Kain tipis dan aplikasi untuk melihat bayangan bulan – Cara unik jemaah An-Nadzir tentukan awal Ramadan

Sumber gambar, Gety Images
Jemaah An-Nadzir, salah satu aliran Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan, memiliki cara unik dalam menentukan awal Ramadan. Selain pengamatan bulan, kain tipis dan aplikasi perangkat lunak digunakan untuk memantau bayangan bulan.
Berdasarkan tiga metode yang dipakai itu, pemimpin An Nadzir, Samiruddin Pademmui, mengungkapkan perpisahan bulan Syakban menuju Ramadan terjadi pada hari Minggu (10/03) pukul 17.00 WITA.
Merujuk pada ajaran An-Nadzir, jika awal Ramadan terjadi pada siang atau sore hari, maka pada hari itu juga boleh berpuasa dengan niat menyambut Ramadan.
“Tapi untuk sempurnanya, mulai 1 Ramadan penuh adalah tanggal 11 Maret, hari Senin," ujar Samiruddin kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (08/03).
Pada tahun-tahun sebelumnya, An-Nadzir biasa mengawali Ramadan – dan merayakan Hari Raya Idulfitri – lebih dulu dari umat Islam pada umumnya. Namun tahun ini mereka akan mengawali bulan puasa pada Senin (11/03).
Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia, juga mengawali puasa di hari sama. Sementara pemerintah Indonesia akan melakukan pemantauan bulan atau rukyatul hilal untuk menentukan awal Ramadan 1445 H pada Minggu (10/03).
Pemantauan bulan ini dilakukan di 134 titik di seluruh Indonesia.

Sumber gambar, Getty Images
Bagaimana metode penentuan awal puasa dilakukan?
Samiruddin Pademmui, pemimpin An-Nadzir di Gowa, mengatakan penetapan awal Ramadan diputuskan setelah melakukan pengamatan bulan sejak 14, 15, dan 16 Syakban. Pengamatan bulan kembali dilakukan pada 27, 28, dan 29 Syakban.
Syakban adalah bulan ke-8 tahun Hijriah (29 hari).
Dia menambahkan metode lain yang mereka gunakan adalah dengan melihat bayangan bulan menggunakan kain tipis berwarna hitam. Metode melihat bulan bayangan bulan ini dilakukan pada saat subuh.
"Kita ada istilah dengan melihat bayangan bulan menggunakan kain tipis, kemarin itu kita lihat masih empat bayangan berarti masih terbit tiga kali lagi, tadi subuh ada tiga bayangan berarti terbit lagi dua kali, ini masih terbit di timur besok dan Ahad," ujar Samiruddin.

Sumber gambar, Darul Amri
Metode ini dikombinasikan dengan sebuah teknologi aplikasi perangkat lunak untuk memastikan akurasi menentukan waktu terjadinya pergantian bulan baru dari bulan Syakban ke Ramadan 1445 Hijriah.
“Kami ada bantuan aplikasi yang sudah kita amati beberapa tahun ini sangat membantu akurasi dari perpisahan bulan.
“Jadi hari Ahad itu perjalanan bulan Syakban ke barat sudah tidak sampai lagi di barat, jadi pergantian bulan atau konjungsi sekitar jam lima sore waktu kita di sini (WITA)," jelas Samiruddin.
Dia mengaku ada perbedaan metode penentuan pergantian bulan yang dilakukan komunitasnya dengan metode yang dilakukan pemerintah.

Sumber gambar, Darul Amri
Itu karena, menurut Samiruddin, perbedaan pandangan soal hilal – istilah yang digunakan untuk menentukan awal bulan baru dalam Kalender Islam.
Secara keilmuan, hilal adalah bulan baru atau sabit pertama setelah konjungsi saat posisi bumi dan bulan berada di bujur.
Pengamatan dilakukan dari titik tertentu sesaat setelah matahari terbenam.
“Perlu diketahui bahwa hilal ini tidak selamanya terbit di atas ufuk, kadang-kadang di bawah ufuk. Jadi di situ lah saya lihat ada terjadi perbedaan,” kata Samiruddin.

