PPN 12% dan sembilan pungutan baru yang akan menguras dompet kelas pekerja pada 2025 – 'Ini namanya mencetak orang miskin baru'

Sejumlah pekerja berjalan di fasilitas penyeberangan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (11/12/2024).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Sejumlah pekerja berjalan di fasilitas penyeberangan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (11/12/2024).
  • Penulis, Quin Pasaribu
  • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Pada 2025 setidaknya ada sembilan peraturan baru—mulai dari kenaikan pajak, pungutan, dan iuran—yang bakal menggerus dompet kelas pekerja.

Beragam kutipan itu dibutuhkan pemerintah untuk menambah pemasukan negara yang kondisinya saat ini sedang cekak, tapi harus membiayai janji-janji politik Presiden Prabowo Subianto—salah satunya makan bergizi gratis.

Sejumlah lembaga riset ekonomi memprediksi jika semua rencana itu diberlakukan maka kelas pekerja berada "di ujung tanduk".

Artinya, mereka yang bergaji pas-pasan terpaksa menambah utang atau menguras tabungan demi menyambung hidup.

Karenanya para ekonom meminta pemerintah berpikir ulang, atau paling tidak kreatif mencari sumber-sumber pemasukan baru, tanpa harus membebani masyarakat kelas menengah ke bawah.

BBC News Indonesia menemui para pekerja di Jakarta dan Yogyakarta untuk mengetahui seberapa berat beban mereka tahun depan.

'Tolong, pemerintah jangan ngerepotin'

Nungky, seorang pekerja di salah satu perusahaan di Jakarta, selalu percaya kalau kerja keras adalah cara untuk bisa hidup sejahtera.

Meskipun gajinya saban tahun cuma naik sekitar Rp200.000-Rp300.000, dia tak pernah mengeluh.

Tapi pemikiran itu seketika buyar, begitu tahu akan ada setidaknya sembilan pungutan baru yang akan dibebankan kepadanya mulai 2025.

"Saya jadi merasa... pemerintah ini enggak membantu sama sekali," ujarnya ketika ditemui di kamar indekosnya di Jakarta pada Sabtu (14/12).

"Saya akan tetap kerja keras cari duit, tapi tolong dong seenggaknya pemerintah jangan ngerepotin," keluhnya.

garis

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

garis

Perempuan berperawakan sedang ini sudah delapan tahun bekerja di perusahaan yang berkantor di kawasan Jakarta Utara.

Gajinya saat ini Rp8,3 juta per bulan. Tapi upah itu tak semuanya dinikmati sendiri.

Tiap bulan dia harus menyisihkan hampir sepertiga gajinya untuk dikirim ke orang tuanya di Lamongan, Jawa Timur.

Kebiasaan itu sudah berlangsung selama empat tahun terakhir sejak ayah dan ibunya berhenti berjualan makanan di Jakarta dan memutuskan kembali ke kampung halaman mereka di Lamongan.

Dari hasil jualan makanan selama bertahun-tahun itu, tak ada uang yang bisa ditabung.

Nungky, pekerja di Jakarta, mengatakan pungutan-pungutan baru yang diberlakukan tahun depan memberatkan.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Nungky, pekerja di Jakarta, mengatakan pungutan-pungutan baru yang diberlakukan tahun depan memberatkan.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

"Orang [zaman] dulu ya mikirnya kan enggak panjang."

Di kota metropolitan ini, Nungky indekos di kamar yang tidak terlalu besar di Jakarta Timur dengan biaya sewa Rp600.000 per bulan.

Saban hari ia naik transportasi publik—baik bus dan ojek online—untuk wira-wiri ke kantor lantaran tak memiliki kendaraan pribadi.

Ia terpaksa merogoh kocek sekitar Rp400.000 per bulan untuk biaya angkutan umum.

Pengeluaran berikutnya, seperti makan dan kebutuhan sehari-hari, bisa mencapai Rp2 juta.

Perempuan yang juga doyan masak ini bukan orang yang terlalu suka menghabiskan uang untuk berbelanja, tapi kalau soal makan sangat perhatian.

"Harus bergizi dan menyehatkan," ucapnya berkali-kali.

Baca juga:

Itu kenapa dia rutin mengonsumsi daging atau ikan segar yang dimasak sendiri dua kali seminggu.

Jika ditotal, maka pengeluarannya sekitar Rp6 juta per bulan. Artinya cuma tersisa Rp2 juta yang bisa ditabung.

"Tapi tunggu dulu, itu belum termasuk buat hobi saya menyelam dan berenang ya," katanya sambil mengingat-ingat.

"Jadi ya... paling yang bener-bener bisa ditabung cuma Rp1 juta," sambungnya sambil tersenyum kecut.

"Saya sedikit terbantu karena ada [tabungan] saham yang sebulan bisa dapat Rp500.000."

'Mimpi bisa jalan-jalan keluar negeri dan punya rumah pupus'

Malam itu, Nungky sedang masak makanan khas India di kamar indekosnya.

Aroma bumbu rempah terasa menusuk hidung.

Sambil menggoreng, ia bercerita beberapa hari lalu suasana hatinya tiba-tiba melow karena tak bisa lagi jalan-jalan keluar negeri. Padahal itu adalah mimpinya kala remaja.

Dari gaji, ia rajin menabung supaya bisa merasakan pengalaman di negara orang.

Tapi mimpi itu mesti dikubur dalam-dalam karena orang tuanya lebih membutuhkan uang tersebut.

"Hobi jalan-jalan itu yang harus saya korbankan," tuturnya pelan.

Pekerja di Jakarta dan kota besar lain masih sangat mengandalkan transportasi publik seperti TransJakarta untuk menuju tempat kerja.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Pekerja di Jakarta dan kota besar lain masih sangat mengandalkan transportasi publik seperti TransJakarta untuk menuju tempat kerja.

Kini, di usianya yang sudah menginjak kepala empat, ia berkeinginan untuk memiliki rumah sendiri.

Niat itu sudah dirancangnya dalam satu tahun ke depan.

Ia bertekad memangkas pengeluarannya demi bisa membayar uang muka.

"Rencananya dalam satu tahun ini masa menabung, jadi tahun 2026 seharusnya sudah bisa nyicil rumah beberapa kali," katanya penuh harap.

"Umur saya sudah 40, jadi saya merasa sudah harus punya rumah sendiri."

Baca juga: