Pekerja migran Indonesia yang selamat dari ‘neraka’ di Malaysia: 'Mengapa kamu siksa saya"Paulina bercerita, Pulau Manuran yang terletak dekat dengan kampungnya Kabare kini sebagian telah gundul oleh tambang. Bukan hanya itu, terumbu karang dan ikan yang berada di sekitar pulau pun tercemar limbah dari tambang. " loading="lazy" style="aspect-ratio:1920 / 1080" class="bbc-139onq"/>
Akhir dari Paling banyak dibaca

Setiap kali bangun pagi, Meriance hanya memusatkan pikirannya pada satu hal. Bagaimana ia dapat melewati hari itu.
Wajahnya menghitam karena bengkak akibat hantaman sang majikan.
Dia mengatakan hampir sekujur tubuhnya menjadi sasaran penyiksaan.
Namun, dia mengatakan tidak pernah memikirkan rasa sakit yang tak terkira atas kejadian delapan tahun lalu itu.
Yang ada di benak ibu empat anak asal desa terpencil di Nusa Tenggara Timur itu adalah bagaimana caranya bertahan hidup. Wajah anak-anaknya menjadi penguat untuk bertahan.
Pengadilan Indonesia - yang sudah inkrah dari Pengadilan Negeri Kupang sampai Mahkamah Agung - menyatakan dua orang, Tedy Moa dan Piter Boki bersalah karena merekrut dan memperdagangkan Meriance Kabu.
Putusan pengadilan menyebutkan Meriance dikirim sebagai "pembantu rumah tangga untuk Ong Su Ping Serene, yang kemudian menyiksanya" yang menyebabkan dia harus dirawat di rumah sakit.
Meriance direkrut dari Desa Poli di Timor Tengah Selatan, kampung terpencil di Nusa Tenggara Timur.
'Agar bisa kasih uang jajan ke anak-anak'

Desa tanpa aliran listrik ini harus ditempuh lebih dari lima jam melalui jalan berbatu besar dari ibu kota provinsi, Kupang.
Untuk mendapatkan air bersih sekalipun, warga desa harus berjalan jauh.
Meriance memutuskan mengikuti tawaran bekerja ke Malaysia untuk membantu ekonomi keluarga yang ia sebut "sangat-sangat kurang."
Ia mengatakan ingin merantau agar "anak-anak tidak nangis lagi minta makanan atau bisa punya uang jajan seperti anak-anak lain."
Suaminya ketika itu bekerja sebagai tukang batu di proyek-proyek bangunan dengan nafkah tak cukup untuk menghidupi empat anaknya yang saat itu masih kecil-kecil.
Bekerja di negeri seberang bahkan sempat membuatnya berani bermimpi "untuk punya rumah sendiri" suatu saat kelak setelah kembali.
Saat tiba di Kupang setelah direkrut dari desa, harapan Meri untuk hidup lebih baik semakin meningkat. Pihak perekrut, kata Meri, membelikannya baju dan keperluan lain.
Namun mereka juga mengambil telepon selulernya, cerita Meri.
Baca juga:
Suami dan orang tua Meri mengatakan mereka tak ada kontak lagi setelah dia pergi dari desanya.
Mereka tidak mendengar kabar apapun darinya dari awal April 2014 sampai tanggal 24 Desember tahun itu, saat mereka mendapatkan kabar dari petugas Badan Perlindungan Pekerja Migran, yang menyampaikan berita dari KBRI Malaysia.
"Satu hari menjelang Natal saya mendapat kabar," kata Karfinus Tefa, suami Meri.
"Saya sangat terkejut saat mereka menunjukkan foto Meri di rumah sakit. Saya tidak mengenalinya," kata Karfinus.

Saat Meri tiba di Malaysia pada minggu ketiga April 2014, paspornya diambil agen dan diserahkan ke majikan, kata Meriance.
Pejabat KBRI mengatakan kepada BBC, langkah ini adalah praktik yang biasa dilakukan oleh para pelaku perdagangan manusia.
Namun demikian, Meriance masih bersemangat.
Kepala dihantam ikan beku karena salah taruh daging
Ia dijemput Serene dari tempat penampungan yang ia tak ingat di mana.
Ia mengatakan yang ia ingat adalah perjalanan dengan mobil yang cukup lama untuk tiba di rumah majikannya itu.
Ia juga ingat tiba di Johor Bahru, Malaysia, dari Batam dengan menggunakan perahu kayu bersama sejumlah orang, dan dibawa ke tempat penampungan yang sama.
Tugas utamanya adalah "menjaga nenek", ibu sang majikan, yang saat itu berusia 93 tahun.
Selama sekitar tiga minggu pertama, cerita Meri, ia "diajar cara memasak, ihkan rumah, lengkap dengan jadwal berapa lama tugas harus diselesaikan."
Selain nenek, kata Meri, ada teman perempuan Serene yang tinggal di rumah susun itu.

