Kisah anak berkebutuhan khusus yang sendirian menunggui jasad ibunya selama berhari-hari

Sumber gambar, Kompbbc.informepiaui.com/Rizki Alfian Restiawan
Seorang anak berkebutuhan khusus di Banyuwangi, Jawa Timur, selama berhari-hari sendirian mendampingi jasad ibunya. Insiden ini menggambarkan minimnya perhatian warga terhadap keluarga yang memiliki anggota penyandang disabilitas, menurut ketua komunitas penyandang disabilitas.
Daniel Agus, 32 tahun, anak berkebutuhan khusus itu, menurut saksi mata, berbaring persis di sebelah ibunya, Siti Komariyah, 64 tahun, di salah-satu kamar di rumahnya. Dia tidak menyadari bahwa ibunya telah meninggal dunia.
Keterangan polisi menyebutkan sang ibu diperkirakan sudah meninggal empat atau lima hari sebelumnya. Siti dikenal sebagai penjual sayuran di pasar setempat.
Sebagian tetangga Siti Komariyah di kampung Singotrunan, Banyuwangi, tidak mengetahui Siti meninggal dunia sampai ketika mereka mencium bau tidak sedap dari rumahnya, beberapa hari kemudian.
Ketua Umum Nasional Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), H. Norman Yulian, menyayangkan kejadian tersebut, seraya mengatakan bahwa warga, khususnya pengurus RT, perlu lebih memperhatikan warga penyandang disabilitas intelektual, seperti Daniel.
“Kadang-kadang juga pemahaman masyarakat tentang disabilitasnya kurang. Apalagi kalau dia ada keterbelakangan atau autisme, masyarakat biasanya berperilaku [menjauhi],” ujar Norman kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/03).
Akan tetapi, ketua RT setempat, Ainur Rofiq, mengeklaim bahwa warga sekitar “sangat peduli” terhadap Siti dan putranya Daniel. Ketua RT yang baru menjabat selama satu bulan terakhir itu mengatakan bahwa Siti memiliki kecenderungan bersikap tertutup dan kurang berinteraksi dengan para tetangga

Sumber gambar, Muhammad Yunan Fahmi
“Selama yang saya alami tidak pernah, dan beliau jarang sekali bercerita terkait bapaknya atau kehidupan pribadinya,” ungkap Rofiq.
Namun demikian, Muhammad Yunan Fahmi, keponakan dari Siti, membantah anggapan bahwa Siti adalah orang yang tertutup dan kurang bersosialisasi dengan warga sekitar.
“Kalau dibilang orangnya tertutup itu omong kosong. Karena saat saya di sana [mengurus jenazah], ada dua tetangga dekat cerita ke saya bahwa Siti pernah curhat ke mereka tentang mantan suaminya,” ungkap Yunan.

