Mengapa Rusia dan Korea Utara memperkuat hubungan diplomatiknya?

Vladimir Putin dan Kim Jong-un

Sumber gambar, Getty Images

Rusia dan Korea Utara akhir-akhir ini berada di tengah romansa terkuat mereka sejak Perang Dingin, ketika rezim Kim menjadi mitra penting bagi Uni Soviet.

Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji “memperluas hubungan bilateral yang komprehensif dan konstruktif” melalui sebuah surat kepada pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un.

Jong-un kemudian menjawab bahwa kerja sama antara kedua negara telah meningkat “ke titik tertinggi” menghadapi “kekuatan musuh”.

Kedua pemimpin itu memperkuat kedekatan mereka melalui pertemuan tingkat tinggi bersejarah pada 2019 di Vladivostok, Rusia timur.

Kim Jong-un dan Vladimir Putin

Sumber gambar, Mikhail Svetlov

Keterangan gambar, Jong-un dan Putin memperkuat kedekatan mereka melalui pertemuan tingkat tinggi bersejarah pada 2019 di Vladivostok, Rusia timur.

Sejak pertemuan itu, Kim secara terbuka menyatakan mendukung Moskow dalam setiap perselisihan yang melibatkan Rusia.

Isyarat kesetiaan Korea Utara kepada sekutunya menguat dengan terjadinya invasi ke Ukraina.

Pada Juli, Korea Utara menjadi negara ketiga yang mengakui Republik Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka di bawah kendali pro-Rusia.

Kim juga sigap memuji Rusia dan Putin, yang agenda politiknya mendapat lebih banyak ruang di media pemerintah Korea Utara.

BBC Mundo bersama para ahli menganalisis kunci dan implikasi persahabatan Moskow dan Pyongyang.

Dua negara yang disatukan oleh sejarah

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

“Hubungan antara Pyongyang dan Moskow amat memburuk setelah runtuhnya Uni Soviet. Dari titik itu, hubungan keduanya kini membaik,” kata akademisi Samuel Wells dari Wilson Center di Washington DC kepada BBC Mundo.

Hubungan antara Pyongyang dan Moskow dimulai sejak Korea Utara berdiri pada 1948.

Setelah Perang Dunia II, rezim Joseph Stalin membantu Kim Il-sung --kakek dari Kim Jong-un -- berkuasa, dengan cara membangun sistem yang serupa dengan Uni Soviet namun menggunakan kekhasan budaya dan tradisi Korea.

Moskow mendukung sekutunya melawan Korea Selatan dalam Perang Korea (1950-1953).

Selama beberapa dekade berikutnya, Soviet bersama China mendukung rezim Kim, bahkan secara murah hati memberikan bantuan keuangan dan sumber daya.

“Selama Perang Dingin, Kim Il-sung selalu menjaga keseimbangan hubungannya dengan Beijing dan Moskow, menjadi sekutu yang baik bagi keduanya tanpa bergantung secara eksklusif kepada salah satu dari mereka dan mencoba mengambil keuntungan dari permusuhan antara keduanya setelah Krushchev (1950-1953) berkuasa,“ kata  Andrés Sánchez Braun, koresponden agensi Efe dengan 14 tahun pengalaman meliput di Korea.

Kim Il-sung menandatangani gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada tahun 1953

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Kim Il-sung menandatangani gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada tahun 1953.

Meski demikian, di antara kedua sekutu itu, Uni Soviet lah yang paling banyak memberikan bantuan kepada Korea Utara. Mulai dari makanan, bahan bakar, suku cadang, mesin dan pelatihan teknis, bahkan mensubsidi impor produk-produk Korea Utara yang tidak berguna bagi mereka.

Strategi Kim Jong-un

Namun semuanya berubah setelah blok sosialis runtuh pada 1991.

Dimulai dengan Boris Yeltsin, berlanjut ke Vladimir Putin sebagai pemimpin kapitalis baru Rusia, hubungan negara itu dengan Korea Utara relatif dingin.

Korea Utara memiliki China sebagai satu-satunya mitra kuat mereka.

