Mengapa hoaks ada dan berlipat ganda, menunggangi pandemi, perang, dan pilpres?

Sumber gambar, Getty Images
- Penulis, Viriya Singgih
- Peranan, BBC News Indonesia
Hoaks terus tumbuh subur mengikuti peristiwa besar dan tren terkini, termasuk pemilihan umum presiden yang baru berlalu. Selama literasi tak dibenahi, bisa dikatakan para pemeriksa fakta tak akan kehabisan pekerjaan.
Benyamin Kurniawan hafal betul isi grup WhatsApp keluarganya. Sehari-hari, anggota grup itu rajin membagikan pesan berisi ayat-ayat Alkitab, info kesehatan, serta rekomendasi tempat wisata kuliner populer.
Eben, panggilannya, biasanya pasif saja. Jangankan berkomentar, ia jarang menyimak isi perbincangan di grup.
"Malas," katanya. "Gue enggak pernah open, enggak pernah sentuh-sentuh grup ini."
Semua berubah sejak awal 2024.
Pada 5 Januari, tantenya membagikan tautan video Facebook, yang mengabarkan bahwa mahasiswa akan turun ke jalan untuk menurunkan Presiden Joko Widodo "dan kroninya" pada 8-10 Januari.
Pada tanggal yang disebut itu toh akhirnya tak terjadi apa-apa.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Namun, itu tak membuat anggota grup WhatsApp tersebut berpikir dua kali sebelum membagikan video-video lain.
Setelahnya, peredaran konten politik di grup, termasuk yang jelas-jelas hoaks, justru makin deras menjelang pemilihan umum presiden 2024, yang jatuh pada 14 Februari.
Ada video kompilasi wawancara anak muda yang membahas alasan mereka tidak memilih Prabowo Subianto sebagai presiden.
Ada video soal Anies Baswedan, calon presiden lainnya, yang disebut sengaja menggerakkan buruh untuk berdemo tepat di hari Imlek, sehingga menyulitkan warga keturunan merayakan tahun baru China.
Ada pula video pidato Jokowi, yang disambung dengan suara kepala negara menyatakan dukungannya kepada capres Ganjar Pranowo. Suara ini kemungkinan besar dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan atau AI.
Benang merahnya: seluruh konten yang beredar membahas keburukan atau melempar tuduhan tak berdasar yang menyudutkan Prabowo dan Anies, atau dengan gamblang mempromosikan Ganjar.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Mayoritas anggota keluarga besar Eben memang pendukung Ganjar, sehingga konten-konten yang beredar sejalan dengan pilihan mereka.
Mulanya Eben diam saja. Namun, ia terpancing juga saat ibunya membagikan sebuah tautan video Instagram pada 12 Februari.
Dalam video itu, terlihat seseorang mempertanyakan rencana calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, pasangan Prabowo di pemilu, untuk "menaikkan pajak ke angka 23%".
Konten itu menyesatkan, dan datang dari miskomunikasi berlapis-lapis.
Dalam dokumen visi-misinya, pasangan Prabowo-Gibran menyampaikan rencana menaikkan rasio penerimaan negara - yang mencakup penerimaan pajak dan non-pajak - terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 23%.
Saat debat cawapres di Desember 2023, Mahfud MD salah mengutip dokumen visi-misi itu. Ia mengatakan, rencana Prabowo-Gibran menaikkan rasio pajak (bukan rasio penerimaan negara) hingga 23% tidak masuk akal.
Dalam tanggapannya saat debat, Gibran pun tidak benar-benar mengklarifikasi hal ini dan lebih banyak membahas usaha menaikkan penerimaan pajak bila nanti terpilih.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Banyak yang akhirnya menangkap bahwa Gibran berencana menaikkan pajak (penghasilan) hingga 23%, termasuk orang yang videonya beredar di grup WhatsApp keluarga Eben.
"Lucunya, ada orang yang mendukung [Prabowo-Gibran] yang secara tidak langsung mencekik orang miskin untuk semakin miskin," kata orang di video itu menggebu-gebu.
Mendengar omongan tersebut, Eben yang pendukung Prabowo berpikir, "Apa iya");