Sumber gambar, Alvina NA
Ahli sosiologi bidang gender, disabilitas dan kebijakan sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa kasus kematian Siti merepresentasikan kondisi "sangat ekstrem" di tengah masyarakat.
Sebab, Siti adalah ibu tunggal yang bekerja untuk menghidupi putranya yang berkebutuhan khusus. Hal ini membuatnya mengalami “stigma ganda“ yang dapat membuat warga lain enggan bersosialisasi dengannya.
“Jadi kasus ini justru membongkar kesenjangan sosial atau ketidakadilan yang begitu ekstrem dan terpampang begitu nyata, dengan adanya kematian ibu ini,” ujar Fina.
Kronologi penemuan jasad Siti di samping putranya
Ketua RT setempat, Ainur Rofiq, mengatakan penemuan jasad Siti bermula dari laporan seorang warga yang biasa dimintai tolong oleh Siti untuk melakukan pekerjaan rumah maupun membantunya berdagang di pasar.
Selama beberapa hari, warga tersebut berusaha menghubungi ponsel Siti namun tidak pernah mendapatkan balasan.
“Pada Minggu (24/03) pagi, yang bersangkutan datang ke kediaman almarhumah untuk mengecek. Pada saat itu ada aroma kurang baik atau tidak baik," kata Rofiq kepada wartawan Alvina NA, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Selasa (26/03).
Rofiq menjelaskan bahwa pelapor hendak masuk ke dalam rumah. Sebab, suara tangisan Daniel yang biasa didengar oleh warga sekitar kini tak terdengar lagi.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Dia menjelaskan bahwa warga sudah terbiasa mendengar suara teriakan dan tangisan putra Siti tersebut, sehingga mereka tidak curiga ketika mendengar tangisan Daniel dari dalam rumah selama empat hari terakhir.
“Kami tambah curiga akan adanya bau itu, sehingga pintunya kami buka paksa atau didobrak."
"Yang bersangkutan dan putranya itu ada di tempat tidur, bersebelahan. Almarhumah posisinya sudah dalam keadaan meninggal dan sudah mulai membusuk,” kata Rofiq.
Lebih lanjut, Rofiq mengatakan bahwa beberapa hari lalu Siti sempat mengeluh tentang sakit kepala dan gejala mirip masuk angin yang dideritanya. Namun, ia tidak mengetahui apakah Siti memiliki riwayat penyakit lain.
Kapolsek Banyuwangi AKP Kusmin mengatakan bahwa korban kemungkinan sudah meninggal empat hari sebelumnya. Bahkan, kulit korban dikabarkan sudah mengelupas dan dipenuhi belatung.
Menurut Kusmin, putra korban kini dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan karena ketika ditemukan dia dalam kondisi lemas.
"Kemungkinan sudah berhari-hari tidak makan," ujar Kusmin seperti dikutip Kompbbc.informepiaui.com.
Baca juga:
Muhammad Yunan Fahmi, keponakan Siti yang tinggal di Kecamatan Glagah, mengatakan bahwa keluarganya diberitahu tentang kematian Siti pada Minggu (24/03) pukul 09.00 WIB.
Setelah mendengar kabar itu, ibu dan kakak Yunan bergegas ke rumah Siti. Yunan menyusul kemudian.
Saat sampai di lokasi, keluarganya memanggil ambulans. Daniel langsung dilarikan ke RSUD Blambangan, sementara jenazah Siti langsung dikirim ke kamar mayat rumah sakit tersebut.
Pada akhirnya, kata Yunan, jenazah Siti dimakamkan di pemakaman belakang RSUD Blambangan.
Ia menyatakan sebelum almarhumah meninggal, ia sempat meminta agar dijenguk oleh ibu Yunan yang tinggal di kota lain karena sedang sakit.
Bahkan, keluarga jauhnya sempat menawarkan agar Siti dan Daniel tinggal bersama mereka mulai Lebaran.
“Siti mengatakan masih ada urusan yang mau diselesaikan sebelum pindah ke rumah ibu saya. Namun sebelum kepindahan itu, Siti meninggal dunia,” ujar Yunan.
Pedagang pasar: ‘Bukannya dia tertutup, tapi dia kecapekan’
Suasana di sekitar rumah yang dulu ditempati Siti dan Daniel selama hampir empat tahun terkesan sepi dan sunyi. Jalan dua arah yang menyusuri komplek Jalan Raung RT 4/RW 3, Kelurahan Singotrunan, Banyuwangi juga tak banyak dilalui kendaraan.
Rumah beratap genteng berwarna cokelat, serta kusen jendela dan pintu berwarna biru muda itu cukup tertata rapi. Pintu rumah itu kini tampak digembok rapat.
Di depan rumah itu, terdapat rempah-rempah kering yang biasa dijual Siti Komariyah di Pasar Blambangan.
Budi, warga yang menyewakan rumahnya kepada Siti dan Daniel sejak Maret 2021, mengatakan bahwa ia hanya pernah bertemu dengan Siti saat ia datang untuk melakukan pembayaran sewa.
Dia mengaku tidak pernah bercakap-cakap lebih dalam lantaran Siti seringkali menghabiskan harinya berdagang di pasar.

Sumber gambar, Ahmad Su'udi
“Jam 3 pagi biasanya dia ke pasar, pulang membeli nasi untuk anaknya. Enggak tahu jam berapa pulang, lalu malamnya menyiapkan makanan. Ia berjualan rempah-rempah,“ kata Budi.
Budi mengaku terakhir melihat Siti dua pekan lalu. Saat itu, pedagang pasar tersebut sudah terlihat kurang sehat.
“Pucat mukanya. Tapi kayaknya memang sakit. Kurus badannya, sudah pucat dan lemas,“ ungkap Budi.
Kokom, sesama pedagang pasar, mengatakan Siti sempat mengeluh sakit dan tidak nafsu makan sebelum meninggal dunia. Kokom dan penjual lain menasehatinya agar tetap makan.
“Pernah pingsan di pasar, lalu saya pijat-pijat sampai sadar. Lalu sarapan, tapi hanya tiga suapan sudah selesai, karena enggak nafsu makan,” kata Kokom kepada wartawan Ahmad Su'udi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sumber gambar, Alvina NA
Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa Siti jarang terlihat di acara pertemuan warga, hanya ketika ada acara besar seperti halal-bihalal.
Meski begitu, Siti selalu membayar iuran untuk arisan atau keperluan komunitas lainnya.
Sementara Daniel, menurut tetangga tersebut, jarang sekali diperbolehkan keluar rumah oleh ibunya.
“Tidak pernah keluar sama sekali, saya tidak pernah bertemu putranya."
"Kalau ibunya sekilas lewat saat di masjid. Sekadar sapa saja, mengobrol tidak pernah, makanya tidak terlalu kenal,“ ujarnya.
Baca juga:
Akan tetapi, keponakan Siti, Yunan, tak sependapat.
Dia mengatakan bahwa Siti cukup terbuka, tidak hanya dengan tetangganya tetapi juga dengan keluarga jauhnya.
Ia bercerita bahwa Siti pernah curhat kepada tetangganya tentang mantan suaminya yang ingin memberinya uang namun ditolak oleh Siti.
“Kepada saudara juga tidak tertutup. Ibu saya menawarkan sebelum ia (Siti) meninggal untuk tinggal bersama mulai lebaran nanti,” ungkap Yunan.
Teman sesama pedagang di pasar tempat Siti biasa menjajakan dagangannya, Kokom, juga menampik tudingan bahwa Siti adalah orang yang tertutup.
Menurutnya, Siti adalah pribadi yang sangat memperhatikan kebersihan. Bahkan kadang kala, Siti membereskan barang dagangnya sampai tengah malam.
“Jadi tidurnya sebentar. Mungkin karena capek jadi tidak sering keluar rumah. Bukannya dia tertutup, tapi karena dia kecapekan,” katanya.
PPDI: Warga perlu lebih peka terhadap penyandang disabilitas mental
Ketua Umum Nasional Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) H. Norman Yulian, mengatakan bahwa kematian Siti yang baru diketahui empat hari setelah kematiannya membuktikan minimnya perhatian warga terhadap keluarga tersebut, yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas.
"Harusnya tetangga itu ada rasa perhatian lebih pada putranya, Daniel, yang memiliki disabilitas,” tegas Norman kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan bahwa seringkali pemahaman masyarakat terhadap disabilitas masih kurang, terutama terhadap penyandang disabilitas intelektual.
“Mereka menganggap bahwa disabilitas itu sakit dan menular. Hari ini masyarakat masih berpikir [demikian], atau mereka anggap ini kutukan atau kesalahan dosa orang tuanya,” ujar Norman.