Meriance mengatakan mimpi buruknya dimulai setelah beberapa minggu bekerja.
Ia mengatakan pada suatu malam, setelah pulang kantor, Serene tidak menemukan daging di kulkas. Meriance salah meletakkannya di tempat beku.
Meriance mengatakan Serene memanggilnya dan menghantam kepalanya dengan ikan beku.
Kepalanya berdarah. Dan sejak itu, pukulan demi pukulan ia alami setiap hari, kata Meri, tanpa tahu kesalahannya apa.
Ia takut bertanya karena itu berarti semakin banyak pukulan yang akan ia alami.
'Pernah tubuh ditempel setrika panas... puting susu dijepit tang' - dokumen pengadilan Indonesia
Penyiksaan yang ia alami juga digambarkan dalam putusan pengadilan Indonesia atas dua orang yang dinyatakan bersalah merekrut Meriance.
Dokumen itu menyebutkan, "korban sering mendapat penyiksaan dari majikan menggunakan setrika panas, hamar, pinset, pentungan dan tang."
"Dia dipukul di bagian tangan dan kaki menggunakan hamar, dipukul dengan pentungan pada seluruh bagian tubuh dan bagian wajah hingga tulang hidung patah dan memar."
Satu bagian dokumen menyebutkan Meriance "pernah ditempel ke tubuh dengan menggunakan setrika panas… puting susu dan kemaluan dijepit menggunakan tang lalu ditarik."

Delapan tahun berlalu. Bekas luka terbelah di bibir atas, tulang hidung atas rata karena hancur, lidah terpotong dan telinga yang tak berbentuk, masih terlihat jelas di wajahnya.

Meriance mengatakan selama bekerja ia dilarang keluar. Ia mengatakan majikannya mengancam akan melaporkan ke polisi karena dia adalah imigran gelap.
Pintu jeruji besi rumah susun yang dipasang di depan pintu masuk tempat tinggal majikannya, selalu dikunci.
Empat tetangga yang ditemui pada Oktober 2022 dan tinggal di blok rumah susun yang sama ketika penyiksaan terjadi mengatakan kepada BBC selama delapan bulan itu mereka tak pernah melihat Meriance.
"Saya hanya melihatnya pada malam ia diselamatkan," kata salah seorang tetangga yang tak mau disebut namanya. "Baru ketika itulah, kami tahu, dia (Serene) memiliki pembantu rumah tangga."
Tetangga itu juga mengatakan sempat mendengar "bunyi bising" seperti benda jatuh tapi tak pernah bertanya lebih lanjut.

Meriance mengatakan ia sering demam tinggi karena luka-luka parah yang tidak pernah diobati.
Penyiksaan yang dihadapinya berhenti setelah sang majikan merasa capek memukulnya.
Dengan badan bersimbah darah, kata Meri, ia selalu diperintahkan ihkan cipratan darah di lantai dan di dinding.
Ia sempat terpikir lompat dari lantai tiga, tetapi celah jendela yang kecil serta bayangan wajah empat anaknya yang ketika itu masih kecil-kecil, membuatnya membatalkan niat itu.
"Saya mau melawan, tapi saya ingat, kalau saya melawan saya harus mati. Saya juga ingat anak-anak saya."
Menanti momen yang tepat untuk minta tolong
Satu hal yang paling dia ingat adalah hari di penghujung tahun 2014.
Hari ketika ia melihat dirinya sendiri di kaca.
"Hari itu saya lihat muka saya di kaca kamar mandi, mulut saya sudah terbelah, saya tidak tahan lagi. Saya marah, bukan dengan majikan. Saya marah dengan diri sendiri, saya harus berani keluar dari itu tempat dan saya harus cari cara dengan cara tulis surat."
Ia mendengar tetangga yang lewat di depan unit rumah susun berbicara dengan Bahasa Melayu.
Secarik kertas dan bolpoin diambilnya dari salah satu laci, disimpan di sakunya, sambil menunggu saat yang tepat, setelah selesai memberi makan sang nenek.
"Saya tulis surat itu, saya bilang tolong saya, saya disiksa majikan, saya mandi darah setiap hari, tolong saya. Itu saja yang saya tulis."

Ia kemudian melempar kertas keluar pintu depan melalui jeruji besi ke arah "seorang ibu yang tengah berbicara Bahasa Melayu dengan anaknya."
Ibu itu kemudian membawa kertas itu ke tetangga lain di blok yang sama, seorang polisi. Polisi inilah yang kemudian memanggil bantuan.
"Dia tidak akan bertahan, dia pasti meninggal, bila terlambat ditolong," kata polisi yang sudah pensiun dan tidak mau disebutkan namanya itu.
Malam itu - 20 Desember 2014 - polisi menggedor pintu rumah Serene, tak lama setelah ia pulang kerja.
Serene sempat terkejut, kata Meri, setelah mengintip ada polisi datang.
Meri mengatakan dia diperintahkan oleh majikannya itu untuk bersembunyi di dapur dan berkata kepada polisi bahwa ia luka-luka karena jatuh di kamar mandi.
Jantungnya berdetak keras selama menunggu di dapur. Sampai akhirnya polisi bertanya langsung.
Badannya saat itu panas tinggi dan menggigil karena luka-luka parahnya.
"Saya mau jatuh rasanya. Saya duduk dan polisi bilang, kamu jangan takut karena kami sudah ada di sini."
"Saat itu saya merasa kembali kuat. Saya merasa sudah punya napas. Polisi panggil saya mendekat ke pintu depan…dan baru saya cerita yang sebenarnya."
Ia mengatakan "Tuhan menyelamatkan jiwanya".
Malam itulah, ia keluar dari tempat yang ia sebut "neraka", untuk pertama kalinya.

'Macam mayat berdiri... Tuhan selamatkan saya'
"Saat itu, saya punya muka bengkak, warna hitam muka saya dan telinga saya lebar. Ada bagian yang kering. Muka saya bukan manusia, saya macam mayat yang berdiri di situ."
"Di kantor polisi orang takut lihat saya, ini manusia atau mayat? Mereka tanya, siapa yang bikin orang ini begini");