Sumber gambar, Getty Images
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan mempertanyakan dasar An-Nadzir dalam menentukan awal puasa memakai kain.
Ketua Bidang Fatwa MUI Sulawesi Selatan, Prof. Ruslan Muin juga mempertanyakan hitung-hitungan kelompok An-Nadzir dalam menetapkan pergantian bulan, karena itu menjadi hal penting dalam penentuan awal puasa.
"Yang terpenting kita berangkat dari suatu prinsip, bahwa melihat bulan dengan benar serta sah, itu petunjuk dalam agama kita,” tegas Ruslan.
“Jelas bahwa berpuasa kalau melihat bulan, berbukalah saat lihat bulan, dan Lebaran-lah saat melihat bulan, itu kata kuncinya sebenarnya," ujarnya kemudian.
Siapa itu Jemaah An-Nadzir dan bagaimana sejarah mereka di Indonesia?
Pemimpin An-Nadzir di Gowa, Samiruddin Pademmui, menjelaskan ajaran An-Nadzir dibawa oleh ulama KH. Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syekh Imam Muhammad Almahdi Abdullah.
Awalnya, komunitas ini bernama Majelis Jundullah. Akan tetapi, ketika ajaran ini dibawa ke Sulawesi Selatan, di sana ada gerakan keagamaan bernama Laskar Jundullah. Demi menghindari konflik, nama Majelis Jundullah berubah menjadi An-Nadzir pada 2002.
Sebelum menetap di Gowa, jemaah An-Nadzir tersebar di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti Palopo, Bone dan beberapa kabupaten lain.
Ketika pemimpinnya meninggal, komunitas tersebut mengalami stagnasi dan puncaknya ketika keluar surat putusan dari pemerintah setempat agar segala aktivitas mereka di Palopo dihentikan.

Sumber gambar, Getty Images
Pada 2006, An-Nadzir sempat mendapat sorotan dari publik ketika sebanyak 60 kepala keluarga jemaah An-Nadzir dari Palopo “hijrah” ke perkampungan Mukmin An-Nadzir di Bontomarannu, Gowa.
Di lokasi itu, mereka membuat tempat tinggal sederhana yang dibuat dari bambu. Semula, hanya ada lima keluarga yang tinggal di sana.
Salah satu jemaah An-Nadzir yang hijrah dari Palopo 24 tahun lalu adalah Ukasyah.
Pria berusia 52 tahun itu mengaku sempat ditentang keluarga besarnya ketika memutuskan bergabung dengan An-Nadzir. Penolakan itu tak hanya dari kerabat, tapi juga masyarakat luas.
“Pengalaman pribadi kami ditengok miring masyarakat terutama masyarakat awam yang terkadang tak terlalu paham, mereka cepat menghakimi,” ujar Ukasyah.

Sumber gambar, Darul Amri
Di perkampungan itu kini ada 100 keluarga dengan jumlah keseluruhan sekitar 500 orang.
Kebanyakan Jemaah An-Nadzir yang bermukim di sana berprofesi sebagai petani dan pedagang, ada juga yang berprofesi sebagai pegawai, bahkan aparat militer dan kepolisian.
Perkampungan yang berdiri sejak awal tahun 2002 ini berjarak sekitar 100 meter dari pemukiman penduduk Lette.

Sumber gambar, Getty Images
Apa ciri khas ajaran An-Nadzir?
Selain penentuan awal Ramadan yang berbeda, Jemaah An-Nadzir memiliki cara pandang yang unik seperti dalam berpakaian dan penentuan salat.
“Waktu itu, ini dianggap aneh, panjang rambutnya [berwarna] pirang, kemudian [pakaian] hitam-hitam," ujar Samiruddin.
Dia menjelaskan filosofi di balik pakaian serba hitam – warna yang identik dengan kematian – yang mereka gunakan adalah agar jemaah An-Nadzir selalu mengingat kematian.
“Bagaimana kita senantiasa mengingat tentang kematian karena yang namanya kematian sewaktu-waktu bisa menjemput kita,” kata dia.

