari pengrusakan yang dilakukan oleh aparat, sebanyak 29 kepala keluarga kini terpaksa hidup beralaskan tikar dan beratap langit.
Insiden yang terjadi pada Selasa (18/08) membuat anak-anak dan perempuan adat Besipae trauma, namun, Pemerintah Provinsi NTT berkukuh apa yang dilakukan oleh polisi adalah "efek kejut", sekaligus menegaskan lahan seluas 3.700 hektare itu akan dimanfaatkan sebagai lahan peternakan, perkebunan dan pariwisata demi kepentingan masyarakat adat.
Kekerasan yang dialami masyarakat adat yang mendiami hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini terjadi sehari setelah baju adat mereka dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75, Senin lalu.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyebut di balik baju adat yang dikenakan presiden adalah "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah.
Akan tetapi pemerintah pusat dan DPR menegaskan komitmennya terkait hak-hak masyarkat adat dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat -yang pembahasannya sudah lebih dari satu dekade.
Berikut yang perlu Anda ketahui tentang konflik lahan masyarakat adat Besipae.
Rumah-rumah digusur dan 'hidup di bawah pohon'
Pada Selasa (18/08) siang, aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP mendatangi masyarakat adat Besipae yang tinggal di Linamnutu, Amunaban Selatan yang terletak di Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT.
Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.
Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus.
"Banyak yang trauma, khususnya anak-anak dan ibu-ibu karena dihadapkan dengan aparat Brimob dan tentara yang datang dengan senjata laras panjang," tutur Nikodemus kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/08).

Sumber gambar, Aliansi Solidaritas Besipae
"Apalagi ketika mereka datang belum ada persiapan relokasi, masyarakat punya rumah itu digusur sehingga masyarakat sementara hidup di bawah pohon," ujarnya kemudian.
Kepada BBC Indonesia, Nikodemus mengaku bahwa rumahnya dirubuhkan pada Kamis (13/08) silam ketika dirinya berada di Kupang. Barang berharga di rumahnya kini tak ada rimbanya.
"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.

Sumber gambar, Aliansi Solidaritas Besipae
"Ada 29 KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon," katanya.
Fadli Anetong, dari Aliansi Solidaritas Basipae mengatakan imbas dari kehilangan tempat tinggal itu, mereka kini tinggal di alam terbuka, beralaskan tikar dan beratap langit.
"Kalau malam mereka tidur di hamparan kosong," jelas Fadli.
"Menjadi kekhawatiran kami, beberapa warga yang tidur di hamparan kosong ini takutnya nanti sakit karena lingkungan di sini sangat tidak sehat, apalagi sampai tidur di luar, kan ada angin malam," imbuhnya kemudian.
Akan tetapi, Humas Pemerintah Provinsi NTT Marius Jelamu berkukuh bahwa apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah "membuat efek kejut" bagi warga yang menolak direlokasi dan melakukan protes dengan berbagai macam cara.
"Karena anak-anak dan perempuan-perempuan ini tidak mau bangun, selalu tidur di jalan dan menghalangi [perubuhan rumah] maka Brimob melakukan shock therapy," jelas Marius.

Sumber gambar, Aliansi Solidaritas Basipae
"Jadi sama sekali Brimob kita tidak melakukan kekerasan, sama sekali tidak. Itu shock therapy dengan menembak peluru kosong ke tanah untuk membuat efek kejut dengan bunyi itu," imbuhnya.
Sejak Februari silam, masyarakat adat yang tinggal di hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini kerap mendapat intimidasi dan diskriminasi dari pihak berwenang, terkait lahan masyarakat adat yang diklaim oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, pengrusakan rumah setidaknya sudah terjadi tiga kali, yakni pada Febuari, Maret dan Agustus.
Apa yang terbaru dari insiden ini?
Masyarakat Adat Besipae kemudian melaporkan pengrusakan rumah yang mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian pada Rabu (19/08).
Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, mengungkapkan selain melaporkan pengrusakan rumah yang mereka alami, masyarakat adat akan menggugat pemerintah daerah terkait sengketa lahan.

Sumber gambar, Ahmad Bumi
"Hari ini [laporan kasus] pidananya soal pengrusakan dan penggelapan barang, kemudian disusul langkah hukum yang berikutnya kita gugat perdata soal lahannya," jelas Ahmad Bumi.
Menanggapi rencana gugatan masyarakat adat terkait sengketa lahan, Humas Pemprov NTT Marius Jelamu mengatakan gugatan itu hanya dilakukan oleh "segelintir orang yang mengklaim itu tanahnya".
"Kita justru senang kalau mereka proses itu secara hukum untuk nanti membuktikan ini lahan siapa, pemerintah atau mereka," tegas Marius.
Apa sengketa lahan di balik insiden penggusuran?
Sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam diawali oleh keengganan masyarakarat adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu.
Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae menjelaskan konflik lahan bermula pada 1982 ketika pemerintah dan Australia bekerja sama dalam peternakan dan penggemukan sapi dengan meminjam lahan masyarakat adat
Setelah kontrak selesai, pengelolaan lahan itu semestinya dikembalikan ke masyarakat adat.
"Dalam perjalanan tidak tahu menahu ceritanya, tiba-tiba lahan itu sudah disertifikat hak pakai dan luasnya tidak tanggung-tanggung, 3.700 hektare," jelas Ahmad.