Uji coba nuklir dan rudal pun semakin menjauhkan rezim Korea Utara dari Rusia, yang tidak ragu-ragu menyetujui sanksi keras terhadap Pyongyang pada 2017 akibat uji coba nuklir dan rudal jarak jauhnya.

”Korea Utara saat itu sedang menguji senjata atom, rudal yang semakin besar, dan Rusia tidak ingin ada negara lain lagi yang memiliki kemampuan nuklir. Rusia tidak diuntungkan dari situasi tidak stabil seperti itu,” jelas Sánchez Braun.

Parade rudal Korea Utara

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Korea Utara memiliki gudang besar rudal buatan sendiri, termasuk Taepodong 2, yang jangkauannya diperkirakan beberapa ribu kilometer.

Sanksi tersebut dijatuhkan untuk mencekik rezim Kim secara ekonomi dengan cara membatasi mayoritas perdagangannya, yang hampir semuanya dengan China.

Pandemi telah memperburuk isolasi Korea Utara. Kim Jong-un menutup sepenuhnya perbatasan Korea Utara, membatasi distribusi barang yang diperlukan untuk industrii dan kelangsungan hidup 25 juta penduduknya.

”Korea Utara ingin Rusia ada di pihaknya, karena ekonomii mereka telah terhenti selama dua tahun, mereka perlu bergangung juga pada Moskow, tidak hanya pada Beijing, karena kedua negara itu adalah sekutu paling dekat yang dimiliki Korea Utara,” kata Sánchez Braun.

”Ini lah mengapa Kim Jong-un menggunakan strategi kakeknya: menjaga keseimbangan antara dua kekuatan yang menjadi sandarannya.”

Baca juga:

Apa manfaatnya bagi kedua negara?

Kim Jong-un maupun Vladimir Putin berharap mendapat manfaat dari persahabatan baru mereka. Tapi bagaimana caranya?

Para ahli meyakini bahwa Rusia dapat menyumbang bahan bakar dan pangan yang signifikan ke Korea Utara, yang akan membantu negara itu mengatasi krisis di negaranya. Pada tingkat yang lebih rendah, bantuan itu bisa berupa mesin industri, suku cadang, senjata, dan lain-lain.

Sedangkan Pyongyang, terlepas dari situasi ekonominya yang tengah sulit, juga memiliki sejumlah hal untuk ditawarkan.

“Korea Utara telah memberikan dukungan diplomatik kepada Rusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, juga ribuan operator untuk bekerja di Rusia. Ini bisa menambah tenaga kerja dan sejumlah tambang mineral tanah yang langka,” kata Wells.

Pyongyang

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pandemi semakin mengisolasi Korea Utara yang menutup total perbatasannya.

Sanksi dari Dewan Keamanan PBB pada 2017 melarang mempekerjakan tenaga kerja Korea Utara karena kekerasan yang mereka alami, jam kerja yang panjang, dan sebagian besar gaji mereka diambil oleh negara.

Namun, sejumlah organisasi memperkirakan bahwa sekitar 20.000 warga Korea Utara bekerja di tempat-tempat terpencil di Rusia. Itu melanggar sanksi yang disahkan oleh Rusia sendiri lima tahun yang lalu.

Praktik ini memastikan keduanya sama-sama untung, kata Sergey Radchenko, sejarawan Perang Dingin di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.

“Rusia menerima pekerja yang cakap dan murah, dan bagi Korea Utara mereka adalah sumber devisa yang penting.”

Pengaruh perang Ukraina

Kim Jong-un

Sumber gambar, API

Invasi ke Ukraina, menurut banyak analis, telah memperkuat aliansi Moskow dan Pyongyang.

“Korea Utara memiliki sejarah panjang dalam memanipulasi mitra dan sekutunya. Dalam hal ini, Kim Jong-un yang menyadari isolasi Rusia (karena sanksi internasional setelah invasi), memanfaatkan momen tersebut untuk menerimanya,” jelas Radchenko.

Duta Besar Rusia untuk Pyongyang, Alexander Matsegora, baru-baru ini mengklaim bahwa Kim Jong-un bisa mengirimkan pekerja untuk membangun infrastruktur yang rusak akibat perang di Republik Donetsk dan Luhansk, yang memerdekakan diri dari Ukraina.