Sumber gambar, H. Norman Yulian
Oleh karena itu, ia menyarankan agar masyarakat lebih membuka diri terhadap keluarga-keluarga yang memiliki anggota penyandang disabilitas intelektual.
Hal ini, menurut Norman, bisa dimulai dengan pengurus RT yang perlu terus melakukan sosialisasi kepada warga tentang penyandang disabilitas, baik secara langsung atau dengan imbauan.
“Seharusnya, RT sering berkunjung ke rumah penyandang disabilitas intelektual itu. Kemudian juga mendaftarkan penyandang disabilitas dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) agar terdaftar,” tambahnya.
Baca juga:
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) merupakan program Kementerian Sosial yang berisi data pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial, penerima bantuan dan pemberdayaan sosial.
Penyandang disabilitas mental termasuk dalam kelompok yang perlu didaftarkan ke dalam DTKS.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial dari Dinas Sosial Banyuwangi, Khoirul Hidayat, mengatakan bahwa keluarga Siti belum terdaftar dalam DTKS.
“Bu Siti belum pernah ajukan permohonan bantuan atau mendaftar ke Dinas Sosial,“ ujar Khoirul.
Namun, ia mengatakan bahwa Dinas Sosial melakukan pendampingan dan pengupayaan bantuan dari sumber dana lain untuk Daniel.
'Stigma ganda' sebagai ibu tunggal dengan putra disabilitas
Sosiolog bidang Gender, Disabilitas dan Kebijakan Sosial dari UGM, Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa posisi Siti di masyarakat tempat ia tinggal sangat rentan karena kondisinya sebagai ibu tunggal dan memiliki putra dengan disabilitas.
Kalaupun ada warga yang berusaha menjangkaunya dan menawarkan bantuan, ia dapat dengan mudah merasa minder. Sehingga, hal ini dapat membuatnya terkesan tertutup.
“Karena mungkin dia secara sosial ekonomi di bawah yang lain dan punya anak penyandang disabilitas, tentu saja ada stigma tertentu sehingga kemudian ada rasa inferior untuk aktif menjadi bagian dari warga di situ,“ kata Fina.
Fina mengatakan bahwa individu-individu seperti Siti dan Daniel seringkali menjadi “tak kasat mata” karena mereka sulit menemukan rasa diterima di komunitas mereka.
Salah satu alasan terbesar adalah stigma negatif yang masih dimiliki masyarakat di daerah pedesaan.
“Mereka dianggap polutan di masyarakat yang rural karena stigma itu dibungkus dalam mitos yang membuat mereka semakin enggan untuk bergaul dengan penyandang disabilitas,“ ujarnya.

Sumber gambar, Alvina NA
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, mengatakan bahwa kondisi yang terjadi pada Siti dan putranya Daniel, membuktikan bahwa masyarakat semakin tidak peka dengan kehidupan atau kondisi orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.
“Kalau orang lewat dan tidak merasa ada kelainan, saya kira suatu kelalaian ini karena ketidakpekaan masyarakat kita. Ini suatu permasalahan yang serius sekarang ini,” ujar Hotman kepada BBC News Indonesia pada Selasa (26/03).
Hotman mengatakan bahwa terdapat kegagalan sistem dasawisma yang seharusnya dapat mendeteksi masalah-masalah dalam komunitas.
Sistem dasawisma merupakan kelompok yang terdiri dari 11 sampai 20 rumah dalam suatu komunitas.
Tugas para kader Dasawisma adalah untuk memantau sekaligus membantu mengantisipasi timbulnya penyakit yang membahayakan keluarga, terutama anak.
“Mungkin itu sudah tidak jalan. Kalau kita mengarahkan ke Dinas Sosial, mereka menunggu laporan. Mereka tidak punya aparat turun untuk setiap hari memantau kehidupan masyarakat,” ujar Hotman.
Baca juga: