Spesies mamalia yang hilang selama 62 tahun ditemukan kembali di hutan Papua

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
- Penulis, Famega Syavira Putri & Dwiki Marta
- Peranan, BBC News Indonesia
Spesies mamalia berduri yang telah menghilang selama 62 tahun dan dikhawatirkan sudah punah, ditemukan masih hidup di Pegunungan Cycloop, Papua, bersama dengan ratusan spesies baru lainnya.
Para peneliti dalam Ekspedisi Cycloop di Pegunungan Cycloop, Papua, berhasil menemukan ekidna Zaglossus attenboroughi, atau ekidna moncong panjang Sir David Attenborough.
Ini adalah pertama kalinya ekidna dengan nama latin Zaglossus attenboroughi difoto dalam keadaan hidup.
Spesies ini terakhir dilihat pada tahun 1961, dan selama ini dikhawatirkan telah punah.
Selama 62 tahun terakhir, keberadaan spesies ini hanya dibuktikan dari satu spesimen yang sudah diawetkan dan kini tersimpan di Naturalis Biodiversity Centre di Leiden, Belanda.
Spesimen itu ditemukan di dekat puncak Gunung Rara, Pegunungan Cycloop oleh ahli botani Belanda, Pieter van Royen, pada 1961.
"Mendapatkan bukti bahwa spesies ini masih hidup itu bagaikan menemukan satu cabang dari pohon kehidupan yang mempunyai sejarah evolusi sangat panjang," kata Dr James Kempton, ilmuwan dari Universitas Oxford di Inggris yang memimpin ekspedisi yang berlangsung pada bulan Juni-Juli 2023.
Zaglossus attenboroughi adalah hewan yang punya duri di tubuhnya seperti landak, berjalan dengan empat kaki dan bermoncong lurus panjang, serta hidup di hutan terpencil Pegunungan Cycloop.
Warga Desa Yongsu Spari di kaki gunung mengenal hewan ini sebagai payangko.

Sumber gambar, Naturalis Biodiversity Center
Selain menemukan payangko yang telah lama hilang, ekspedisi ini juga menemukan ratusan spesies yang diyakini merupakan spesies yang baru dalam sains.
Pegunungan Cycloop terletak di barat ibu kota Provinsi Papua, Jayapura.
Pegunungan ini membentang dari barat ke timur Provinsi Papua dan menjadi pembatas antara Danau Sentani dan Samudra Pasifik. Warga setempat menyebut puncak tertingginya dengan beragam nama, mulai dari Dobonsolo, Dafonsoro, hingga Robhong Holo.
"Saya sendiri baru tahu ada banyak spesies langka di hutan ini, saya merasa bersyukur, artinya hutan ini masih terjaga," kata Zacharias Sorondanya, warga Desa Yongsu Spari di kaki Pegunungan Cycloop, yang memandu perjalanan para peneliti.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Hanya ada lima spesies mamalia yang bertelur (monotremes) di dunia, dan salah satunya adalah Zaglossus attenboroughi. Spesies ini dikategorikan sangat terancam punah dalam daftar merah IUCN.
Ekidna ini dinamakan Zaglossus attenboroughi pada tahun 1998 untuk menghormati naturalis Inggris sekaligus penyiar BBC, Sir David Attenborough, "yang telah berkontribusi besar dalam membuat masyarakat menghargai flora dan fauna di Pulau Papua".
Payangko ditemukan setelah peneliti memasang 80 kamera di Pegunungan Cycloop.
Salah satu kamera merekam video dan foto Zaglossus attenboroughi pada 22 Juli 2023 pukul 20.08 waktu Indonesia timur. Demi kelestarian payangko, lokasi tempat penemuannya dirahasiakan.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Tidak banyak yang diketahui dari spesies ini, karena mereka belum pernah diteliti dalam keadaan hidup.
"Ini adalah bukti ilmiah pertama bahwa Zaglossus attenboroughi masih hidup, dan foto pertama binatang ini," kata James Kempton kepada BBC News Indonesia.
Namun, sudah ada penelitian tentang tiga jenis ekidna lainnya, salah satunya adalah Zaglossus bartoni atau ekidna moncong panjang dari timur. Spesies ini hidup di dalam liang di tempat dengan ketinggian antara 600-3.200 meter di atas permukaan laut, hanya dapat ditemukan di hutan terpencil dan aktif di malam hari.
"Itulah sebabnya kami membutuhkan kamera untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan, sebab manusia menimbulkan banyak suara dan gerakan, dan bisa menakuti para satwa," kata James.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Dia menjelaskan bahwa Zaglossus attenboroughi yang terlihat di kamera sudah sesuai dengan deskripsi ciri-ciri binatang ini. Moncongnya lebih lurus, dan lebih pendek dibanding spesies ekidna lain. Struktur tubuhnya juga sesuai dengan spesimen yang tersimpan di museum.
Spesies ini adalah yang terkecil di antara ekidna yang lain, dan individu yang nampak diperkirakan panjangnya sekitar 70-80 cm.
"Penemuan ini berarti bahwa populasi spesies ini terjaga sejak terakhir terlihat di 1961, jadi ini adalah kabar baik. Saya menduga populasinya masih ada lebih banyak lagi, meskipun tidak terlalu banyak karena mereka hanya hidup di pegunungan ini," kata James.
Sebelumnya, pencarian binatang ini sudah kerap kali dilakukan, misalnya, oleh ekspedisi tahun 2007, tapi tanpa membuahkan hasil. Kali ini, peneliti menjelajahi sisi hutan yang sangat jarang dirambah manusia.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
"Ketika pertama kali tiba di area sekitar puncak, saya merasa seperti berada di sebuah tempat yang spiritual. Kami membuka jalan ke sana dengan dikelilingi kabut, dan hutan sangat sunyi," kata James.
Sebagian daerah yang diteliti adalah kawasan hutan adat milik beberapa suku yang tinggal di kaki gunung. Beberapa kawasan, adalah tempat suci yang biasanya tidak boleh dimasuki orang asing.
"Kami diberi izin khusus oleh warga karena riset kami bertujuan baik, kami bertujuan mempelajari binatang dan bukan berburu, tidak ingin menebang pohon, sehingga kami diizinkan naik ke atas gunung," kata James.
Warga percaya bahwa penjaga hutan akan menjaga mereka yang bertujuan baik, dan menghukum mereka yang berniat buruk.
"Masukan dari komunitas lokal sangat penting dalam upaya riset dan konservasi, karena kami adalah tamu di rumah mereka. Kami belajar banyak dari warga kampung yang sangat terbuka dan menerima kami," kata Dr Leonidas Romanos-Davranoglou, entimologis atau pakar serangga dari Universitas Oxford yang juga turut serta dalam penelitian.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Penemuan spesies baru: Udang yang hidup di tanah gunung
Selain menemukan payangko yang telah lama hilang, ekspedisi ini juga menemukan ratusan spesies baru yang belum tercatat oleh sains.
"Kami memperkirakan bahwa kami menemukan ratusan spesies baru, dan bahkan satu genus baru," kata pakar serangga dari Universitas Oxford, Dr Leonidas Romanos-Davranoglou.
Leonidas menyebutnya perkiraan, karena penemuan sebuah spesies membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk disahkan secara resmi oleh komunitas sains. Hasil penelitian yang dilakukan ini disebutnya akan menyibukkan para ilmuwan selama bertahun-tahun.
Genus baru yang ditemukan adalah udang yang hidup di tanah.
"Rasanya seperti tak percaya, kami berada di atas gunung tinggi, di hutan tropis di atas 2.000 meter, lalu ketika mengamati di batu, di antara daun-daun di tanah, kami malah menemukan ada udang. Kami menyebutnya 'udang langit'," kata Leonidas.
Kelembapan tanah menjadi tempat hidup udang-udang ini, yang punya kantong di badan untuk tempat tumbuh anak-anak mereka.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Spesies baru lainnya antara lain jangkrik gua yang buta, laba-laba, kalajengking, katak, dan kumbang pendaur ulang.
"Ada satu serangga yang kami sebut 'serangga pembunuh', predator kecil yang punya sejenis jarum di mulutnya untuk memasukkan racun ke tubuh serangga lainnya dan menyedot darah mereka. Seperti vampir," kata Leonidas.
Ada juga sejenis kecoa pedaur ulang yang menurut Leonidas "berwujud cukup manis, tidak seperti kecoa". Serangga ini mendaur ulang kayu yang jatuh di tanah dengan cara memakannya dan membuat terowongan kecil di dalam kayu. Menariknya, kecoa ini bersama-sama membesarkan anak mereka yang sangat tergantung pada orangtuanya.
"Serangga ini menarik bukan hanya karena dia adalah spesies baru, yang punya tugas penting di ekosistem, tapi juga menarik melihat bahwa serangga memiliki sistem kemasyarakatan yang kompleks seperti ini."

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Banyak dari spesies baru ditemukan saat mereka meneliti sebuah bagian dari ekosistem yang menurutnya hampir tidak pernah diperhatikan oleh orang lain, yaitu permukaan hutan dan tanah di bawahnya. Ini adalah tempat di mana daun-daun jatuh menumpuk selama bertahun-tahun, tempat terjadinya daur ulang yang menyuburkan hutan.
Peneliti mengambil contoh tanah dan menemukan berbagai binatang yang ternyata hidup di sana. Karena hidup di tanah, hewan-hewan ini bagaikan hidup di dalam gua.
"Mereka tidak banyak berpindah tempat, sehingga tingkat endemismenya sangat tinggi," kata Leonidas. Artinya, ini adalah hewan-hewan yang hanya ada di satu lokasi tertentu dan tidak ada di tempat lainnya.

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop
Selanjutnya, para peneliti ingin memahami lebih jauh mengenai sejarah evolusi hewan-hewan di Pegunungan Cycloop ini dengan lebih mendalam. Mereka menduga bahwa Pegunungan ini dulunya adalah kepulauan vulkanis di Laut Pasifik yang kemudian menyatu dengan daratan utama Papua.
Hipotesis ini belum dibuktikan kebenarannya, dan diharapkan dapat dibuktikan salah satunya dengan bantuan uji DNA dari hewan-hewan yang ada di gunung.
"Dengan mempelajari DNA mereka, kita bisa melihat asal muasal dan pola migrasinya. Apakah mereka terkait dengan hewan dari Papua dan Australia, atau pengaruh dari Asia Tenggara");