Dia menambahkan, bahwa Korea Utara berkepentingan memperoleh suku cadang era Soviet untuk alat berat yang masih diproduksi di kota-kota di Ukraina timur, seperti Slovyansk dan Kramatorsk, yang masih dikuasai oleh Kyiv.

Di sisi lain, jurnalis pro-Kremlin Igor Korotchenko meyakinkan pada awal Agustus lalu bahwa Korea Utara akan mengirim 100.000 tentara ke Ukraina untuk berperang di pihak Rusia.

Tidak ada satu pun dari pemerintah dari kedua negara telah memutuskan kemungkinan itu, sedangkan para ahli pun skeptis.

“Saya tidak yakin Korea Utara bisa dan akan mengirim pasukan ke Ukraina. Itu adalah sesuatu yang belum pernah mereka lakukan,” kata Wells.

“Rusia jelas membutuhkan lebih banyak pasukan, namun melatih tentara Korea Utara memakan waktu yang lama dan Kim Jong-un mungkin akan menentangnya karena khawatir tentaranya akan membelot,” kata Radchenko.

Tentara Korea Utara

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Korea Utara menjadi salah satu negara dengan jumlah tentara terbanyak di dunia, mencapai 1,2 juta personil, namun tidak pernah mengirimkan pasukannya ke luar negeri.

Mengenai pengiriman senjata ke Rusia, satu dari sedikit sumber daya yang pasokannya cukup di Korea Utara, Sánchez Braun percaya bahwa "Pyongyang tidak akan memberikan sebagian dari persenjataannya ke Moskow, karena mereka membutuhkannya untuk bernegosiasi di masa depan atau untuk memastikan keselamatan mereka sendiri.”

Sánchez Braun juga menyoroti hal lain, yang tampak kurang nyata namun sama pentingnya, yang dapat ditawarkan Kim Jong-un kepada Putin saat ini: ketidakstabilan geopolitik.

“Korea Utara berkontribusi pada ketidakstabilan regional dan berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, tidak ada yang lebih diinginkan Moskow lebih dari itu,” ujarnya.

“Bahwa Pyongyang memiliki lebih banyak senjata, meningkatkan nada ancamannya dan terus menguji coba rudal adalah hal yang memusingkan bagi AS di saat negara itu ingin fokus pada konflik di Ukraina, namun ketegangan juga terjadi di wilayah lain seperti Taiwan dan Timur Tengah”.

Reaksi China

Presiden China Xi Jinping

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, China diyakini tidak akan senang dengan ketidakstabilan di kawasan.

China masih menjadi mitra utama Korea Utara karena masih mendominasi lebih dari 90% perdagangan luar negerinya pada 2019, sebelum perbatasan ditutup akibat pandemi, menurut Observatory of Economic Complexity (OEC).

China melihat Korea Utara sebagai penyangga penting di ujung timur lautnya, yang memisahkan negara itu dengan wilayah Korea Selatan, di mana AS memiliki pangkalan militer dengan 28.000 tentara.

Semakin Korea Utara bergangung kepada China secara ekonomi, semakin besar pula pengaruh politik yang dimiliki raksasa Asia itu terhadap mitranya yang lebih kecil.

Beijing sering menggunakan pengaruh itu untuk menahan tabiat rezim Kim yang eksplosif, karena ancaman uji coba nuklir dan misilnya justru menarik kehadiran dan manuver militer dari Korea Selatan serta Amerika Serikat di wilayah tersebut.

Dengan demikian, Radchenko meyakini bahwa “China tidak akan senang” apabila hubungan Pyongyang dan Moskow menguat.

“Mereka selalu curiga pada gangguan Rusia ke Korea Utara dan menyadari bahwa meningkatnya hubungan mereka hanya akan memberi Kim Jong-un lebih banyak keuntungan melawan China."

Wells juga berpendapat sama. “Jika hubungan (Korea Utara-Rusia) menjadi lebih dekat, Beijing kemungkinan besar akan menyampaikan ketidaksenangan para pemimpinnya, baik secara diplomatis atau dengan menunda pasokan makanan dan energi.“