Sumber gambar, Getty Images
Selain pakaian serba hitam, Jemaah An-Nadzir juga selalu menggunakan sorban di kepala mereka. Ini, menurut Samiruddin, merujuk pada atribut yang dikenakan oleh Nabi Muhammad SAW.
“Seperti inilah topinya Rasulullah, agak runcing ke atas, kemudian pakai jubah, panjang rambutnya sebahu. Jadi ini semua yang kita tampilkan di An Nadzir ini bagian daripada menegakkan sunnah Rasulullah SAW,” aku Samiruddin.
Demikian juga dengan rambut jemaah pria An-Nadzir yang dicat dengan warna pirang.

Sumber gambar, Getty Images
Saat bulan puasa, Jemaah An-Nadzir terlebih dulu melakukan salat Magrib sebelum berbuka puasa. Selain itu, mereka tidak menunaikan ibadah salat Tarawih seperti umat Muslim pada umumnya.
“An-Nadzir memang tidak melakukan tarawih, jadi kita melakukan salat isya sepertiga [malam] terakhir sebelum sahur sekaligus kita salat lainnya di situ, tahajudnya, nanti setelah salat tahajud baru kita sahur,” jelas Samiruddin.
Mengapa An-Nadzir dianggap 'sesat'?
Jemaah An-Nadzir menyebut dirinya sebagai “ahlul bait”, atau kelompok keagamaan yang secara konsisten mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Jemaah An-Nadzir memiliki pokok ajaran yang berbeda dengan penganut Islam mayoritas di Indonesia.
Seperti halnya dengan komunitas minoritas lain, Jamaah An-Nadzir distigma dan dicurigai oleh masyarakat umum.
Tidak sedikit masyarakat menilai keberadaan An-Nadzir sebagai kelompok ajaran “sesat” bahkan dianggap sebagai kelompok atau komunitas keagamaan yang membahayakan umat Islam.
"Memang awal-awalnya seperti itu, sesuatu yang dianggap aneh, dan kita pahami itu,” kata Samiruddin.

Sumber gambar, Getty Images
Dia kemudian menjelaskan bahwa masyarakat cenderung melihat dari cara beribadah Jemaah An-Nadzir yang berbeda, tanpa memahami bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
“Kenapa kemudian dianggap aneh, setelah kita kaji lebih jauh ternyata dari waktu ke waktu nilai-nilai Islam yang pernah ditampilkan oleh Rasul sedikit demi sedikit mengalami pergeseran nilai.
"Jangankan 1.400 tahun lalu, 100 tahun saja sudah ada perubahan apalagi sudah 1.400 tahun," imbuhnya.
An-Nadzir mengeklaim kelompok mereka sebagai komunitas pilihan yang akan mengembalikan kehidupan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Bagaimana warga sekitar merespons jemaah An-Nadzir?
Di tengah arus perubahan sosial, Jemaah An-Naris terlihat telah menjalin hubungan harmonis dengan warga sekitar perkampungan mereka.
Lokasi perkampungan Mukmin An-Nadzir berada di Lette. Di sana, mereka hidup berdampingan dengan warga setempat.
Salah satu warga, Kartini, mengaku tak keberatan dengan keberadaan perkampungan An-Nadzir di kampungnya.
“Kita tidak merasa terganggu sejak mulai dari pertama mereka datang tahun 2000,” kata ibu rumah tangga berusia 29 tahun itu.

Sumber gambar, Darul Amri
“Tidak ada yang sampai mengganggu juga, karena warga An-Nadzir sama seperti kita,” ujarnya kemudian, seraya menambahkan bahwa warga setempat telah “akrab” dengan jemaah An-Nadzir.
Senada dengan Kartini, Baso Sewang mengaku selama ini dapat hidup berdampingan dengan jemaah An-Nadzir, meski ada perbedaan cara pandang dan keyakinan.
"Masalah keyakinan, agama itu biasa, jadi tidak ada saling menjelekkan,” kata Baso, kepala desa setempat.

Sumber gambar, Darul Amri
Dia pun tak mempermasalahkan perbedaan waktu ketika menjalani awal puasa Ramadan dan merayakan Hari Raya Idulfitri.
“Kita secara umum tidak ada masalah, karena yang terpenting saling menghargai, itu saja," tegas Baso.
"Apalagi kita sama-sama orang Islam,” ujarnya kemudian.
Wartawan di Sulawesi Selatan, Darul Amri, berkontribusi untuk liputan ini